Monday, January 4, 2010

Arnold kena getahnya

Butuh setengah jam bagi Sandra untuk memaksa Arnold menjual kembali mantranya. Mereka sepakat, sangat beresiko memberikan mantra untuk bocah sejahil Arnold. Tindakan itu diambil setelah Milly yang pada saat bersamaan, ketika dia memungut bukunya, melihat seringai Arnold. Saat itu juga Milly mengadukannya tanpa belas kasihan.
Arnold jengkel dan bersihkeras tidak mau mengembalikannya, kecuali diijinkan mengganti meludahi Sandra dengan mencium pipinya dua kali. Sandra menolak, tapi atas saran Si Petung, dia pasrah juga.

“Boleh, asal kalian berdua berbalik badan!” pinta Sandra, kesal bercampur malu setengah mati.

Si Petung dan Milly tersenyum sebelum akhirnya berbalik badan, menatap apapun yang ada di depan mereka. Batang pohon ek yang membosankan dan serangga malam yang berkeliaran.

Sekarang saatnya memasuki Jalur Tikus.

Ada 1001 cara untuk memasuki dunia petualangan. Hampir mustahil untuk bisa dihapal satu persatu. Tapi Milly tenang-tengan saja. Dia bilang, dia sudah hapal hampir setengahnya. Tidak mau kalah mendengar pengakuan Milly, Arnold mengatakan kalau seribu cara telah terekam dengan baik di otaknya. Hal itu tentu membuat segalanya akan berjalan lebih mudah., pikir Si Petung.

Si Petung memutuskan beraksi terlebih dulu sebagai contoh. Dia memperagakan tikus got yang paling jorok dan mencicit tak keruan, mengitari Jalur Tikus sebanyak tiga kali. Seketika itu juga dia menghilang seperti kepulan asap yang tersedot exhaust fan yang tertanam dalam lubang. Sungguh menakjupkan sekaligus menggelikan melihat tingkah Si Petung sebelumnya. Dalam hati, Arnold berdoa semoga saja Sandra yang anggun luar biasa tidak mencontoh SI Petung.

Sandra memang tidak melakukannya. Dia mulai bergerak lemah gemulai, berlenggak lenggok sambil sesekali mengepakkan kedua tangannya. Gaunnya yang merah jambu melambai seperti bulu-bulu halus burung flamingo. Kakinya jenjang, menjinjit bergantian sambil terus memutar. Arnold berkomentar nyaring agar terdengar Sandra, bahwa yang dilakukannya adalah menirukan seekor angsa yang sedang memamerkan keindahannya. Tapi Sandra yang masih menyisakan kekesalan padanya, mengoak kalau dia sedang menirukan seekor bebek yang sedang belajar terbang.

Kini tiba giliran Arnold membuktikan rekaman seribu cara memasuki dunia petualangan. Dia gelisah dan tidak ada gunanya terus melirik Milly meminta petunjuk. Milly sedang terlalu sibuk, menatap langit-langit hutan. Arnold sungguh menyesal sudah berbohong, karena sejujurnya, baru kali itu dia mengetahui ada seribu satu cara yang satu pun dia tidak tahu, kecuali yang baru saja diperagakan Si Petung dan Sandra. Tidak mau harkat dan martabatnya jatuh, dia segera menyiapkan pantatnya yang lebar, sedikit merendah mencium tanah. Tapi Milly yang melihatnya berteriak ngeri.

“Kenapa?” tanya Arnold. Sangat ketakutan hingga dia lupa untuk memperbaiki posisi pantatnya yang sangat memalukan.

“Kau dilarang menirukan cara yang sama,” kata Milly dramatis. “Kecuali kau sudah benar-benar siap menjadi bebek betulan, paham!”

“Oh!” Arnold tersentak. Sampai-sampai dia hampir saja keceplosan mengucapkan terima kasih. “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

Milly menutup mulutnya rapat-rapat. Sebuah pertanda buruk karena akan sulit membuatnya membuka mulut untuk memberi petunjuk. Arnold mengaku telah berbohong akhirnya. Sayang pengakuan saja tidaklah cukup mendapat belas kasihan Milly. Sebagai usaha pertamanya, mula-mula Arnold berulang kali mengedikkan mata sampai pegal minta ampun. Merasa gagal, dia menyenggol lengan Milly seolah sedang berusaha mengajaknya berkenalan. Arnold frustasi hingga akhirnya dia mengatupkan kedua telapak tangannya mirip tapak Budha, memohon dengan amat sangat.

“Oke...oke,”

Mendengar Milly mengabulkannya, Arnold menghembuskan nafas lega.

“Berhubung aku masih punya sedikit rasa kasihan, meskipun tindakanmu sudah membuat rambutku berantakan, aku akan memberimu petunjuk dasar. Yang harus kau lakukan adalah menirukan tingkah binatang... ya seperti itu... bebek sangat cocok untukmu. Sayang semua ada aturan dan urutannya. Si Petung menirukan tikus got karena zodiaknya leo,” Milly mulai memainkan perannya dengan menyakinkan, sangat meyakinkan malah. Dia memutuskan inilah saatnya mengajarinya agar tidak sok dan nakal. “Lambang zodiak leo adalah singa, dan dia sedang ingin melihat tikus yang paling tolol. Si Petung melakukannya dengan sangat baik.”

“Bagaimana dengan Sandra?” Arnold bertanya bego.

“Oh, dia ya... setelah leo, urutannya Pisces. Tahu dong lambangnya apaan, benar!” potong Milly, bahkan sebelum Arnold benar-benar membuka mulut ‘tidak tahu’. “Pisces itu ikan, sepertinya ikan rawa-rawa. Nah saat itu sang ikan ingin melihat bebek paling jelek, musuhnya, untuk ditertawakan.”

“Lalu sekarang urutannya apa?” tuntut Arnol tidak sabar.

Sebenarnya dia mulai curiga karena wajah Milly memerah seperti menahan tawa sekuat tenaga. Tapi sangat mustahil membantahnya saat itu, mengingat otak Milly terlalu cerdas untuk di ajak berdebat. Apalagi otak Arnold hanya terisi setengah, itu pun untuk hal-hal yang tidak berguna pula.

“Nah sekarang urutannya adalah,” Milly pura-pura berfikir, “Kau lihat bintang Sagitarius di atas sana?” jari telunjuknya menunjuk ke langit gelap tanpa bintang.

“Tidak ada apa-apa di sana,” jawab Arnold bingung setelah beberapa kali mendongak untuk memeastikan memang tidak ada apa-apa di langit, kecuali... gelap.

“Kau tidak melihat. Tapi aku melihatnya dengan sangat jelas,” tukas Milly. “Itu bintang Sagitarius, berlambangkan kerbau dungu.”

“Sepertinya bukan kerbau,” kata Arnold. Seingat otaknya yang sempit, dia pernah melihat salah satu zodialk berlambang campuran binatang berkaki empat dengan manusia, entah di mana. Sambil mengingta-ingat, matanya bersirobok dengan kegelapan, dan itu menyadarkannya agar segera memperingatkan teman seperjalanannya itu. “Milly, apa kau tidak takut? Kita berdua saja di hutan, sadar dong???”

Tapi Milly tidak sadar apalagi mendengarnya.” Memangnya kau tahu lambang Sagitarius itu apa?”

“Aku tidak tahu, ayo cepeet deh!”

“Oke, tadi aku ngomong sampai mana?”

“Kerbau dungu,” jawab Arnold setengah hati.

“Benarkah?”

“Iya!” koak Arnold hilang kesabaran. “Kau bilang bintang takserius itu lambangnya kerbau dungu!”

“Okey... jangan sewot gitu dong,” Milly bergaya sebentar, merapikan rambutnya yang kusut seolah mengingatkan itu adalah hasil karya Arnold yang spektakuler. “Nah, kau sedang beruntung, Arnold! Sagitarius sedang murung, dan dia ingin melihat binatang berkaki dua, dan bertangan panjang. Coba pikirkan baik-baik.”

Arnold memutar otak sementara Milly menunggu dengan sabar.

“Kurasa, gorilla masuk akal,” jawab Arnold tidak percaya.

“Tepat!” teriak Milly seolah Arnold baru saja menjawab teka-teki Sphinx yang terkenal sangat sulit.

Maka Arnold mengitari Jalur Tikus dengan satu tangan di atas kepala, dan tangan yang lain di antara pahanya. Tidak ingin kesempatan ini lepas begitu saja, Milly menyarankan bunyi-bunyian aa...uu... dan meminta Arnold menekuk kedua kakinya dengan sempurna, membentuk huruf ‘o’ sambil berjalan.

Arnold merasa diperas dan diperdaya. Tapi ancaman Milly tidak main-main. Bisa saja Arnold dikirim ke habitat asli gorilla di afrika, atau berkumpul dengan bocah-bocah idiot yang lebih nakal darinya jika tidak menuruti Sagitarius.

Setelah tiga putaran, Arnold lenyap. Tawa Milly pun langsung meledak. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena dia mendadak sadar sedang tertawa sendirian di tengah hutan Larangan yang sunyi. Dia segera berlenggok bak seekor angsa, sama sekali tidak anggun karena tergesa-gesa seolah sedang digiring ke kandang.

Sunday, January 3, 2010

Insiden : Arnold Bertingkah Konyol

Ehem.... flasback sebentar. Awalnya konsep cerita Si Petung adalah 500 kata dan di sana ada pesan moral yang sangat jelas yang ingin gw sampaikan. JANGAN JADI ANAK NAKAL. Tapi sepertinya makin lama makin melenceng dari tujuan utama. Ada beberapa hal dalam tulisan yang harus disikapi dengan bijak. Dan gw berharap orang itu adalah Anda yang sekarang sedang membaca......................................................
“Mengerikan,” komentar Milly ketika keempatnya mengelilingi liang kecil mirip lubang hewan pengerat. “Jadi, ini yang disebut Jalur Tikus?”

“Benar. Jadi langsung saja kita mulai kalau begitu,” jawab Si Petung merentangkan kedua tangannya.

“Tunggu dulu. Apa tidak sebaiknya mereka dibekali dengan Mantra Standar Tingkat Pemula?” saran Sandra, menoleh ke Arnold dan lima senti di atas ubun-ubun Milly.

Milly menolak mentah-mentah tanpa perlu berfikir. "No way!"

Sepertinya Milly masih ingat kejadian yang menimpa rambutnya saat menggunakan Sisir Suka-Suka. Saat menghadiri ulang tahun Willy, dia terpaksa menggunakan wig karena kepalanya botak dan sangat menyesal harus berbohong pada orang tuanya yang berkomentar, "rambutmu sangat indah nak."

“Sungguh?” tanya Si Petung. Milly meyakinkannya dengan anggukan mantap, lalu melirik dan langsung berpaling dari tatapan Sandra, yang mendengus dan memutar bola mata seperti bukan Sandra. “Yang harus kau ketahui adalah bahwa kita akan berpetualang... Maksud Petung... di dunia petualangan tidak sama persis. Setidaknya akan ada lebih banyak bahaya yang mengancam,” dia berhenti sejenak untuk melihat reaksi Arnold yang merepet ketakutan. “Tapi sudahlah, kalian aman bersama Petung.”

Sandra melipat tangannya dan berkata sinis, “Petung tidak akan mendampingi gadis ini sepanjang hari, kan?”

Tapi Si Petung tidak menghiraukannya. Sedikit banyak dia tahu; dari nada bicaranya, Sandra sedang terbakar cemburu pada Milly. Sesuatu yang sangat... sangat tidak perlu dibahas lebih lanjut!

“Dan kau, Arnold?” Si Petung menanyai Arnold yang sudah sedikit merasa tenang.

“Dia butuh lebih banyak mantra kalau melihat tampangnya,” kata Sandra sambil menarik lengan Arnold. Mereka berdua menjauh beberapa langkah dari Si Petung dan Milly yang mengawasi.

Arnold yang baru kali itu menyentuh kulit halus Sandra, wajahnya langsung berseri-seri seolah mengatakan akhirnya-Sandraku-tahu-apa-yang-kurasakan-dan-kuinginkan.

Semalaman, sikap Sandra terhadap Arnold memang tergolong cuek. Di mata Sandra, Arnold hanyalah bocah kecil berotak sepuluh kali lebih mesum dari umumnya anak berusia sepuluh tahun. Dan di hati Sandra, curahan kekagumannya hanya untuk Petung seorang, titik

Akhirnya hanya Arnold yang dibekali Mantra Standar Tingkat Pemula, jilid pertama.
Awalnya Arnold mengira ini akan memakan banyak waktu untuk mempelajarinya. Dan dia sama sekali tidak keberatan karena berarti akan ada banyak waktu bersama Sandra. Lebih lama lebih bagus, pikiran kotor Arnold menguasainya.

Tapi betapa terkejutnya dia; Sandra menyobek dengan sentakan keras bagian pinggir kaos Arnold dan menyimpan potongannya. Dia bilang potongan itu untuk mahar atau alat pembayaran, pengganti koin yang lazim digunakan untuk membeli mantra.

Di dunia petualangan, kau cukup membeli Mantra di toko Mantra. Atau kalau sedang beruntung, kadang ada penyihir yang bersedia menjual mantra yang mungkin sudah ketinggalan jaman atau jarang dipakai. Dan jika suatu saat kau mendapati Mantra yang tidak berfungsi dengan benar atau lebih parahnya lagi bisa melukai diri sendiri, berarti Mantra yang dibeli sudah kadaluarsa. Mudahnya, mempelajari Mantra sama dengan membeli sepotong coklat bertabur kacang di duniamu!

Dan ternyata belum sampai di situ saja keterkejutan Arnold; tiba-tiba Sandra meludahi muka Arnold dengan kasar, tanpa memberi penjelasan terlebih dahulu.

“Apa yang kau lakukan!” teriak Arnold. Hatinya hancur seketika. “Kau jahat padaku, kenapa?”

“Maaf Arnold. Tapi seperti itulah bentuk transaksinya,” jawab Sandra, singkat, padat dan sama sekali tidak menjelaskan apapun bagi Arnold yang terlanjur sakit hati.

“Rasakan,” cetus Milly cekikikan. “Belum juga sampai ke dunia petualangan. Sudah kena semprot!”

Arnold langsung ngambek, lari dan duduk sedih membelakangi mereka. SI Petung menghampirinya dan membisikkan sesuatu padanya, “jangan sedih. Sekarang Arnold bisa mencoba mantranya.”

Si Petung lalu berfikir, ingin mencarikan ide ringan untuk menghiburnya. Tapi rupanya Arnold mendapatkan ide cemerlang lebih cepat dari Si Petung.

Arnold menyeringai nakal. Mulutnya komat-kamit dengan sendirinya, dan Si Petung sepertinya mengetahui apa yang sedang Arnold lakukan.

“Mantra Penumbuh Rambut...” keluh Si Petung pasrah.

Apa yang terjadi bisa ditebak. Semua yang hadir di situ, kecuali Arnold, rambutnya mulai memanjang.

Milly menjerit dan mengosongkan tas ranselnya untuk menutupi kepalanya. Tapi lama kelamaan tidak muat juga karena rambut pirangnya menebal. Si Petung kerepotan menghentikan teriakan Sandra yang rambutnya sudah mirip sapu lidi berwarna perak. Rambutnya seperti meleleh dan setika Sandra kalang kabut berlarian, semua daun kering, ranting patah dan kotoran binatang bersarang di rambutnya.

“Apa yang kau lakukan!” Sandra membentak Si Petung. “Lakukan mantra pembatal!”

“Lupa, tidak ingat, atau barangkali Petung sudah menjualnya,” kata Si Petung menyesal. Sejumput rambut beruban muncul dari kelapanya yang licin. “Lain kali kalau Sandra memberikan mantra, pastikan itu bukan satu-satunya mantra yang Sandra miliki.”

Biasanya setiap Mantra berpasangan dengan mantra pembatal. Jadi kalau terpaksa kau menjual mantramu untuk membeli mantra yang lebih canggih, pastikan kau juga memiliki mantra yang sama. Atau kalau memang sangat terpaksa menjual mantra satu-satunya, lari dan bersembunyilah, karena siapapun akan sangat sakit hati diludahi. Ngomong-ngomong soal meludah, aku tidak pernah menyarankan kau melakukannya di duniamu, janji?

”Aku pikir dia tidak akan senakal itu!” teriak Sandra. Mukanya tertutup rapat, nyaris seperti terkurung sangkar perak. “Oh tidak, ini mengerikan!”

“Oi yang di sana. Jangan berdebat!” jerit Milly dari jauh. Dia terjatuh, rambutnya terlalu berat untuk ditopang kepalanya.

Arnold terpingkal-pingkal dan sepertinya itu sudah cukup dan sangat keterlaluan.
Maka, semua sudah kembali normal akhirnya. Arnold berhasil membatalkan mantranya, namun dia tidak berhasil menghindari ganjaran atas kenakalannya.

“Jangan sekali-kali!” Sandra menjewer telinga Arnold, “Kau gunakan Mantra Penumbuh Rambut lagi!”

“Untuk apa coba?” gerutu Milly memunguti buku-bukunya yang tercecer. “Ini konyol! Dan aku bersumpah tidak akan membeli apapun yang kalian jual!”

“Sudah-sudah,” kata Si Petung, menggaruk kepalanya. “Arnold pasti tidak akan mengulanginya lagi.”

Arnold mengangguk, sangat dalam hingga sepertinya dia bukannya menyesal tapi sedang menyembunyikan tawa kurang ajarnya.