Saturday, November 21, 2009

Novel Fantasi Lord of the Rings versi Tad Williams

Siapapun yang pernah membaca buku ini, akan menunjukan pada kita dua jenis pembaca novel fantasi yang paling menonjol yaitu; orang-orang yang menyerah ketika baru membaca seratus halaman pertama karena saking lambat alur ceritanya, kemudian yang lain, yang lebih suka pada penggambaran secara menyeluruh tentang kisah-kisah di dalamnya (tipe pembaca yang keras kepala), akan terus membacanya hingga habis, menikmati kisah epic fantasy yang harus benar-benar “menenggelamkan dirinya lebih dalam”.

Judul : The Dragonbone Chair (Memory, Sorrow, and Thorn)
Penerbit : DAW Trade
Pengarang : Tad Williams
Tahun : 2005
Genre : Novel Fantasi
Tebal : 672 Halaman
Bahasa : Inggris
ISBN-10 : 0756402697

Plot cerita yang disuguhkan memang bukan barang baru dan terkesan pasaran— tokoh jahat tak terkalahkan kembali dari kematian dan bangkit untuk membalas dendam—seorang pahlawan dari ras bukan manusia yang misterius, bertugas menemukan jimat untuk menghentikan kehancuran dunia atau setidaknya kekacauan tidak menjadi lebih buruk—tokoh perempuan cantik nan awet muda yang serbatahu, kemudian ada tokoh raja yang terpuruk oleh kekuatan hitam yang membelenggu kerajaannya, dan segala macam benda-benda aneh yang superajaib. Yang patut dicatat dari semua hal-hal klise tersebut adalah; seorang Tad William mampu menjadikan cerita klise menjadi semacam cerita orisinal yang sangat sulit ditebak ketika memasuki bab-bab akhir.

Ceritanya pada dasarnya sama seperti dalam kebanyakan fantasi lainnya sejak kemunculan trilogi Lord of the Rings.

Bangunan dunia dalam cerita ini cukup baik. Dunia Osten Ard sangat mendetail dan dibangun senyata mungkin. Seluruh penduduk tidak semua berbicara dalam bahasa yang sama, atau memiliki agama yang sama, atau bergaul dengan satu sama lain. Penulis tidak menggunakan cara lama dengan menyelipkan karakter kurcaci, elf atau goblin yang begitu sering ditemui dalam cerita-cerita lain semacam itu. Sebaliknya, kita mendapatkan ras baru yang pada dasarnya sama, tapi dengan beberapa perbedaan. Begitu juga karakter tokohnya digambarkan sangat detil, hingga kita bisa menduga kedua hal tersebut yang membuat alur ceritanya menjadi lambat. Gaya bercerita semacam ini mengingatkan kita pada Lord of the Rings, yang jujur saja, saya pribadi kurang menyukai dan benar-benar menyerah menghabisi itu buku.

Karakter yang sangat banyak tentu saja membuat pembaca menjadi bingung mengingat nama-nama yang berseliweran dengan time setting yang berubah-ubah. Seperti tokoh Simon, protagonis utama, tumbuh dan berubah dalam waktu yang agak sulit untuk diikuti. Cerita berlanjut secara logis memang, tapi kadang-kadang sulit untuk mengikuti alurnya. Nama-nama orang dan tempat-tempat yang eksotis dan unneededly sulit untuk diucapkan. Namun jika Anda termasuk pembaca yang senang mendapat imaginasi dari seorang pendongen ulung, mungkin buku karangan Williams inilah yang patut Anda coba untuk dikoleksi di rak buku. -shel99&Nathan-

Thursday, November 19, 2009

BAB 5. Sang Pewaris

Setelah berdiam cukup lama, Kakek Holle menoleh dan mengangkat tangannya menghadap jendela yang langsung tertutup detik berikutnya.

“Sudah subuh,” katanya kembali menoleh ke Villael. Sambil mengangkat batu bulat yang sudah kembali dalam genggamannya, dia melanjutkan, “nanti pagi, Panglima Mozilla akan mengajarkan bagaimana menggunakan batu ini untuk membuka atau menutup pintu dan jendela, bukan?”

“Benar,” jawab Villael.

Tapi dia tidak beranjak dari duduknya. Matanya terpancang mengikuti gerakan meja seperti pada saat Kakek Holle mengetuk dan mengeluarkan kotak berisi belati. Ada perasaan yang sangat sulit untuk diabaikan saat itu. Keinginan untuk memiliki dan padanya-lah dia ingin berlindung dari ancaman Doggoll. Meski harus sedikit merendahkan dirinya, toh dia masih ingat betul bagaimana belati itu menyelamatkannya berulangkali saat diskaratt.

“Kakek Holle,” katanya setelah memutuskan untuk bertanya, “apa itu artinya, bahwa belati itu bisa membinasakannya?”

“Kita tidak akan membicarakan bagaimana caranya membinasakan Doggoll,” jawab Kakek Holle.

Meskipun nada bicaranya masih cukup tenang, tapi Villael bisa mendengar penekanan yang dipaksakan pada kata “tidak”. Dan pernyataan itu membuatnya ingin tahu lebih banyak, hingga dia tetap bergeming di atas kursinya. Berusaha menghindari tatapan mata Kakek Holle yang berkilat beberapa kali, kedua kaki Villael secara misterius kesemutan dan harus menundukkan kepala untuk meremas betisnya.

Tentu saja Kakek Holle menyadari koneksinya terputus saat jeda cukup lama ketika menyimpan belati ke tempatnya semula.

“Istirahatlah,” katanya, yang lebih terdengar seperti memerintah. “Belum saatnya, kukir—”

“—Tapi ini mendesak!” potong Villael yang sama sekali tidak berniat menaikkan intonasi suaranya, “maksudku, Anda percaya dengan ancaman Doggoll, dan bukankah mempertimbangkan belati ini sebagai satu-satunya cara untuk membunuhnya cukup masuk akal?”
“Dan bukankah sudah jelas!” kata Kakek Holle, berdiri dan membelakangi Villael. “Setidaknya aku lebih tahu daripada apa yang kaupikirkan Villael, bahwa belati ini, sekali lagi, bukan untuk membunuh tapi untuk mempertahankan diri dari serangan.”

“Tapi itu sebelum, sebelum belati ini menyerap kekuatan hitamnya.”

Villael mulai gelisah hingga harus mendebat dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, paling tidak ada sesuatu yang membuatnya lupa bahwa dirinya sedang dalam ancaman besar.

“Lalu kaukira aku sanggup membunuhnya setelah seumur hidup berlatih, mencaritahu kelebihan dan kelemahan Doggoll?” kata Kakek Holle agak marah. Meninggalkan ketenanganya, dia berbalik badan dan mengisyaratkan bantahan dengan jari telunjuknya. “Tidak! Tidak cukup dengan bertambahnya kekuatan kita, karena saat itu kekuatan Doggoll bertambah sepuluh kali lipat!”

“Jadi, tidak ada yang bisa kita lakukan?” tanya Villael menantang.

“Kita hanya berharap perlindungan Zetya tetap berfungsi semestinya,” kata Kakek Holle. “Selebihnya, kita tetap berlatih seperti biasa hingga kau dan yang lainnya siap mengikuti ujuan sesungguhnya enam bulan ke depan, menjadi prajurit Magmorian.”

“Tidak!” teriak Villael serba salah. “Maksudku, kita berlatih, tapi kita tidak bisa selamanya mengandalkan perlindungan Zetya.”

“Villael, perlindungan ini telah menyelamatkan kelangsungan keturunan Zetya, hingga detik ini.”

“Kurasa, tidak setelah Doggoll berhasil membangun pasukan Shadyzo.”

Suasana berubah hening. Villael merasa, kali ini dia berhasil membuat Kakek Holle berfikir, setidaknya dia menduga demikian, bahwa kemungkinan perlindungan Zetya jebol akan langsung mengakhiri keturunan Zetya tidak lama lagi, hanya menghitung sampai kapan gerhana matahari akan terjadi.

“Baiklah,” kata Kakek Holle akhirnya. “Tidak bijaksana seandainya aku masih berpura-pura seolah itu bukan ancaman serius. Ya… pasukan Shadyzo bias menembus pertahanan kita.”

Tuesday, November 3, 2009

BAB 4. Kisah Belati Perak

Dan mendadak sambaran petir berkilat ganas di langit gelap, diikuti gemuruh memekakan telinga, mengantar tetesan air menjadi guyuran hujan lebat. Villael masih merasakan kegelapan yang samar, hingga yang terlihat sungguh tidak masuk akal. Tongkat batu mengambang dalam gerakan lambat dilatari tetesan besar air hujan. Tubuh-tubuh tak dikenali melayang seperti anai-anai. Teriakan mengumpat dan ketakutan memenuhi udara basah berbau apak tanah. Tapi tubuh Villael masih terasa padat menyentuh tanah, sakitnya masih terasa menguliti, dan bayangan berlarian terpetakan di keremangan lorong berliku…

Dua perempuan tergesa mengambil tempat duduk di sebuah ruang bundar. Berhadap-hadapan mengamati lembaran kulit hewan penuh dengan goresan miring tulisan tangan. Mereka serius, membalik satu persatu lembaran itu seolah rencana mereka mengalami kebuntuan dan gagal. Peluh membuat gaun gelap dan terang semakin melekat di tubuh langsing mereka. Salah satu dari mereka memanggil dengan gelisah. Menjejak tidak sabar lantai hitam sewarna tanah. Ya, ruangan itu dikelilingi tanah. Dinding atap terlihat tidak rata namun keras. Perabotan dan kandil yang menggantung tidak seindah bentuknya. Tak terawat dan berkarat. Hanya rak penuh buku yang tampak berguna dan baru saja tersentuh tangan-tangan mereka.
“Grok!”

Bulat kecil seukuran kentang raksasa muncul dari lantai. Bertangan, berkaki ringkih namun tak berwajah. Mendekati pemanggilnya dengan wajah, entahlah wajah mahluk itu sekeras batu kali berkeropeng. Garis-garis alat inderanya serupa dengan jahitan kasar penyulam bodoh. Tidak halus dan membuatnya tampak jelek mengerikan. Hanya berdiam diri menunggu perintah dari tuannya.

“Villael dalam bahaya. Grok, selesaikan tugasmu. Secepat mungkin membuat lorong menembus perlindungan Zetya.”

“Tolong, tunjukkan saja lorong ke gua hutan Gorian. Dari sana aku bisa mengirim Panah Pesan ke saudara-saudaraku.”

“Tidak, Doggoll tahu gua itu persembunyianku. Gorzada berjaga-jaga di sana! Beruntung Doggoll tidak tahu lorong lain yang langsung tembus ke kamarku dan ibuku. Di bawah sarang Doggoll sendiri.”

Dia tersenyum puas, seolah lorong-lorong itu berhasil mempermalukan Doggoll.

“Tapi Grok dan teman-temannya butuh waktu yang cukup lama! Hutan argenus cukup jauh—sangat jauh!”

“Grok. Berapa hari lagi lorong itu selesai?”

Suara seberat kepala kentangnya bergumam, “Lima belas.”

Seiring jejakkan kaki, Grok seolah hanyalah bayangan padat yang menembus dan berbaur dengan lantai tanah. Dia menghilang, berkumpul dan bergumul melanjutkan tugas mendesaknya. Menggali lorong bawah tanah. Lima belas hari lagi…

“Aku tidak sabar lagi.”

Perempuan bergaun sutra putih berdiri. Menyambar busur panah dan memilih satu di antara empat lorong untuk dilewati. Dia bergerak, tapi perempuan berjubah hitam dengan belati perak, sigap menghalanginya.


“Vellia… Gladielle…”

“Oh, rupanya dia hidup lagi…”

Tapi Vellia tetap bersihkeras, dia ingin pergi.

Cahaya hijau menyilaukan memenuhi ruangan ketika Gladielle menahan serangan tiba-tiba anak panah Vellia.

“Jangan ceroboh!”

“Tidak Gladielle. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Berminggu-minggu membiarkan saudara-saudaraku tanpa kabar dariku, aku tidak bisa!”

“Apa kau lebih tega melihat wajah mereka menangisi ruhmu yang diskaratt? Mati di tangan Doggoll, begitu?”

“Tapi—”

Suara isak tangis Vellia meledak, keluar dari bibirnya yang tipis. Terpuruk di lantai dengan sorot mata penuh permohonan. Gladielle menarik bahu Vellia, mengajaknya untuk kembali duduk sambil mendaraskan penghiburan.

“Dua minggu bukan waktu yang lama dan kita akan tetap di sini. Mungkin ada informasi penting lain yang bisa kuperoleh. Sebelum semuanya terlambat.”

Seperti berada dalam kuali besar berisi air yang mulai mendidih, wajah Gladielle dipenuhi bulir-bulir keringat. Dia lalu menggigil, jatuh dan tersedak ketika ruangan itu seolah dibanjiri air yang entah datang dari mana. Pemandangan itu mulai kabur dan hanya ada kilatan-kilatan bening kemerahan yang semakin mencekat hembusan nafas.

“—oh Mampus! dia mengeluarkan darah!”

Lengkingan suaranya yang kelewat bersemangat, tampaknya mengundang kemarahan seseorang dari arah luar. “Jangan dimasukkan kepalanya!”

Villael tersedak dan membuka matanya, mendapati Gilly melompat-lompat kegirangan. Dia berada di sebuah kamar penuh asap kebiruan. Sebagian tubuhnya terendam dalam bak mandi berisi air keruh, penuh dengan sampah. Namun dia langsung menyadari ketika kotoran yang dikira sampah, ternyata daun-daun layu, bunga yang membusuk, ranting serta kulit tumbuhan obat-obatan. Dia sedang berendam dalam air ramuan. Kulitnya pucat, tapi luka-luka yang diderita sudah terlihat samar. Dan aroma dari cawan-cawan perak di atas meja mungkin saja yang membuatnya berimajinasi tentang Gladielle dan Vellia.

Setelah kesadarannya cukup pulih untuk mengenali ruangan itu, Villael dikejutkan oleh gundukan pakaian kumal tergopoh-gopoh menerjang gumpalan asap. Sepasang tangan keriput terjulur dari gundukan itu, dan Villael sadar, yang tadi berteriak marah ternyata Bibi eMilles.

“Syukurlah. Ini berita gembira,“ kata Bibi eMilles yang wajahnya tersembunyi saking bongkoknya. “Gilly, jangan pegang-pegang cawan itu!”

“Apa yang terjadi?” tanya Villael.

“Oh, akhirnya kau siuman juga—jangan bangun dulu, kau telanjang, Villael,” Bibi eMilless mengambil selimut dan handuk kecil dari lemari di sudut ruangan. “Pakai handuk ini. Tapi jangan banyak bergerak, kau masih terlalu lemah. Boboll akan datang tidak lama lagi—Gilly, panggil Boboll kemari dan jangan masuk-masuk sini lagi!” dia kemudian menuang air ke dalam cawan yang mengepulkan asap kebiruan hasil bakaran akar accure, hingga benar-benar padam. Setelah meletakkan pakaian bersih di atas meja, dia berkata, “aku akan mengabari Kakek Holle dan Panglima Mozilla, mereka sangat kuatir. Tapi kurasa mereka belum bisa menjengukmu. Kecuali kau sudah cukup mampu berjalan—”

“—Mereka… kenapa? Di mana?”

“Mereka… baik-baik saja,” kata Bibi eMilless, bibirnya terlihat pecah-pecah ketika mendongak, tapi suaranya masih sangat jelas. “Hanya ada beberapa tulang yang retak. Makanya aku heran kenapa justru, kesembuhanmu lebih cepat daripada mereka berdua.”

Pintu kamar menjeblak terbuka tidak lama kemudian. Boboll masuk menghampiri Villael. Mengangkatnya dari bak mandi dan menyelimutinya dengan hati-hati. Dia tampak khawatir, namun senang melihat kondisi Villael sudah bugar, bahkan sudah bisa berdiri. “Hati-hati—aku tidak percaya ini. Kau hebat, sobat!”

“Oh, makasih,” jawab Villael. “Kau kelihatan—Boboll, apa yang terjadi denganmu?”

Ada banyak memar merah di wajah Boboll. Tapi dia menghindar dan segera menutup pintu setelah punggung bongkok Bibi eMilless menghilang, pergi menyeret bokong Gilly.

“Pakai ini,” kata Boboll, melempar pakaian dan langsung berbalik. “Aku sudah menyiapkan kamar supaya kau bisa langsung istirahat.”

“Aku baik-baik saja!” kata Villael yang memang merasa lebih baik dari yang pernah dia rasakan. “Kau kenapa?”

“Dikeroyok,” kata Boboll geram. “Serulingmu diambil Atilla. Tapi mereka tidak mau mengembalikannya.”

Villael mengenakan pakaiannya lebih cepat. “Oh. Biar aku yang memintanya kalau begitu.”

Boboll tampak gelisah, “tidak bisa.”

“Tapi aku bisa membuktikannya. Kakek Holle yang memberikan seruling itu untukku. Mereka tidak bisa mengelak lagi.”

“Villael, Atilla sudah mengukir namanya sendiri di serulingmu. Jadi—”

“—Tapi dia tidak bisa menggunakannya untuk mengirim pesan, kan? Hanya aku, Boboll?”

Boboll diam saja, lalu duduk sambil memainkan air bekas ramuan obat. “Kau salah—sebaiknya kau relakan saja. Mereka orang-orang menyebalkan. Tiga hari ini aku dibuat tidak bisa konsentrasi bermeditasi, berisik sekali caranya meniup seruling.”

“Tiga hari?” kata Villael bingung.

“Ya, Kakek Holle menyuruhku belajar meditasi. Dan mereka—”

“—Bukan itu. Aku sudah tiga hari, pingsan?”

Boboll salah menduga dan langsung mengangguk salah tingkah. Villael memejamkan matanya, menghirup sisa-sisa aroma wangi akar accure. Jadi, tiga hari ini dia sudah melewatkan banyak hal di Rumah Besi. Dan serulingnya sudah berpindah tangan. Tidak rela, tapi akan ada lain waktu membuat perhitungan dengan Atilla. Lalu bagaimana dengan bayangan dua perempuan yang nyata sekali adalah Gladielle dan Vellia? Dia mempertajam ingatannya akan ruang bawah tanah di mana mereka berada. Tidak salah lagi, mereka masih hidup. Tentu ini akan menjadi berita yang mengejutkan sekaligus menggembirakan untuknya, terlebih bagi Boboll. Namun secara bersamaan, rasa takut dan ngeri menyerangnya ketika tahu dirinya sedang dalam bahaya, seperti apa yang diucapkan Gladielle. Meskipun demikian, dia berusaha menahan keinginan menceritakan penglihatan itu sementara dia tidak tahu apa yang terjadi selama pingsan.

Villael merebahkan tubuhnya ketika tiba di atas ranjang di ruangan lain. Kamar itu cukup luas dan memanjang. Berderet ranjang besi tampak kosong. Jendela-jendela persegi sengaja terbuka agar udara luar masuk ke dalam ruangan, dan dari sana terlihat gubuk bekas istal kuda.

“Sudah agak siang, udaranya jadi… panas,” kata Boboll segera setelah menyadari Villael mencium bau kurang sedap. “Aku tutup saja gordennya, ya?”

“Tidak apa,” kata Villael. “Boboll, aku ingin tahu, yang kuingat terakhir kali, terjadi keributan.”

“Yeah, “ kata Boboll, tetap menutup gorden jendela. “Luar biasa!”

Villael menyingkap selimut dan duduk terlalu cepat hingga Boboll mengira ucapannya tidak berperasaan.

“Maksudku, begini… sungguh! Kau luar biasa!”

“Luar biasa apanya? Aku babak belur!”

Boboll merebahkan lagi tubuh Villael dan menyodorkan segelas Daicco hangat. Kemudian dia membakar kayu brice, membuat ruangan dipenuhi aroma dingin menenangkan. “Tapi kau kan tidak tahu setelah itu. Kau membuat mereka semua melayang. Jangan menyela dulu, ini belum seberapa—Kau, entahlah aku melihatnya seperti bukan kau. Bahkan aku sempat berpikir kalau kau yang membuat petir-petir itu. Mengerikan. Nah, setelah ambruk, kau langsung bangkit dan, boom!

Boom?” ulang Villael reflek. “Apanya yang boom?

Berbisik dramatis, tangan Boboll memperagakan sesuatu yang tiba-tiba lenyap. “Mereka hilang.”

Tertegun. Benarkah itu yang terjadi? Apakah Boboll hanya sedang berusaha menghiburnya?

“Kau bercanda?”

“Oh, aku memang suka bercanda. Tapi tidak pernah suka memujimu,” kata Boboll jujur. “Kau bisa menanyakannya sama siapapun yang hadir di sana saat itu. Bahkan Gilly bisa cerita begitu detil—tapi jangan sekarang soalnya dia masih marah lantaran ikut menghilang. Baru sehari kemudian dia ditemukan pingsan, tersangkut di atas pohon. Dia tinggal di dapur kalau kau mau bukti. Tapi besok saja kalau dia sudah lupa. Oke?”

“Dia… jadi Gilly tinggal d... di sini? Di Rumah Besi?”

Mendadak muka Boboll semerah batu bata. Bagaimana tidak, kecuali karena keajaiban, Gilly hanya akan membuat onar dan mengganggu latihan mereka. Gilly tipe gadis yang susah ditebak. Gangguan mental yang dialami membuat emosinya labil. Sebentar marah, sebentar tertawa dan tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan. Hanya satu yang membuat mereka bisa menerima kehadiran Gilly. Dia tidak pernah bersedih saat mereka mengolok-oloknya sekalipun.

Boboll akhirnya mengangguk, dan menyambar minuman yang masih dipegang Villael.

“Minta sedikit Daicco-nya. Aku selalu gelisah kalau membicarakan bocah idiot itu,” katanya sengit, menenggak Daicco sampai habis. “Nah, awalnya sih cuma karena Bibi eMilless terlalu khawatir dengan lukanya. Makanya, Bibi eMilless menyarankan beristirahat di sini sampai sembuh. Dan Kakek Holle mengijinkannya. Tapi, aku sudah menduga ini sebelumnya. Gilly berhasil mengelabui Bibi eMilless—dia langsung sembuh satu jam kemudian. Dan kau tahu, apa yang dilakukannya setelah itu?”

“Apa?” tanya Villael, meski tampaknya sudah bisa menebak.

“Dia menggali kuburan di depan rumahku, dasar sinting!” kata Boboll emosi. "Dia pikir kau sudah meninggal."

Hening sejenak. Pantas, rupanya Gilly berusaha menenggelamkan kepala Villael di bak mandi. Dia masih marah, pikir Villael.

“Hmmm, lalu siapa yang datang kemudian,” katanya sambil mengingat-ingat akhirnya. “Sepertinya aku mendengar orang-orang berkuda.”

“Oh mereka utusan dari kerajaan. Datang lebih awal lantaran ingin menyaksikan minat orang-orang yang mendaftar. Tapi mereka harus kecewa dan balik lagi. Karena setelah kejadian itu, yang tersisa cuma—oh kau pasti tidak ingin mendengarnya. Atilla dan kawan-kawan... dan beberapa cewek, entahlah.”

“Aku pasti sudah mengacaukannya.”

“Bukan. Bukan kau, tapi ini gara-gara ayahnya—”

“Ssst,” potong Villael mendadak.

Gwenolla sudah berdiri dan tampaknya terlanjur mengetahui lanjutan ucapan Boboll. Dia mendekat, dan Villael melihat gerakannya sungkan dan merasa bersalah. Mulut Boboll berkedut seperti berkata maaf, tampak seperti ayah Villael yang bisu, karena tidak ada suara yang terdengar.

“Villael,” Gwenolla memulai, matanya bengkak dan tubuhnya yang kekar jadi sedikit kempes. Rambutnya yang panjang hitam, lecek seperti berkarat sejak tinggal di Rumah Besi. “Aku sungguh minta maaf. Kalau saja ayahku tidak memulai… Ini semua—”

“—kau kurusan,” kata Villael kikuk. Dia kemudian menambahi setelah melihat Boboll tersedak ganjil. “Maksudku, ini tidak ada hubungannya denganmu. Ayahmu, tentu saja melakukannya karena khawatir.”

“Aku sudah menduga kau akan bilang begitu,” kata Gwenolla tersenyum terpaksa. Suaranya terdengar bergetar ketika menyorongkan sebuah gulungan kertas berpita merah ke pangkuan Boboll. “Kalau tidak keberatan, tolong sampaikan permintaan maafku sama Panglima Mozi… lla.”

Dia langsung lari begitu isak tangisnya meledak. Boboll mengangkat bahu seolah menepis tuduhan sebagai penyebab perubahan sikap Gwenolla yang terlalu drastis. Namun Villael mengenalnya dengan baik, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Gwenolla selain gagal menjadi prajurit handal. Dan melepas kesempatan tinggal di Rumah Besi, sama saja memupuskan cita-citanya.

“Gwenolla, tunggu!” teriak Villael, mengejarnya hingga beradu pandang di ambang pintu. Meskipun Gwenolla berusaha keras menyembunyikan kegetirannya, Villael bisa merasakan perang batin yang sedang berkecamuk lewat mata Gwenolla yang seharusnya biru cemerlang. “Akhir-akhir ini, banyak kejadian tidak mungkin yang aku alami. Dan, aku akan sangat senang seandainya kau bisa membantuku memecahkannya...”

Villael mendapat kesan Gwenolla sedang menunggu dalam diamnya. Jadi dia melanjutkan meski agak ragu. “… sebelum siuman, aku… sepertinya melihat Gladielle dan Vellia.”

“Apa!” teriak Boboll, berdiri di tengah-tengah hingga Gwenolla terdesak ke sisi pintu. “Oh, maaf—“ ia menyeret Villael, mendudukkannya di atas ranjang seolah ia sudah siap mendengar kenyataan seburuk apapun. “Kau melihat mereka?… tapi masih hidup, kan?”

“Masalahnya adalah,” kata Villael, beranjak berdiri, tegang melihat Boboll dan Gwenolla menatap was-was. “Aku sendiri kurang... tidak, mereka terlalu nyata. Mereka berada di ruang bawah tanah. “

“Jadi?” tuntut Gwenolla yang sejenak melupakan pengunduran dirinya.

Keadaan yang sudah kembali normal dalam takaran Villael setelah begitu sering tertimpa masalah, membuatnya lebih berani dan lancar menceritakan penglihatannya. Tentang keberadaan Gladielle dan Vellia, yang setiap kali menyebut nama yang terakhir, Boboll terlonjak kegirangan. Lain lagi dengan Gwenolla, meskipun yang terjadi adalah berita menggembirakan, wajahnya hampir seraut dengan ekspresi Villael. Mereka selamat adalah satu hal, sementara bahaya yang sedang mengancam adalah harga mahal yang harus Villael bayar.

“Oke. Kalau begitu kira-kira lorong mereka tembus di mana?” akhirnya Boboll bertanya pada siapapun yang otaknya masih menyisakan ruang kosong untuk menjawab. “Hei, hutan argenus cukup luas, tolong!”

“Kau yakin itu bukan mimpi, khayalan atau apalah namanya?” kata Gwenolla memastikan.

Sebenarnya Villael juga tidak terlalu yakin dengan kemampuannya melihat jarak jauh. Namun demi tetap mendapat kepercayaan mereka, bahwa dia tidak sedang mengarang cerita yang lebih heboh, tidak ada jalan lain selain mengatakan, “aku melihatnya, saat itu juga.”

“Tapi bagaimana mungkin?” kata Gwenolla, sebelum Boboll berhasil membuka mulut. “Bahkan Para Penunjuk butuh latihan yang tidak singkat untuk bisa melihat kejadian yang sedang berlangsung?”

“Mereka tidak benar-benar melihat, hanya membual demi sedikit pujian dari Doggoll,” kata Villael jijik. “Lagipula kau sendiri yang bilang, kan? Apapun menyangkut Doggoll menjadi mungkin.”

“Masalahnya, kemampuan melihat jarak jauh tanpa harus melatihnya, cuma—” kata Gwenolla terputus ketika terdengar denting logam beradu di bawah mereka. Tampaknya suara itu berasal dari orang-orang yang sedang berlatih menggunakan pedang di aula tanding—aula untuk berlatih senjata.

“Cuma apa?” tuntut Villael, seolah tidak ingin diinterupsi oleh suara kelontangan pedang jatuh.

Gwenolla berjalan hilir mudik sebelum berani menjawab, “sayangnya aku tidak yakin. Maaf, tapi aku akan cari tahu, hanya ingin memastikan dugaanku… salah.”
Mereka diam cukup lama, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Mencari dan mencerna kemungkinan-kemungkinan yang paling mustahil yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya.

“Kira-kira lorong mereka tembus di mana!” tuntut Boboll, tidak tahan dengan ketegangan yang mereka ciptakan sendiri.

Villael dan Gwenolla mengerling secara bersamaan kepadanya.

“Aku cuma khawatir,” kata Boboll menunduk, “maaf.”

Dan Villael tidak pernah merasa berhak memaafkan kekhawatiran Boboll yang berlebihan. Sama halnya dengan Boboll, dia juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Dia tahu, sekecil apapun berita tentang Vellia akan sangat berpengaruh bagi Boboll. Terbukti ketika mereka akhirnya memulai masa pelatihan bersama, Boboll seringkali menyerah melanjutkan meditasinya, hanya sekedar duduk termenung, bergumam di mana kemungkinan lorong tersebut tembus. Alasannya semakin beragam hari-hari berikutnya, mulai dari jeritan Gilly terdengar seperti teriakan Vellia, lalu rintihan menyeramkan sering terdengar menyuruhnya bermeditasi di sekitar hutan argenus. Lain hari, dia sangat yakin dalam meditasinya, dia mendapat firasat kalau Vellia akan muncul di kandang kuda, meskipun Gwenolla secara terang-terangan mengatakan firasat itu datang karena Atilla dan kroni-kroninya menaruh kotoran kuda di depannya. Dia juga menjadi mudah senewen ketika harus bersebelahan dengan Atilla yang sebentar-sebentar meniup seruling. Saat berlatih pedang, Boboll bahkan mendapat begitu banyak luka lantaran terganggu teriakan Gilly mengutuk Villael mati, yang di telinganya terdengar seperti sedang memanggil Vellia.

Tidak demikian dengan Villael. Dalam usahanya mendapatkan ketenangan, dia justru merasakan luapan emosi yang entah kenapa membuatnya teringat pada sosok sang ayah. Dia belum mengetahui kabar ayahnya sejak kejadian itu. Padahal tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk menjaganya, terlebih setelah warga desa membenci Villael seperti mereka membenci pengkhinatan Sillael. Bagaimanapun juga, saat meninggalkannya, kondisi sang ayah masih sangat labil sejak Sillael memutuskan pergi. Mengingatnya, membuat Villael sangat menyesal pernah menerima ijin untuk mendaftar Angkat Pedang. Parahnya lagi, hingga kadangkala Villael ingin mengutuk, baik Boboll dan yang lainnya sengaja menghindar ketika dia menanyakan kabar ayahnya. Begitu juga dengan Gwenolla yang menemuinya hanya karena tertarik membahas penglihatannya, dan langsung kabur sebelum Villael berhasil menyelesaikan kalimatnya seputar topik keluarga. Semakin lama dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini membuatnya hilang kesabaran. Membuatnya begitu kesepian di tengah suara bising saat berlatih memainkan pedang. Terlintas di benaknya keinginan menyelinap pulang, dan sialnya, penciuman Boboll mendadak setajam anjing hutan. Rencana Villaell selalu terendus, dan Boboll akan langsung melapor ke Panglima Mozilla atau Kakek Holle untuk menghentikannya.

Sekarang kesempatan itu tiba untuk kesekian kalinya ketika dipanggil ke ruangan Kakek Holle minggu berikutnya. Meskipun demikian, dia tidak berharap banyak kemungkinan Kakek Holle memberinya sedikit kesempatan untuk menyelipkan pembicaraan tentang ayahnya. Mereka sengaja memilih waktu tengah malam agar lebih tenang, sementara semua peserta Angkat Pedang yang kini secara sah disebut murid, sedang bermeditasi di ruang tenang.

Ruangan Kakek Holle terletak bersebelahan dengan aula tanding. Ketika Villael tiba di sana, pintu ruangan setebal satu kaki terbuka dengan gerakan pelan ke atas. Getarannya begitu halus, hingga sekilas dia tidak yakin kalau seluruh bagian bangunan Rumah Besi terbuat dari pasir besi dengan lapisan perak di dalamnya. Ruangan itu begitu kokoh, hingga memasukinya serasa berada dalam gua berbentuk kotak. Lantainya terasa begitu dingin meski terdapat perapian yang menyala, menimbulkan bayangan perabotan tampak bergoyang melambai. Suasananya sangat tenang. Hanya ada suara denting pelan dari dua pedang kembar yang saling beradu, tergantung di dinding ruangan. Dan baru disadari olehnya dentingan itu seirama dengan jentikan jari telunjuk Kakek Holle.

Kakek Holle yang bertubuh jangkung sedang berdiri membelakangi Villael, menghadap jendela sambil menikmati wanginya bunga argenus kiriman angin hutan yang mendesir pelan. Sejenak Villael ikut merasakan ketenangannya, belum berani mengusik. Saat Kakek Holle berbalik badan dan menuju ke arahnya, Villael sama sekali tidak melihat tanda-tanda kerusakan parah pada tulang-tulangnya, seperti apa yang dikatakan Bibi eMilles. Dia sudah sembuh total, tidak seperti Panglima Mozilla yang harus menggunakan tongkat untuk berjalan.

Di depan Villael terdapat kursi bulat dan meja bergaris-garis seperti susunan batu bata berukir. Tidak ada apapun di atasnya, kecuali batu bulat sebesar bola mata.

“Duduklah,“ kata Kakek Holle, suaranya terdengar tengang dan dalam.

Villael duduk diam dan hanya menunggu. Kakek Holle masih berdiri, mengambil batu bulat di atas meja dan menjentiknya. Sekilas ekor mata Villael mengikuti luncuran batu, mengenai tonjolan dinding dan memantul. Gerakannya sangat cepat hingga dia baru menyadari tangan Kakek Holle sudah memegang batu yang sama. Pintu langsung tertutup pelan.

“Gwenolla pasti sudah memberitahumu kenapa dipanggil kesini,” kata Kakek Holle, membuyarkan rasa takjup berlebihan yang disembunyikan dengan baik oleh Villael.

“Tentang belati,” jawab Villael datar.

Terakhir kali dia bertatap muka dengan Kakek Holle terjadi satu tahun yang lalu, ketika dihadiahkan seruling besi. Tapi kini dia benar-benar berhadapan dengannya, begitu dekat, hingga bisa melihat birunya mata Kakek Holle. Rambut dan alisnya berwarna putih dengan hidung yang tampaknya patah sejak masih muda.

“Dan kau tahu belati macam apa yang kau dapat?” Kakek Holle bertanya seolah Villael lebih tahu darinya.

Villael menggeleng, dan suasana hatinya mendadak gelisah.

Kakek Holle kemudian duduk dan mengetuk meja. Villael tersentak, dan siap meloncat karena permukaan meja bergerak aneh. Muncul kotak-kotak seukuran batu bata, saling bertukar posisi beberapa saat lamanya, dan ketika meja kembali seperti sediakala, di atasnya sudah ada satu kotak berukir yang lalu terbuka dengan sendirinya.

“Aku harap kau siap mendengar banyak hal. Karena ini masalah serius. Dan tolong, singkirkan pikiran-pikiran lain, apapun itu.”

Tidak salah lagi. Villael tidak punya kesempatan secuilpun. Bahkan Kakek Holle bisa membaca pikirannya, entah tebakan atau memang ekspresi Villael yang terlalu mencolok, terlihat tidak peduli dengan urusan belati. Dan sekilas Villael melihat mata Kakek Holle berkilat cemerlang menembus matanya, seolah sedang mengusir pikiran lain tentang ayahnya.

“Sebelumnya,” kata Kakek Holle lagi, mengambil belati berwarna hijau dari dalam kotak. “Aku ingin pastikan kau tidak bosan mendengar kisah Zetya Illaya di masa lalu. Belati ini adalah belati pertama buatan Zetya…”

Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi Villael. Dan Villaei tanpa menyadarinya langsung memantapkan duduknya.

“… belati yang sama yang aku buat. Tapi tentu saja belati ini menjadi begitu istimewa. Zetya membuatnya sepenuh jiwa, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum penculikan Illeane terjadi.”

Kakek Holle menjelaskan sambil memutar belati, yang selalu berhenti dan menunjuk ke arah barat.

“Saya mengambilnya dari perut Doggoll,” ucap Villael, hampir sama persis saat mendebat dugaan Gwenola. Tapi kali ini justru terkesan menyangkal pernyataannya sendiri ketika yang berbicara di depannya adalah orang yang seumur hidup bergulat dengan senjata tajam.

“Membahas Kyanat sama saja membahas Doggoll sekarang ini. Bahkan Doggoll jauh lebih berbahaya. Kekuatannya berlipat-lipat, karena hidupnya hanya digunakan untuk meningkatkan kekuatan hitamnya sampai benar-benar mampu melenyapkan kita, keturunan Zetya Illaya. Dan apa yang terjadi dalam diskaratt-mu—aku percaya itu—adalah fenomena aneh, yang sayangnya hanya Doggoll sendiri yang bisa menjawab.”

“Tapi kenapa,” tuntut Villael. “Belati yang sama ada di tubuh Doggoll? Saya tidak mengerti.”

Kakek Holle tersenyum puas.

“Belati ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membunuh, melainkan untuk mempertahankan diri. Kau bisa menerkanya dari bahan yang digunakan… ini, bukan terbuat dari perak. Tidak seperti kebanyakan senjata yang lain, bahkan bangunan Rumah Besi sengaja dilapisi unsure perak… Nah, sayangnya tapi juga untungnya, bahwa Illeane ternyata salah mengartikan ketika Zetya memberikannya sebagai hadiah perkawinan mereka. Illeane menggunakannya untuk membunuh Kyanat. Begitu juga Kyanat, yang menganggap belati ini sangat berbahaya, mengira dibuat secara khusus untuk membunuhnya. Kyanat tidak berani mencabut belati yang menancap di dadanya dengan tangannya sendiri, justru menggunakan ilmu hitam.

“Dan ini adalah kesalahan fatal yang dia buat, karena rasa takut yang berlebihan. Kekuatan hitamnya, justru membuat belati ini semakin kuat dan berbahaya, semakin menembus dadanya dan akhirnya masuk ke tubuhnya. Ketakutannya bisa dimaklumi, karena Kyanat mengakui reputasi Zetya sebagai satu-satunya orang yang mahir membuat benda-benda pusaka dan keterampilan luar biasa menggunakan senjata pada zamannya. Dan baru kemarin aku menyadarinya… bahwa belati ini ternyata memiliki kemampuan menyerap kekuatan hitam, bahkan emosi pemegang atau pemiliknya akan mempengaruhi belati ini. Kau pernah melihatnya bukan? Ketika Doggoll benar-benar takut, belati ini mengeluarkan sinar kehijauan?”

“Benar, belati itu semakin terang saat dia teriak kesakitan,” jawab Villael mengingat kejadiannya, membuat perutnya mendadak mual ketika menyadari ruhnya benar-benar tersesat di dalam perut Doggoll.

“Bukan kesakitan. Tapi ketakutan yang luar biasa.”

Kakek Holle kembali memutar berkali-kali, selalu dan selalu belati itu berhenti menunjuk ke arah barat. Villael mendesah berat dan otaknya serasa dialiri pemahaman yang luar biasa terang hingga dia bisa menduganya tanpa harus bertanya. Arah barat adalah letak di mana desa Kyanathia berada. Di sanalah kekuatan paling hitam berkumpul, kekuatan Doggoll dan para Gorzada-nya.

“Nah, Kyanat sendiri tidak menyadari kekuatan yang dimiliki belati ini, bahkan hingga keturunannya yang terakhir, Dog—”

“—Tapi ini belum menjawab pertanyaan saya, ma…”

Villael memotong tiba-tiba hingga dia merasa perlu meminta maaf. Tapi Kakek Holle tersenyum dan menggoyang jari telunjuknya.

“Kenapa belati ini berada di tubuh Doggoll,” kata Kakek Holle. “Yang harus kau ketahui adalah, Kyanat selalu mewariskankan kekuatan hitamnya pada penerusnya yang sah. Termasuk—”

“Belati ini,” sambung Villael yakin.

“Tanpa dia sadari,” kata Kakek Holle menambahi.

BAB 3. Hari Angkat Pedang dan Prajurit

Sejak kejadian itu mereka mendadak dibanjiri pertanyaan warga desa seminggu penuh. Villael sampai hapal benar detil kejadiannya, bahkan saat-saat diskaratt yang seharusnya mengerikan menjadi cerita biasa baginya. Sementara itu Boboll lebih banyak menghindar. Villael tahu persis dan dia langsung mengalihkan topic ke kegiatan mereka menjelang hari Angkat Pedang. Sebagai balasan, ketika Villael merasa putus asa meyakinkan warga desa, tanpa rasa canggung Boboll mengajaknya membahas biri-biri yang sedang hamil tua.

Namun sekali waktu ketika tidak ada bahan omongan, mereka kembali mengenangnya, seolah dengan seringnya menyebut nama Vellia, ia akan muncul.

“Kau benar,” tiba-tiba suara Boboll menghentikan lantunan seruling Villael. Serempak dua puluh biri-biri Villael mengangkat kepala, mencari tahu biang kerok mana yang mengganggu kesenangan mereka, merumput sambil menikmati alunan lagu. “Harusnya aku tidak meninggalkan Vellia-ku sendirian di sana.”

“Maaf?” kata Villael bingung.

Dia mengira gua yang dimaksud Boboll adalah tempat di mana dia sedang mengedarkan pandangan, ke arah puncak gunung Gorian.

“Gua di dalam hutan,” kata Boboll. “Kau tidak benar-benar melupakannya, kan?”

“Oh,” jawab Villael menyesali. “Tentu saja tidak.”

“Ini semua—salahku.”

Villael pura-pura tidak mendengar, namun membiarkan Boboll berdengung semua salahku terus menerus membuat kuping Villael memerah.

“Mulai lagi, deh. Aku sudah sering mendengarmu mengigau tiap malam, menyalahkan diri sendiri tidak akan membuat Vellia-mu kembali. Dan kalau ada yang patut disalahkan, akulah orangnya.”

“Aku yang melarangmu mengirim pesan,” kata Boboll pelan, sambil menunduk memandang barisan semut yang terusik karena ulahnya memotong rute perjalanan mereka. “Sungguh manusia bodoh aku ini.”

Villael mendesah, percuma saja mendebatnya saat itu. Dan pemandangan di depannya menjadi jauh lebih menarik dari apapun yang keluar dari mulut Boboll. Salah satu biri-birinya lari kesurupan, memisahkan diri dari kawanan. Di punggungnya, seorang gadis kecil dengan gagah berani mengacungkan pedang kayu, meneriakkan “serbuuu” dengan lantang, hingga akhirnya biri-biri yang enggan diperlakukan seperti kuda perang itu mendadak mengerem. Gadis itu terlempar dan jatuh bergulingan sambil mengutuk biri-biri menjadi keledai dungu.

Villael tersenyum geli, sementara Boboll yang dari tadi masih menunduk menggerutu pelan.

“Aku memang bodoh,” katanya. “Pantas ditertawakan.”

“Kau tidak bodoh,” kata Villael bosan. “Sudah kukatakan berulang kali. Kalau dipikir-pikir kau justru melakukan tindakan yang paling waras seumur hidup. Aku… masih bisa bernafas sampai detik ini karena kau mencegahku, menyelamatkanku… dan aku tidak tertawa karena itu.”

“Tetap saja,” bantah Boboll. “Meninggalkan perempuan yang kucintai—cuma orang gila yang melakukannya!”

“Kalau gitu, kau tidak sendirian,” kata Villael, matanya terpancang pada gadis yang mendekat. “Masih ada Gilly.”

“Dia gila betulan!” teriak Boboll nyaring, tidak rela disamakan dengan gadis yang menelengkan kepalanya, seolah telinganya mendengar bisikan dari langit.

“Ada yang sedang membahas orang gila rupanya,” kata Gilly entah ditujukan pada siapa. Suaranya terdengar mengambang. Ia lalu mengambil tempat duduk di tengah, di antara Villael yang tersenyum ramah dan Boboll yang tampak enggan dekat dengannya. “Kau tahu, semalam Gilly mendengar Doggoll tereak-tereak, seperti orang gila—dari sana, segitiga setan itu.”

Terang saja Boboll mendengus keras, karena segitiga yang dimaksud Gilly adalah puncak gunung Gorian. Tapi Villael justru menggangguk, terkesan membenarkan. Bukan tentang segitiga setan, tapi teriakan kegelisahan Doggoll sejak peritiwa diskaratt-nya.

“Yeah,” kata Boboll memutar bola matanya. “Aku juga mendengarnya, setiap saat, malah.”

Villael tidak menanggapi serius pengakuan Boboll yang mengucapkannya hanya karena ingin Gilly enyah. Maka dia kembali meniup seruling, menutup matanya mencari ketenangan lewat alunan lagu dalam kegelapan. Menggantikan desiran angin dan hijaunya padang rumput yang membentang…

Kabar berita Vellia yang belum jelas, sejujurnya adalah kesalahannya, dan perasaan itu membuatnya merasa jijik pada diri sendiri. Hidup yang sekarang masih dia nikmati tidak lain karena keegoisannya membiarkan Vellia berjuang sendirian. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, dan dia harus menanggung rasa malu hingga tiba saatnya mendengar kabar berita Vellia, yang jauh dari kemungkinan selamat.

Mata Villael masih terpejam, dan di sela-sela penyesalannya yang terasa semakin melilit, gaung peringatan yang diucapkan Gladielle saat itu mengusik, menyeretnya lebih dalam ke kegelapan alam bawah sadar. Doggoll sedang merencanakan sesuatu… sesuatu yang tidak disadari penduduk desa Zenthia. Tapi kekuatan macam apa yang dimiliki pasukan Shadyzo hingga sanggup menembus perlindungan Setya Illaya, atau mungkinkah kekuatan sihir Doggoll bertambah kuat berlipat-lipat?

Ini tidak boleh terjadi, dan sebelum semuanya terlambat, tugasnyalah menyampaikan peringatan Gladielle. Dan itu tindakan yang mungkin saja bisa dia lakukan untuk menebus segalanya; penderitaan penduduk Zenthia, kehilangan Vellia, dendam dan tekad yang sama yang dirasakan Gladielle… melenyapkan Doggoll sampai ke akar-akarnya kalau perlu.

Ketenangan yang belum juga kunjung tiba, yang mustahil mendekatinya, justru terpecahkan oleh suara melengking di ujung padang rumput. Villael yang mengira Gilly masih duduk di sebelahnya, terbangun dari lamunan. Dilihatnya Gilly sedang menarik buntut dua ekor biri-biri sekaligus, membuat biri-biri lain yang sedang beristirahat siang bergerombol membentuk lingkaran, menonton kegilaan Gilly.

“Wapadalah!” seru Gilly. “Doggoll sedang merencanakan serangan bawah tanah, dan kalian keledai dungu, pastikan seret pengkhianatnya kemari!”

“Hidup Gillybelle!” teriak Boboll yang langsung dijawab Gilly dengan tangan mengepal.

Boboll tergelak memegang perut. Rupanya Gilly yang bercita-cita menjadi laki-laki sejak mengalami gangguan mental tidak senang dipanggil Gillybelle. Dan demi sedikit kesenangan, Boboll menggodanya dengan panggilan belle-belle. Villael tersenyum tertekan, namun sangat senang mendapati kenormalan Boboll telah kembali pulih.

“Villael, ku pulang dulu,” kata Boboll. Berdiri sambil membersihkan rumput kering dari pantatnya. “Aku tunggu di Rumah Besi. Tanganku sudah gatal ingin beradu pedang denganmu.”

Akhirnya Villael bisa tersenyum lebar untuk pertama kalinya sejak saat itu.

***

Sore itu suasana desa Zenthia tidak seperti biasanya. Lebih ramai oleh teriakan anak kecil yang merengek minta ikut kakak laki-lakinya. Banyak orang tua yang tampak sedang berkumpul di teras rumah mendebatkan sesuatu. Mereka sibuk dengan ransel penuh makanan, sepatu bot, mantel bepergian, dan beberapa malah sudah menyiapkan pakaian perang buatan sendiri dan pedang kayu yang sengaja dilumuri getah pohon argenus agar mengkilat. Beberapa kali Villael menjumpai gadis-gadis desa seumuran dengannya berlarian keluar rumah sambil marah-marah. Sebagian lagi justru sembunyi ke pekarangan atau lari ke rumah tetangga menghindari kejaran ayahnya. Kandang-kandang ternak mereka juga tampaknya masih terkunci rapat. Kebun apel dan anggur yang Villael lewati tampak sepi, dan ketika sampai di kedai minuman Daicco Bee, tidak ada satu pengunjung pun yang mampir.

Dan sejenak Villael merasa malu menjadi satu-satunya orang yang tidak secara special menyambut persiapan hari Angkat Pedang, kecuali memotong rambut lebih pendek bisa disebut persiapan. Villael mempercepat langkahnya setengah berlari, setelah menyadari sebagian dari mereka menatap curiga ke arahnya.

“Ini cuma pertemuan biasa, bukan mau perang!” teriak pemuda pendek gemuk sambil berlari, hampir saja menabraknya. “Oi, Villael, kau hampir tujuh belas tahun, kan?”

“Tiga bulan la…” jawab Villael tersendat. Penampilan pemuda tersebut tampak kacau balau. Wajahnya dipenuhi corengan arang dan rambutnya berdiri kaku. “Mukamu kenapa?”

Pemuda itu menjawab dengan cengiran dan langsung kabur ketika melihat ibunya keluar dari dalam rumah.

“Bibbe! Bawa helm besinya!” sengal ibunya sambil mengacungkan pisau daging, dan kembali masuk ke rumah begitu melihat keberadaan Villael.

“Villael, sampai ketemu di Rumah Besi!” teriak Bibbe dari jauh.

Tidak sempat melambaikan tangan sebagai balasan, derap kaki kuda membuatnya menyingkir dari jalan setapak. Sesaat Villael mengira rombongan Vellarian yang melintas, karena kuda mereka berwarna putih bersih. Tapi dia langsung sadar ketika kuda mereka tidak memiliki surai keperakan. Terlebih para penunggangnya bukan perumpuan-perempuan cantik, melainkan si jenggot tebal Rolland, si kering Qillin dan si bulu lentik Bella. Mereka tampak gagah dengan pedang dan perisai imitasi tersampir di punggung kuda. Villael mendesah, dan ternyata merekalah yang membuatnya malas pergi ke sana. Mereka anak-anak orang kaya, yang sering mengejek Villael gara-gara Sillael, kakaknya yang menolak bergabung sebagai prajurit Magmorian.

Dia berjalan melewati petak-petak sawah saat matahari sedikit bergeser ke barat. Hampir memasuki hutan desa, dia menenggak botol minumannya yang ternyata sudah kosong, dan ketika mengambil remah roti dari dalam bekal makanan, seorang pemuda dengan sengaja merendengi langkahnya.

Villael tidak pernah melihatnya sebelum ini. Tapi kuda gorgeos hitam tunggangannya, serta pakaian yang dikenakan jelas sekali berasal dari kota. Penampilannya rapi bersih, linontin berbentuk perisai segienam disampirkan di bahu agar Villael bisa melihat dengan jelas. Dia tampak sombong dan angkuh, meskipun demikian—Villael menyesali karena harus mengakui—wajahnya yang runcing terlalu tampan ketika menoleh.

Pemuda itu bertanya dengan nada melecehkan.

“Apa mungkin, berita tentang hidup kembali setelah mati, itu kau?”

Villael hanya mengangguk, dan mendadak remah roti di tangannya terasa lebih keras dari sebelumnya.

“Dan apa masuk akal, dalam diskaratt-mu, kau sepertinya bertemu dengan Doggoll?” tanyanya lagi.

Kali ini Villael mengangguk disertai jawaban tegas, “Ya, aku melihatnya dengan jelas, tidak salah lagi.”

Pemuda berambut sewarna tembaga tersebut menarik tali kekang kuda untuk memotong jalan Villael. Memutari beberapa kali lalu mengerutkan dahi tidak percaya. Dia mencondongkan badan, mengamati Villael dari ujung sepatu bot usang bercampur lumpur hingga ujung rambutnya yang mulai berantakan. “Apa itu berarti, kau juga mencintai Doggoll?”

Kontan saja pertanyaan itu membuat Villael ingin melempar remah roti ke mukanya. Beruntung dia tidak melakukannya karena rombongan yang melintas kemudian, mengalihkan perhatian mereka.

“Selamat sore, tuan muda Attilla Illanos,” sapa salah satu dari rombongan, membungkukkan badannya terlalu rendah hingga hampir mencium bokong kuda. Dan ketika tahu siapa yang diajak bicara Atilla, mulutnya membentuk huruf “o” panjang. “Tuan muda, bagaimana kabar ayahmu?”

“Baik saja,” jawab Atilla dingin.

“Hoho, ayahmu pasti sering membicarakanku. Aku temannya saat masih remaja. Tapi dia memang hebat. Belum genap satu tahun, langsung diangkat jadi pengawal pribadi kerajaan. Wah, wah, kurasa, kau cuma buang-buang waktu saja mengikuti perekrutan di kampung ini. Ayahmu tentu bisa memasukkanmu menjadi prajurit pilihan kapanpun dia mau.”

Dari nada bicaranya kentara sekali sudah terlatih sebagai penjilat. Saking seringnya menjulurkan lidah, Villael seakan bisa melihat representasi sempurna ular crawler kesayangan Doggoll. Bentuk hidungnya ganjil, seperti patah ke samping. Matanya bulat besar, sampai Villael mengira sedang dipelototi ketika melirik ke arahnya. Dan cara jalannya, tidak ubahnya seperti maling yang sedang mengendap-endap.

Atilla tersenyum terpaksa, tanpa berkomentar atau pun menujukkan ketertarikan membicarakan profesi ayahnya. Dia mengalihkan pembicaraan tentang kebenaran cerita Villael. Dan tampaknya, ketidakpercayaan mereka membuat keduanya semakin akrab sepanjang perjalanan, meski yang lebih banyak bicara tentu si penjilat ulung tersebut.

“… Ah, itu sih cuma cerita anak kampung,” katanya. “Maklum, ibunya meninggal gara-gara termakan gosip. Sejak saat itu dia mulai bertingkah sembrono, keluar masuk hutan eratus sama si Dobboll. Dengar-dengar dia ingan balas dendam, hmmm memangnya dia bisa apa sih? Trus yang namanya Dobboll itu, tergila-gila sama gadis Vellarina. Sepertinya anak itu terlalu lama tidak bercermin. Kasihan…”

“Sebelumnya, apa aku pernah mengenalmu?” tanya Atilla tiba-tiba, tanpa menoleh.
Yang ditanya menggaruk kepalanya yang botak.

“Tentu saja kau tidak mengenalku,” jawabnya terkekeh. “Kau pindah ke kota Ibbizanthia saat baru belajar bicara. Tapi seharusnya kau ingat saat aku memandikanmu, kau bilang ‘ini apa, Paman Bollac?’”

Villaell mendadak mengubah tawanya menjadi batuk paling ganjil yang pernah dia buat ketika Bollac menirukan suara Atilla kecil sambil menunjuk celananya sendiri yang kedodoran. Atilla menoleh ke belakang dengan wajah masam, dan langsung memacu kudanya sekencang mungkin. Bollac cuma mengguman heran, “apa aku salah bicara?”

Gerbang Pedang Kembar sudah menghadang langkah Villael beberapa saat kemudian. Bangunan kuno peninggalan Zetya Illaya itu masih tampak kokoh menyangga dua pedang besar saling silang sebagai atap. Hutan dalam desa yang menaunginya tidak segarang hutan eratus. Di sini lebih banyak ditumbuhi pohon argenus yang hanya berbunga setahun sekali. Ini bukan kali pertama Villael memasuki area Rumah Besi. Dia sering mengunjungi Boboll yang tinggal di rumah mungil yang sebenarnya adalah bekas istal, berada di belakang bangunan utama. Tapi memasukinya sore itu, tampak berbeda sekali dari sebelumnya yang biasanya sepi. Kerumunan warga desa memenuhi halaman Rumah Besi. Anak-anak kecil yang ikut dalam rombongan keluarga bermain di sekitar Tugu Peringatan. Pemuda-pemuda desa tampak membentuk kelompok kecil, duduk di bawah pohon argenus tua atau gazebo yang tersebar di halaman depan. Dan ketika melihat Villael bergabung dalam kerumunan besar, beberapa dari mereka melambaikan tangan.

Dengung mereka hampir senada, menggumamkan kedatangan penghuni Rumah Besi. Kemudian semua mata tertuju pada sosok Kakek Holle, yang pada saat bersamaan terperanjat melihat begitu ramainya pendaftar dan pengantar. Mereka yang berada agak jauh langsung mendekat semua, kecuali kelompok yang datang menggunakan kuda. Begitu pula remaja putri yang sepertinya lebih tertarik dengan banyaknya pemuda tampan dari pada menyambut Kakek Holle yang sudah uzur.

“Hampir saja aku tidak mengenalmu,” tiba-tiba sebuah suara berat membuat Villael menoleh ke gadis berbadan kekar di sebelahnya. “Ternyata kau… wah, rambutmu parah. Pantas. Kupikir kau salah satu teman Atilla.”

Tangan Villael otomatis merapikan rambutnya dan berkata canggung. “Oh, tidak sempat mengasah pisau cukur. Gwenolla, apa wajahku… tampak menakutkan?”

Gwenolla mengangguk, tapi ada sunggingan kecil ketika menunjuk dagunya sendiri.

“Asal tidak membiarkan jenggotmu setebal Rolland, kau masih layak mendapatkan perhatian seorang gadis.”

Ucapannya terdengar ganjil, terkesan menyebut orang lain. Rupanya Villael tidak menyadari. Dari tadi Arrellia memperhatikannya sembunyi-sembunyi tanpa berkedip, dan wajahnya langsung merona merah ketika Villael tersenyum ke arahnya.

“Kau ikut mendaftar?” tanya Villael serba salah.

Gwenolla menimpali dengan nada sinis ketika Arrellia mengangguk tidak yakin dan terdengar mengikik.

“Sejak kapan dia suka berkelahi? Angkat pisau dapur saja takut. Paling juga—kau pasti tahu alasannya.”

Ucapan Gwenolla yang sengaja dikeraskan sambil menyenggol bahu Villael, membuat bibir Arrelia melengkung ke bawah dan bergabung dengan teman-teman gadisnya.

“Kau sendiri?” tanya Villael pada Gwenolla, agak ragu. “Ayahmu sepertinya kurang setuju kau menjadi prajurit.”

“Tidak. Keputusanku semakin bulat saat mendengar Doggoll—” Dia mendadak mengubah suara beratnya menjadi bisikan. “Aku percaya semuanya. Dan belati yang kau ambil—kau masih menyimpannya, kan?”

“Kakek Holle. Dia yang menyimpan. Katanya ada yang aneh—”

“—tentu saja aneh. Kau mengambilnya dari perut Doggoll, dan belati itu berulang kali menyelamatkanmu dari serangannya, kan?”

“Bisa jadi karena aku dalam kondisi diskaratt,” kilah Villael. “Apa mungkin seseorang bisa melukai roh orang mati?”

“Kau bahkan kedengaran tidak mempercayai ceritamu sendiri.” kata Gwenolla kesal.

“Villael, bicara tentang Doggoll, semuanya menjadi mungkin. Dan dari ceritamu, belati itu mirip dengan belati-belati buatan Kakek Holle, hanya warnanya yang hijau membuatnya berbeda. Tapi aku yakin belati itu pasti ada kaitannya dengan masa lalu Zetya Illaya.”

“Maksudmu?”

“Bagus, kini kau tertarik. Tapi bukan waktunya membahas. Kakek Holle tampaknya sudah siap. Er, Panglima Mozilla mana ya?”

Mereka mendongak melewati kepala kerumunan yang berwarna-warni.

Di teras Rumah Besi, Panglima Mozzilla terlihat sedang duduk memegang pedang dengan tangan kanannya. Sebagai mantan panglima perang, banyak hal yang sudah dia lewati. Mengalami masa-masa sulit dan peperangan saat masih aktif menjabat, hingga wajahnya dipenuhi bekas sayatan pedang dan harus kehilangan satu tangannya. Sifatnya yang keras dan tampangnya yang bengis membuat banyak pihak yang menganggapnya tidak cocok melatih di Rumah Besi. Tapi Villael mengenalnya sebaik dia mengenal Kakek Holle. Mereka orang-orang yang tampak menakutkan dari luar saja, dan yang terpenting adalah, merekalah yang selama ini membuat dirinya merasa diterima kembali di desanya.

Sementara itu, Boboll berdiri di sebelahnya, terus melirik ke arah pedang yang berukuran hampir satu meter, seolah sebentar lagi pedang itu berpindah tangan. Kemudian saat Panglima Mozzilla bangkit, Boboll langsung ambruk, tidak menyangka keinginannya terkabul terlalu cepat, memeluk pedang yang paling berat yang pernah dia pegang. Air muka Panglima Mozzilla berusaha keras tersenyum saat membantu Boboll berdiri, tetap saja air mukanya jauh dari kata ramah.

“Selamat datang,” sambutan Kakek Holle berhenti sejenak untuk mengenali tamu-tamunya. Tatapan matanya tajam meski berumur hampir seabad. Sisa-sisa badannya yang kekar dan berotot masih tampak dari caranya berjalan. Tegap, kokoh dan tenang. “Seharusnya aku menyiapkan tenda-tenda untuk kalian. Tidak menyangka, ini seperti mengumpulkan orang untuk maju perang…”

“Bukankah Angkat Pedang dipersiapkan untuk berperang?” kata suara dari dalam kerumunan terdengar dikenali Villael.

“Hampir betul,” jawab Kakek Holle, memandang lurus ke depan. “Tapi intinya adalah, Angkat Pedang dipersiapkan untuk masa depan kalian, mengasah keterampilan dan kematangan kalian. Dan bukankah ini sudah menjadi kewajiban kita bersama? Lihatlah pohon argenus, mereka berbunga… itu sebuah pertanda, panggilan bagi pemuda-pemudi tangguh seperti kalian untuk meneruskan cita-cita Zetya Illaya. Nah, tadi anak muda mana yang berani bertanya?”

Kerumunan langsung membelah. Villael melihat Bibbe berdiri gemetaran menyadari kesalahannya, karena semua mata tertuju ke arahnya.

“Sudah tujuh belas tahun?” tanya Kakek Holle, memicingkan matanya.
Bibbe agak ragu menjawab. “Tuj.. Delapan belas.”

“Sepertinya aku memang pernah melihatmu setahun yang lalu,” katanya. Kemudian sambil mengelus jenggotnya, Kakek Holle melankutkan. ”Nah, nanti…”

Cukup membosankan, sama seperti memandangi Tugu Peringatan terlalu lama. Villael sudah sering menyaksikan ritual ini, bahkan setiap kalimat yang disampaikan panjang lebar itu sebenarnya hanya berujung pada pemanggilan nama-nama pendaftar oleh Panglima Mozilla. Villael akhirnya memutuskan menerima tawaran Gwenolla, menunggu di sekitar Tugu Peringatan.

Bentuk bangunannya hanya sebuah meja batu persegi, dengan dua batu bulat datar sebagai bangku. Bukan bangunan yang istimewa jika dibandingkan dengan Bangunan Rumah Besi yang mengerucut seperti caping megah. Villael bahkan sering melewatinya begitu saja, karena merasa tidak ada apapun yang bisa diamati kecuali patung perempuan yang kepalanya hilang sebelah, sedang menunduk.

“Kasihan ya,” kata Gwenolla ketika mereka memandangi patung tersebut.

“Beruntung, dia cuma batu yang dipahat,” komentar Villael datar.

“Batu yang dipahat?” ulang Gwenolla tidak percaya. “Kupikir kau lebih tahu daripada aku. Villael, kemana saja kau selama ini?”

“Yeah,” kata Villael mengangkat bahunya. “Aku percaya kisah asmara Zetya. Tapi patung ini…?”

“Kau mempercayainya setengah-setengah. Atau kau memang tidak percaya, sama seperti kebanyakan orang. Kisah mereka memang hampir seumur legenda, dan aku tidak menyalahkan siapapun yang enggan mendengar cerita klise mereka. Cinta segitiga, yang akhirnya seperti sekarang, menyisakan permusuhan,” Gwenolla menjelaskan. “Sebenarnya Illeane gadis yang baik. Coba saja dia tidak terkena guna-guna, pasti mereka berakhir bahagia, dan dia tidak harus menderita melayani nafsu Kyanat. Tapi aku sangat yakin, Zetya saat itu tidak membiarkannya begitu saja. Hmm, sayangnya… tetap saja kekuatan hitam Kyanat tidak bisa menghindarikannya dari kutukan, jadi patung…”

Selagi telingan Villael mendengar cerita Gwenolla, dia mengamati lebih cermat patung di depannya. Apa yang dilakukan patung tersebut terlihat seperti sedang menangis atau bisa jadi sedang membaca tulisan kuno di atas permukaan meja: Zicha~essa sa~chassi ellzaria aszogass. Akhirnya, langit sudah menjingga ketika terdengar suara kasar Panglima Mozilla menyebut nama-nama seperti, “…Woodle LLoda, Atilla Illanos, Rollad Gondolla, Bella Bollac, Qillin Acculun—Kalian cepat kesini! Kalau takut kuda kalian lepas, ikat ke leher kalian sekalian…!”

“… setelah mencoba membunuhnya dengan belati—tunggu, Villael! Kau harus percaya ini!”

Suara kasar Panglima Mozilla bertabrakan dengan suara berat Gwenolla yang mendadak melengking ketika legendanya berakhir, bergaung menyeramkan.

“Ya, aku mempercayainya. Patung ini kekasihnya, dan Zetya sengaja mendudukkannya di sini agar seolah-olah masih bisa diajak bicara. Sangat tragis memang.”

“Kau tidak mendengarku!” Gwenolla menarik bahu Villael agar berbalik. “Belati itu! Illeane menusuknya dengan belati.”

“Eh,” jawab Villael bego.

Gwenolla menatap penuh harap. Tapi Villael sama sekali tidak tahu apakah harus berekspresi sama, seperti yang digambarkan Gwenolla; menunjukan kegairahan yang meluap-luap.

“Lalu—?”

“—Belatimu!” kata Gwenolla berubah jengkel. “Belati yang juga digunakan Illeane!”

Villael langsung paham, meski dahinya harus berkerut. “Tapi aku mengambilnya dari perut, bukan dadanya. Maksudku, Illeane tidak mungkin menusuk hingga belatinya masuk ke perut Kyanat, kan?” lalu dia cepat-cepat menambahkan, “dan aku mengambilnya dari perut Doggoll, Gwenolla?”

“Tepat! Kalau begitu,” kata Gwenolla yang menganggap kemustahilan adalah kebenaran mutlak. “Kau perlu cari tahu belati macam apa yang disimpan Kakek Holle. Dan asal kau tahu saja, tapi mungkin juga Doggoll yang memasukkannya sendiri. Tapi untuk apa?” dia berpikir keras di tengah bicaranya yang cepat, lalu mendesah, “kalau saja Gladielle masih selamat, dia pasti akan sangat—Kau tidak apa-apa?”

Seperti tertonjok perutnya ketika mendengar nama Gladielle disebut, Villael membuang muka. Menolak mengakui hatinya bergetar membayangkan bagaimana tubuh Gladielle terjatuh ke jurang. Dia menggelengkan kepalanya, berbohong. “Tidak apa-apa. Sepertinya namaku disebut, yuk kesana!”

“…llael Sillas, Boboll Illaya, Bibbe Zaolla, Gwenolla Grill, Arrelia Trillia, Amarell Linn, Gillyb—Gillybelle! Siapa yang menyuruhmu mendaftar!”

Gilly melompat turun dari atas pohon tumbang.

“Doggoll!”

Panglima Mozilla tersentak. Lalu sambil menunjuk, dia membentak keras. “Kalau begitu kau tidak termasuk!”

Gilly meraung karena kecewa berat. Villael dan Gwenolla yang kebetulan melintas, menunduk memegangi kepala, mengira menjadi sasaran kemarahan Gilly. Tapi ternyata Gilly melempar pedang kayunya ke sisi lain, melesakkannya ke lubang pohon hingga terlihat benar-benar menancap. Anak-anak kecil yang melihat serempak tepuk tangan dan bersorak, tapi langsung berhenti setelah orang tua mereka melarang.

Setelah semua peserta Angkat Pedang berkumpul di teras Rumah Besi, Kakek Holle mengambil alih sambutan. “Nah, sekian saja, putra-putri kalian akan menginap malam ini. Mereka akan dibekali informasi sebelum utusan kerajaan datang esok hari. Jadi, silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing, dan selamat malam.”

Sebelum semua kerumunan meninggalkan tempat, seseorang berteriak. “Kakek Holle, sebentar!”

Kakek Holle yang sedang mempersilahkan peserta Angkat Pedang masuk, mendekati orang yang meneriakinya. Antrianpun terhenti, bahkan sebagian yang terlanjur masuk, kembali keluar karena tampaknya terjadi sedikit keteganggan.

“Hanya ingin memastikan, Anda tidak akan membiarkan anak itu meracuni pikiran putriku, kan?” kata orang berjenggot kambing sambil menunjuk Villael. “Tidak memaksa agar mempercayai rencana Doggoll?”

Semua mata seolah ditarik paksa oleh jari tangannya. Villael berdiri terpaku di tempatnya. Boboll mendekat, menarik lengan Villael yang menolak diajak masuk.

“Apa kau sudah menanyakannya sendiri pada Gwenolla?” kata Kakek Holle tenang.

Gwenolla mendekati ayahnya, yang mukanya ketakutan menatap mata tajam Kakek Holle. Sambil melirik ke arah Villael, Gwenolla berkata, berusaha tegas di bawah tekanan ayahnya. “Aku mempercayainya—ah!”

“Kalau begitu aku melarangmu, pulang!”

Dengan kasar, ayahnya menyeret paksa lengan Gwenolla hingga terjatuh. Namun tidak ada ampun, cengkeraman ayahnya terlalu kuat meski tenaga Gwenolla masih cukup mampu membanting seekor kambing. Villael melihatnya meronta-ronta seperti hendak diantar ke tukang jagal, miris. Tapi tidak ada yang bisa Villael lakukan selain mengumpat dan meneriaki dirinya sebagai pengecut tidak berguna; Gwenolla mempercayaimu, tolol!

Ada yang mendorongnya jatuh, dan itulah yang seharusnya dia lakukan ; Panglima Mozilla menghambur dari Rumah Besi, menyambar pedang dari tangan Boboll dan bergerak tangkas seperti tupai meloncat dengan mudah, menyelipkan pedangnya ke ketiak ayah Gwenolla. “Apa kau tidak mempercayaiku juga, Grill?”

Grill, ayah Gwenolla gemetaran.

“Jadi kau percaya?” seseorang menyeruak, dan sekilas Villael terkejut karena dari tadi tampaknya hanya dia yang bersikap seolah tidak terjadi keributan. Dia menyapu pandangannya sebentar ke Attilla yang tersenyum puas sebelum kembali berhadapan dengan Panglima Mozilla. “Berhentilah membuat warga resah, Mozilla. Keadaan sudah cukup susah tanpa rumor menyesatkan semacam itu.”

“Ini bukan rumor!” teriak Villael sudah berdiri tegap, seperti mendapat kekuatan baru setelah melihat aksi mengagumkan Panglima Mozilla.

“Oh, dasar keluarga pengkhianat!” Bollac lari mengendap-endap, berdiri di sebelah orang yang tampaknya tidak asing baginya. “Kabar baik Illanos—sedang cuti?” dia mulai menjilat, tapi merasa belum saatnya, dia menyerang Villael dengan suara yang menurutnya galak. “Apa kau bisa membuktikannya, bocah ingus—Siapa yang melempar kotoran kuda!”

Mengetahui siapa yang melempar kotoran, Bollac mengendap-endap mengejar Gilly yang lari dengan begitu lincah.

Villael melompat dari teras setinggi satu meter. Dia sudah sering menceritakan kejadian diskaratt-nya, tapi di depan sekitar seratus lebih pasang mata yang menatap marah, butuh lebih dari sekedar nyali. Berusaha mencari kekuatan tambahan, dia menoleh ke Boboll yang menjulurkan tangan, mendukung, tapi tampak ngeri. Dilihatnya Panglima Mozilla menyingkir dari massa yang mulai tidak sabar, dan mendesak maju.

“Doggoll menyadari kekuatannya tidak bisa menembus perlindungan Zetya Illaya.” Villael memulai. “Karena itulah, sekarang dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih tangguh dari Gorzada. Aku tidak mengatakan… sesuatu itu sanggup menembus atau tidak. Keadaan yang kalian anggap tenang selama ini, itu karena… karena Doggoll tidak lagi meneror secara terang-terangan. Tapi bukankah lebih baik kita waspada dari pada tetap bersikap acuh—?”

Tiba-tiba dia mundur selangkah di tengah aksinya. Tubuhnya mulai goyah ketika wajah-wajah mereka seolah menuntut lebih dari sekedar cerita yang sama. Diawali oleh bisik-bisik Bollac yang mengintimidasi, serentak warga berteriak. “Kami butuh bukti!”

Untuk mengatasi teriakan mereka, Villael mengeraskan suaranya. “Dan kalau kalian masih mau mendengar, aku bisa saja…”

Dia celingukan minta bantuan ke siapapun yang tampak sulit membuktikan ucapannya. Mengira beberapa orang ikut membantu dari belakang, hatinya lemas seketika. Attila, Rolland, Qillin dan Bella datang bukan untuk membantu. Wajah-wajah mereka sangat puas, rambut mereka yang nyentrik membuat barisan mereka seperti pagar tanaman tak terawat. Jantung Villael berdegup kencang, dan angin malam yang dingin seakan membeku. Keadaan justru semakin memanas ketika Bollac membagi-bagikan batu dan tongkat kayu ke warga desa yang masih tersisa. Istri-istri mereka tampak berlarian menggendong anak-anaknya keluar gerbang.

“Kau tidak tuli, kan?” cemooh Illanos. “Mereka butuh bukti, bukan omong kosong yang kau sebut sesuatu.”

“Kecuali Anda berani memaksa Doggoll membeberkannya dengan suka rela,” kata Villael. “Dan… dan bukankah sudah jelas, hilangnya Vellia…” rasa bersalahnya kembali menyerang, hingga dia langsung melompat ke bukti lain, dan ini membuatnya bosan, “… lalu batu Collatera, apa kalian tidak curiga kenapa kejadian tahun lalu, batu itu tidak menunjukkan campur tangan Doggoll?”

Sama sekali tidak mempan, Illanos tertawa sinis.

“Cerita versi lain calon pengkhianat, bagus.”

Tidak jelas apa maksud ucapan itu, Villael maju selangkah.

“Apa maksudmu?”

Illanos mencibir seolah Villael cukup pintar bersandiwara. “Cih! Aku pernah mendengar Sillael mengarang cerita yang sama meyakinkan dengan caramu berbohong. Menghasut warga hingga membuat mereka terperangkap jebakan Doggoll. Mengikuti jejak kakakmu rupanya?”

“Kau tidak menuduh Sillael pengkhianat itu, kan, Illanos?”

Betapa leganya Villael, karena Panglima Mozilla menyela, ikut membela meskipun orang-orang yang mengepung berhasil melucuti pedangnya. Namun ketika menyadari Illanos sedang membelokkan topik ke tuduhan menyesakkan tentang Sillael, sama saja menggiringnya pada masalah baru.

“Siapa lagi coba!” teriak Illanos, merentangkan kedua tangan seolah menunggu penyangkalan. “Sillael menghilang setelah kejadian itu. Membawa semua persenjataan entah untuk apa. Atau mungkin justru sekarang dia sudah menjadi kaki tangan Doggoll, barangkali?” dia tersenyum puas, lalu menunjuk penuh kebencian ke hidung Villael, “beruntung ayahmu yang tua itu bisu, jadi tidak perlu repot membongkar kebusukan anak-anaknya.”

“Pengkhianat!”

Teriakan warga desa bergemuruh. Batu melayang serentak seperti ratusan peluru yang dilontarkan ketapel tepat sasaran. Mereka tidak puas hanya dengan sekali lempar. Pentungan tongkat tidak ingin ketinggalan ambil bagian dalam kehiruk-pikukan. Banyak suara berteriak seperti “kyanat”, “bunuh”, “Villael”, “lari” bercampur dengan suara hantaman ke kepala Villael. Dia limbung, dikerumuni tangan-tangan kotor, injakkan keras sepatu bot, pentungan kayu, batu yang menghujam membuatnya jatuh terpuruk. Tubuhnya babak belur, darah mengucur, membuat samar penglihatannya. Panglima Mozilla tampak seperti bayangan yang sedang bertarung menghadapi sepuluh warga bersenjata parang sekaligus. Kakek Holle tidak terlihat jelas, hanya kelebatan janggutnya yang bergerak liar, sementara Boboll dan Gwenolla berkutat dengan geng Atilla di sudut lain. Seolah namanya ingin tercatat dalam peritiwa heroik, Gilly bergumul menggigit tulang kering Bollac.

Tidak imbang. Itulah yang terjadi. Villael dalam gelapnya pandangan, berharap suara derak kaki kuda memasuki gerbang datang menolongnya. Tapi tidak jelas siapa yang datang. Rombongan saudara Vellia-kah? Atau Vellia sendiri yang selalu muncul di saat nyawa Villael di ujung tanduk?

BAB 2. Buronan : Pengkhianat Kyanathia

Ledakan cukup kuat terjadi berkilo-kilo meter jaraknya. Suaranya bergema, membuat kawanan kelelawar berhamburan keluar menuju kegelapan malam melalui lubang besar, dari mana sinar rembulan masuk menjadikannya penerangan satu-satunya. Villael berada dalam gua, tepatnya terkapar di atas tanah basah setelah terlebih dahulu menghantam dinding gua. Punggungnya sakit sekali, dan darah kental meleleh dari mulutnya. Belum sempat mengangkat tubuh kurusnya, berusaha begitu keras, seseorang berteriak memanggil namanya.

“Villael,” seru laki-laki yang langsung dia kenali dari suaranya. Boboll, sahabatnya berusaha membantunya berdiri, namun Villael hanya bisa duduk bersandar, mengatur nafasnya. Ia memeriksa setiap jengkal bagian tubuh Villael hingga serba salah karena saking banyaknya bagian yang sakit ketika disentuh. “Kau tidak—oh pasti sakit sekali. Manusia laknat!”
Villael tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah Boboll menyambar belati berukir yang tidak disadarinya masih tergenggam erat di tangan kanannya.

Boboll berdiri tegap, setelah sebelumnya lari seperti orang mabuk ke seberang. Ujung belatinya sudah menempel di leher seorang perempuan. Hanya dengan satu gerakan saja, nyawa perempuan tersebut pasti melayang seketika. Namun nyatanya Boboll belum berani melakukannya, hanya bergerak ke samping hingga Villael bisa melihat posisi mereka.

“Kau belum pernah membunuh,” kata perempuan berambut sebahu itu terdengar mantap, tidak terlihat gentar di bawah ancaman sebilah belati.

“Sebentar lagi,” jawab Boboll, sekilas matanya melihat ke bawah, ke sesuatu yang berkilat di tangan lawannya. Dan meskipun ia mengatakannya dengan lantang, tetap saja ada keraguan di setiap suku katanya, terdengar menggelikan. Bahkan posisinya yang lebih tinggi dari perempuan yang terkapar di lantai gua tersebut, tidak serta merta membuatnya unggul. Tangannya mulai kebas dan bergetar saat berkata, “permintaan terakhir!”

Perempuan itu hanya tersenyum. Ia tahu lawannya sedang berusaha mengulur waktu dengan pertanyaan sok ksatria.

“Kau yakin, belatimu lebih cepat dari belati perak milikku?”

Hening sejenak. Masing-masing seolah sedang mengukur kekuatan sementara kondisi mereka sama-sama terluka. Ada goresan merah di lengan Boboll yang terjulur. Pegangannya mulai kendur hingga tangan kirinya bergerak pelan memegangi lengan kanannya agar lebih mantap. Dan mulut perempuan itu, jelas sekali ada bekas darah.

Kemudian perempuan itu melanjutkan, “kalian, keturunan Zetya tidak pernah sadar. Selemah apapun musuh kalian, mereka bisa dengan mudah membunuh.”

“Tidak di tempat kami, bukan?” jawab Boboll, sesaat tampak puas lalu mengerutkan dahi.

“Bersembunyi... Kalian begitu bangga?” perempuan itu menyeringai. Boboll sangat terhina karenanya, namun sudah terlambat. “Bangga berlindung di tempat leluhur kalian sementara Doggoll sebentar lagi menggerogoti dari dalam?”

“Jangan banyak omong!” gertak Boboll. “Katakan!”

“Itu permintaan terakhirku, memberi kalian peringatan. Jadi,” katanya, darah mengalir dari sudut bibirnya yang tipis, meludahkannya beberapa kali sebelum berkata lagi, “kalau kau benar sanggup menebas leherku, lakukan!”

Villael yang memperhatikan dengan tegang percakapan mereka otomatis bereaksi. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Boboll akan menarik belatinya sementara senjata yang sama akan menusuk alat vitalnya sendiri.

“Berhenti!” dia berseru, mencoba berdiri dan berhasil meski sempoyongan—Villael pernah mengenalnya, bahkan berbagi perasaan dengannya ketika usianya sepuluh tahun… berada dalam tubuh gadis kecil itu, mungkinkah—“Kau, Gladielle…”

“Dari mana kau tahu namaku?” tanya Gladielle, masih bersikap tenang.

Tanpa sedikitpun melepas pandangannya dari mata Boboll yang mulai berair, ia berdiri dengan hati-hati agar tidak terkesan hendak menyerang lebih dulu. Belati peraknya bergerak dari bawah ke atas seperti membelah perut Boboll. Dan kini, titik yang akan menjadi amukan ujung belati seandainya salah satu dari mereka bertindak ceroboh adalah kerongkongan mereka masing-masing.

“Iya,” kata Boboll, tampak bingung antara menoleh ke Villael atau mempertahankan keberaniannya menatap mata Gladille yang semakin menusuk. “Bagaimana—perempuan jahat ini, dia hampir saja mencelakaimu. Aku melihatnya—menggantungmu seperti mainan, trus mengikatku, juga menyumpal mulutku dengan tanah!”

“Justru aku yang menyelamatkan kalian,” bantah Gladielle sambil menarik tangannya, melangkah mundur mengambil jarak aman, lalu membelakangi Boboll, berdiri di tepi jurang yang menganga dalam gua. Villael merasa lega, sekaligus takut andai Gladielle terpeleset jatuh. “Kau—“ dia menujuk Villael tanpa berbalik badan tapi tepat, lalu berusaha menjelaskan, “kau mati karena serangan mereka. Saat ruhmu dalam kondisi disskarat—Aku mempelajari bagaimana cara memanggil ruh, dan itu yang aku lakukan barusan, mengembalikan ruhmu ke tubuh asalmu,“ kali ini menunjuk Boboll, “bukankah kalian tahu soal itu, kematian karena kutukan mereka tidak membuat ruh kalian lenyap begitu saja?... ruh kalian masih bisa diselamatkan, dan seharusnya kalian berterima kasih untuk itu. Satu hal lagi, aku bisa mengalahkan Gorzada kalau kalian tidak ikut campur.”

Tidak peduli dengan alasan itu, Boboll menyerang dengan pertanyaan asal-asalan, “tapi kau lari terbirit-birit, perempuan?”

Boboll melompat mundur, terkejut ketika Gladiell tiba-tiba memutar badannya, berteriak seolah menyerukan kutukan maut dengan belati peraknya.

“Karena aku belajar dari pengalaman! dan jangan panggil aku perempuan—Aku sudah menyiapkan jebakan untuk mereka, memasang jaring perak di lereng gunung, dan selusin anak panah bermata perak siap menembus jantung mereka, tapi kalian dan teman-teman kalian membuat semua usahaku sia-sia—”

“Aku sungguh minta maaf,” kata Villael, berdiri goyah di sebelah Boboll, yang belum puas dan tampak marah atas sikap lunaknya. “Kami tidak tahu soal itu… sekali lagi, maaf.”

“Tunggu,” kata Boboll, otomatis mendongakkan kepala, menunjukkan tonjolan jakunnya, dan berharap Villael tahu apa maksudnya. Tapi Villael hanya menggeleng, Boboll merana liar. “Mana mungkin! Dengar… temanku boleh saja percaya, kau pasti sudah mengguna-gunai, aku tahu itu, tapi—Kau dan setan-setan itu berasal dari desa Kyanathia! Kau pikir, apa aku kelihatan tolol hingga mudah percaya oleh bualanmu itu? Kemampuanmu memanggil ruh, omong kosong! Dan lagi, cerita bohong tentang jebakanmu itu, Hah! Duniamu tidak lepas dari sihir jahat!—bagaimana dengan jaring perak dan selusin anak panah, apa Doggoll menyuruh pengikutnya beralih profesi menjadi pandai besi?”

“—Aku seorang pengkhianat!” jawab Gladielle menggema cukup lama, ada kebanggan saat mengucapkannya.

“Lelucon apa lagi yang sedang kau mainkan, hah?” kata Boboll putus asa. “Tanda Kesetiaan!”

“Aku mengalami banyak penderitaan karena tanda setan ini,” kata Gladielle pelan, tampak tidak berniat berdebat lebih lama, dan ketika Boboll hendak membuka mulut, ia memotongnya, “cukup—bukan urusanku kau mau percaya atau tidak…”

Villael merasa ada yang lebih mendesak daripada sekedar mengetahui siapa menolong siapa, atau keputusan mempercayai Gladielle sama beresikonya dengan menjabat kepala crawler. Mereka harus segera angkat kaki dari tempat itu kalau masih ingin selamat. Dia melangkah tertatih, memperhatikan lorong masuk gua sementara Boboll dengan sifat keras kepalanya terus mencecar Gladielle yang tampak sudah muak.

“… Oh, begitu?” akhirnya Boboll berujar ganjil, Villael malah tidak tahu begitu untuk apa, karena percakapan yang dia lewatkan terdengar seperti dengungan lebah yang sebentar lagi sarangnya dijadikan Daicco—minuman penghilang rasa gelisah. “Jadi apa maksud semua ini, menolong kami, musuhmu, yang kedengarannya mustahil…”

“Pertanyaan sama yang berhak kuajukan,” kata Gladielle. “Kenapa kalian ceroboh menolongku?”

“Sudahlah,” kata Villael ketika mendengar ada suara lain dari lorong yang membelok di depannya. “Boboll, Gladielle benar—kalau dia mau, dia sudah membunuh kita dari tadi…”

Meskipun Boboll akhirnya pasrah oleh bahasa tubuhnya yang menyuarakan kelelahan, toh dia tetap bersihkeras menawarkan bantuan, menyangga tubuh Villael agar bisa berjalan.

“… terima kasih,” ucap Villael sambil merangkulkan tangannya di bahu Boboll. Sejenak Boboll akan menjawab sama-sama, tapi berubah menjadi dengusan ketika tahu ucapan itu untuk siapa. “Atas apapun yang kau lakukan, Gladielle.”

“Kita pergi saja dari sini,” ajak Boboll. “Villael, tunggu apa lagi, sih?”

“Gladielle, ikut bersama kami,” katanya, berulang kali kepalanya menengok ke belakang, seolah bahaya lain akan muncul dari kegelapan lorong. Dan waktu yang terbuang percuma semakin mengantarkan nasib mereka pada kematian. “Mereka sedang kemari.”

Terlambat sudah, pintu gua meledak disertai kilatan cahaya kehijauan. Batu-batu dinding bercampur debu berhamburan, mengaburkan sosok langsing berpakaian mengkilap yang menyeruak keluar. Lagi-lagi seorang perempuan… dengan rambut sepinggang, terurai lembut melekuk di bahunya. Kilatan batu shapire menghiasi dahinya, tergantung oleh untaian emas yang membelah garis kepalanya. Lehernya jenjang, tertutup rapat oleh kerah pakaian superketat. Namun tudung hitam yang tersampir dipunggungnya mampu mengurangi keseronokan perempuan itu berbusana, masih terlihat anggun dengan kain beludru bercorak bunga cloropetra transparan melapisi dadanya. Dan Villael tampaknya tahu siapa perempuan cantik namun luar biasa keji yang berdiri di hadapannya itu.

“Gladielle!”

Villael berteriak, bukan memanggil perempuan yang semakin jelas tampak tak secantik penampilannya, melainkan Gladielle yang terjatuh dengan anggun ke dalam jurang.

“Sukurlah, bukan salah kita dia tewas. Sepertinya dia sengaja memilih bunuh diri,” kata Boboll sambil menyelipkan belatinya. “Siapa perempuan itu? Apa kau memanggil Vellia-ku untuk menjemput kita?”

“Jangan!” seru Villael sebelum Boboll mendekati perempuan itu dengan girangnya, hingga lupa segalanya. Villael terjatuh, namun berhasil menarik pergelangan kaki Boboll, sayang tidak cukup kuat hingga kembali terlepas. “Cepat pergi dari sini—mereka Gorzada, lewat celah itu!”

Benar saja, ada celah sempit untuk menyelipkan tubuh mereka, dan mungkin saja tembus keluar, karena selain dari atas gua, lewat sanalah sebagian kelelawar keluar masuk. Villael beranjak ingin memimpin jalannya, namun punggungnya belum bisa diajak kompromi. Boboll ikut meringis dan berinisiatif memanggulnya lagi, menapaki lantai gua. Permukaannya berlumut, sangat licin, dan tampaknya mereka tidak menyadari beberapa saat lamanya gara-gara Boboll terlalu sibuk berdebat ria.

Untuk sampai ke sana, Boboll terpaksa menyeberangi aliran air yang jatuh ke jurang, lalu menyingkirkan bongkahan batu yang cukup berat untuk bisa diangkat satu orang selagi punggungnya berusaha menjaga keseimbangan, jangan sampai Villael terjatuh. Belum lagi mereka juga harus memanjat dinding gua setinggi tiga meter.

“Celaka, sial betul nasib kita sobat.”

Boboll terus berusaha, meski tampaknya sia-sia saja. Bongkahan batu itu masih menghalangi jalan dan tidak mau bergeser sedikitpun, padahal perempuan itu sudah berdiri beberapa meter di belakang mereka, berkacak pinggang seolah menyaksikan keputus-asaan sepasang tikus, mencari lubang semut untuk meloloskan diri dari ancaman kucing betina.

“Mau lari kemana kalian?”

“Kemana saja asal selamat. Tapi aku sarankan, lebih baik kau pergi dari sini… sebelum… hah!” Boboll berbalik badan, menyerah pada kenyataan, lalu menurunkan Villael untuk melanjutkan ucapannya yang terputus karena kehabisan nafas, “Nah… cepatlah pergi sebelum kami berubah pikiran, nona manis.”

“Diucapkan dengan sangat pantas.” Dari caranya berbicara, perempuan itu sama sekali tidak ada manis-manisnya. Suaranya melengking meski yang keluar adalah pernyataan sederhana. Kemudian apa yang terdengar dari mulutnya selanjutnya membuat Villael dan Borgoll naik darah, tapi wajah mereka yang memerah tidak bisa diharapkan mampu membalikkan tubuh perempuan itu agar meninggalkan mereka berdua, “oleh seorang Zetya yang tolol dan sok pemberani.”

“Menghadapi perempuan sepertimu, tentu kami berani,” kilah Villael.

“Tanpa senjata,” kata perempuan itu, perlahan mendekat. Tangan terlipat di dadanya, dan Villael pernah melihatnya melakukan hal yang sama, dimana kemudian Gladielle menyerang dengan kekuatannya. Gizelle, Villael ingat nama dan kesombongannya, terpancar dari wajahnya yang runcing. “Oh, belati karatan… apa yang bisa kau lakukan?”

Boboll rupanya sudah menyerahkan belatinya, mengingat Villael jauh lebih membutuhkannya saat itu, sementara tangannya memegang batu berlumut yang kemudian tergelincir jatuh saking licinnya.

“Kesombonganmulah yang membuatmu tertimbun lemari lima tahun yang lalu. Kau sudah lupa, Gizelle?” kata Villael mengingatkan, membuat langkah Gizelle terhenti.

Boboll tercengang mendengar begitu banyak perempuan dari desa Kyanathia yang dikenal Villael.

“Kebanggaan macam apa yang membuatnya menceritakan kegagalannya menjadi seorang laki-laki,” kata Gizelle, berusaha tenang, meskipun Villael menyaksikan dengan jelas dadanya naik turun. “Aku berhasil membunuhnya, kau tahu?”

Villael tertawa menyeramkan. “Lalu apa yang kau cari, mengejar arwah Gladielle yang bersembunyi, di sini?”

Dia membusungkan dadanya, dan memberi isyarat cabul lewat gerakan tangannya. Boboll terkikik dan langsung berdehem, mengeluarkan dahak yang tidak ada. Tentu saja cemoohan itu membuat Gizelle berang dan sama sekali tidak lucu. Villael memang bukan ahlinya, tapi sepertinya layak diucapkan saat itu.

“Aku sedang tidak ingin bermain-main, darah kalian terlalu menjijikan bagiku,” kata Gladielle, lebih sigap dan wapada dari sebelumnya. “Katakan, di mana Gladielle kalian sembunyikan?”

“Menurutmu, di mana aku harus menyembunyikannya? Tidak ada banyak ruang di sini, kecuali kau memperhitungkan kemungkinan si Doggoll memanggilnya.”

“Lancang!” Rupanya Gizelle lupa untuk tetap bersikap tenang dan dingin. “Aku mendengar kalian menyebut namanya!”

“Jatuh,” Boboll yang dari tadi terpana oleh kecantikannya mendadak bersuara lantang. “Aku membunuhnya, dengan tangan kosong dan sedikit tusukan belati karat sebagai hadiah, lalu aku melempar bangkainya ke jurang. Sadis, bukan?”

Boboll tersenyum penuh kemenangan dan itulah yang terakhir bisa ia lakukan, karena tiba-tiba api menyembur dari tangan Gizelle, menjilat-jilat menyerang mereka. Villael melindungi wajahnya dengan belati, membelah kobaran api. Mereka tidak terbakar, justru dinding gua di belakang mereka memerah dan mengeluarkan bau gosong menyengat. Sekali lagi serangan lebih dahsyat menghujam, beruntung Boboll berhasil berkelit menarik lengan Villael yang rupanya tidak siap dengan serangan berikutnya itu. semburan api kali itu lebih besar hingga mampu membakar dinding gua yang basah, bahkan aliran air di bawahnya pun seolah berubah menjadi aliran api, meledakkan seisi jurang. Gladielle di dalam sana ikut terbakar, pikir Villael.

“Bagaimana… Masih ingin bermain-main denganku?” teriak Gizelle, tidak henti-hentinya melancarkan api-apinya ke gundukan batu lain, di mana tubuh-tubuh malang mereka berlindung. “Aku sudah siap meladeni kalian!”

Gua jauh lebih terang dari pada di pelataran hutan. Asapnya mulai mengaburkan pandangan, memenuhi setiap celah sempit hingga lubang atas gua seolah menjadi cerobong asap, mengepulkan jelaga yang melekat ratusan tahun. Tidak ada jalan keluar lagi untuk mereka. Mereka akan ikut terpanggang seperti Gladielle. Dan sekilas tubuh Gizelle hanya tampak seperti siluet hitam, menari begitu lincah dengan kilatan api menyambar membabi buta.

“Apa yang harus kita lakukan?” sengal Boboll.

Jangankan menjawabnya, Villael terlalu shock melihat Boboll masih bisa membuka mulut, menanyakan apa yang harus mereka lakukan.

“Serulingku!” Akhirnya Villael berhasil membuka mulut. “Mana seruling besiku?”

Terbatuk-batuk ketika menyuarakan keheranan, Boboll sangat menyesal jalan keluar yang ia harapkan hanya sebuah seruling. Tapi dalam kebingungan itu, sementara paru-parunya menghirup banyak asap, Boboll mengambil seruling besi di pinggangnya.

“Aku memungutnya ketika terjatuh. Villael, kau tidak bisa melakukannya,” katanya dan langsung kembali menyelipkan seruling itu setelah usaha Villael hanya menghasilkan batuk mengenaskan. Dan disadarinya serangan Gizelle sudah mulai berkurang. Pekik kemarahan dan ledakan yang menggelegar, tampaknya berasal dari dua orang yang saling serang. “Ada yang menolong kita!”

“Benar,” jawab Villael singkat.

Sayup-sayup terdengar teriakan yang datangnya pasti bukan dari Gizelle, atau mustahil sekali dari Gladielle. Suaranya terlalu merdu untuk perempuan sebengis Gizelle atau sekeras Gladielle.

“Lari!” perintah suara merdu itu dari seberang.

“Vellia-ku!” seru Boboll bergairah. “Aku tahu, dia pasti akan menolong kita, tapi lari kemana kita?”

Duar…..


Ada yang menembus gundukan batu tempat mereka berlindung dengan dentuman keras, dan getaran yang dihasilkan putaran anak panah langsung melambungkan harapan mereka.

“Ambil!” perintah Villael yang langsung disertai gerakan cepat tangan Boboll meraih anak panah.

Panah Terbang,” kata Boboll, memandang anak panah yang masih bergetar hendak kembali terbang dengan posisi tegak lurus. “Villael, naik ke punggungku! Kita akan lewat sana!”

Tidak perlu menunggu terlalu lama, Villael sudah melingkarkan kedua tangannya di leher Boboll. Dengan hentakan keras anak panah, Villael dan Boboll terangkat ke atas, melewati satu-satunya lubang besar di atas gua, dan berhasil keluar dengan pendaratan yang layak dalam kondisi darurat. Mereka terpelanting masuk ke semak-semak di atas tebing yang lumayan curam.

Berjibaku sebentar, Villael bersukur masih bisa melihat Boboll sempoyongan mendekatinya.

“A-apa?”

“Serulingku,” jawab Villael yang berdiri dengan bantuan pohon eratus muda untuk menopang tubuhnya. “Aku akan mengirim pesan untuk ayahku, atau siapapun yang sedang bermeditasi. Tolong, pegang dulu belati ini.”

Tampaknya Boboll tidak memperhatikan. Dia justru menepi, memandang ke bawah. Dilihatnya serombongan Gorzada mendekati pintu masuk gua. Menunggangi kuda perang berwarna hitam legam, jubah hitam mereka berkibar dalam kegelapan malam.

“Jangan,” bisik Boboll, sambil berjalan jongkok dengan jari menempel di bibirnya yang tebal. “Mereka mengepung gua.”

“Tapi Vellia,” kata Villael. “Tidak mungkin kita meninggalkannya sendirian. Boboll, ini kesempatan kita satu-satunya. Vellia tidak akan sanggup menghadapi mereka.”

“Tidak,” kata Boboll, agak ragu. “Tidak kalau Vellia-ku bisa mengulur waktu sedikit sampai kita tiba di desa.”

“Zenthia terlalu jauh, tambah lagi dengan kondisi kita yang… kau lihat, aku bahkan tidak sanggup mengangkat kakiku!”

“Ssst,” bisik Boboll putus asa, menyeret Villael masuk ke semak-semak.

Villael tahu, Boboll tidak mengharapkan hal terburuk menimpa Vellia-nya, tapi dia juga mengakui pilihannya mengirim pesan sangat beresiko. Lantunan serulingnya pasti akan terdengar dan sebelum pesan mereka sampai ke telinga penyelamatnya, mereka akan terbunuh, tiga-tiganya, kecuali keajaiban datang untuk kesekian kalinya.

Pilihan mereka memang cukup sulit. Mereka yakin seandainya melawan, kekuatan mereka belum sanggup untuk sekedar melarikan diri. Lalu memutuskan untuk pulang sementara malam semakin gelap juga bukan pilihan. Pegunungan Gorian terlalu banyak menyimpan misteri untuk dilalui dua pemuda tanggung tanpa senjata lengkap. Belum lagi binatang buas yang beberapa di antaranya masih misterius dan mengerikan. Akhirnya mereka memutuskan tetap di tempat, saling diam membayangkan pertempuran tidak seimbang di bawah mereka. Mereka hanya berharap, Vellia menggunakan keahlian mememainkan busur panah dan kesempatan sekecil apapun untuk bersembunyi.

Mereka lama saling pandang, dan Villael menyaksikan dalam keremangan semak belukar, air mata Boboll bergulir jatuh. Villael mengusapnya, berharap tidakannya bisa menghilangkan kepedihan Boboll.

“Vellia-mu pasti selamat,” hibur Villael yang yakin sekali tidak akan mampu membendung air mata yang membanjir.

Malam itu terasa malam terpanjang dalam hidup Villael, gelisah kalau hanya tetap diam. Tanpa sepengetahuan Boboll, beberapa kali Villael memaksa diri mengecek pertempuran, sayang hanya asap tebal yang memenuhi lubang itu, dan kembali hilang di balik semak-semak. Boboll lebih banyak meringkuk, sibuk berdoa agar saudara-saudara Vellia merasakan kesulitannya dan datang membantu.

Detik demi detik berlalu, yang tanpa mereka sadari sudah berganti menjadi berjam-jam. Dan ketika suara pertempuran telah menghilang, ketika lubang gua berhenti mengepulkan asap, ketika rombongan Gorzada meninggalkan area pertempuran, dan ketika hanya terdengar lolongan anjing hutan memecah kesunyian, saat itulah, yang mereka tahu adalah… Vellia mengaku kalah.

Boboll terkulai lemas terserang kantuk, tapi Villael tahu matanya masih terbuka lebar. Memandang kerlap-kerlip yang bertabur cemerlang di langit gelap, mereka seolah bersama-sama mengutuk bintang yang bertepuk tangan saat tirai panggung menutup adegan memilukan itu.

***

Bagai tetesan kristal cair, embun pagi mulai berjatuhan dari pucuk dedaunan. Semilir angin berhembus, menebarkan aroma dingin bunga cloropetra yang merambati batang pohon eratus. Warna hitam yang mendomanisinya semakin memperkokoh keangkeran hutan. Pohon-pohon eratus sudah berusia ratusan tahun, menjulang tinggi dengan lingkar batang satu meter membuat sepasang rusa dewasa yang merumput seperti miniature hewan mainan. Segerombolan keluarga besar monksan meluncur turun naik lewat sulur-sulur pohon yang menjuntai dan saling mengait. Semakin riuh rendah ketika burung fernion mulai mendendangkan ajakan bangun pagi anak-anaknya.

Sinar mentari yang berhasil menerobos tebalnya kanopi hutan, telah membangunkan seisi hutan untuk melanjutkan hidup. Tapi mereka yang semalam selamat dari maut masih tertidur, beradu punggung demi sedikit kehangatan. Baru setelah mendengar bunyi icik-icik, perlahan Villael membuka mata. Saat menyadari kalau ternyata burung mungil putih berjengger merahlah yang membuat suara berisik, senyumnya langsung mengembang jelek dan kembali menutup mata.

Sunday, November 1, 2009

BAB 1. Antara Hidup dan Mati

Kilasan kejadian yang diingatnya detik yang lalu adalah; dirinya mendorong jatuh tubuh perempuan malang, pekikkan keras suara yang dikenalinya, dan gumpalan asap hitam menghantam dadanya dari lima arah secara bersamaan…

Organ-organ tubuhnya seolah berhamburan, melayang bagai debu menyusuri tempat-tempat gelap dan asing baginya. Terkadang, dalam kegelapan itu seleret cahaya terang redup menembus pelupuk matanya yang terpejam. Nafasnya tercekat, namun masih bisa membaui aroma kayu terbakar dan kotoran binatang, masuk keluar silih berganti. Baru kali ini Villael mengalami sensasi luar biasa aneh, sekaligus sangat menyakitkan. Antara hidup dan mati, dia tidak mampu membedakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika otot-otot matanya mulai bisa digerakkan, Villael menyadari ada secercah harapan untuk mengakhiri semuanya ini. Hanya saja, butuh waktu baginya untuk memahami bagaimana tubuhnya bertransformasi menjadi bukan dirinya.

Sesosok gadis kecil dengan tatapan tajam dan liar terpantul dari cermin, tepat berada di depan Villael berdiri. Dia menduga, usianya belum genap sepuluh tahun. Tangan kanannya menggenggam erat sebilah belati perak. Sementara tangan yang lain, terurai potongan rambut hitam kecoklatan. Nyaris botak, gadis kecil tersebut tampak tidak peduli. Justru Villael mendapati senyuman ganjil mengembang di wajahnya, sangat puas.

Dengan menggunakan ujung belati perak, ia menyingkap kerah pakaian tidurnya. Terlihat tanda hitam melingkari lehernya, seperti per kecil yang dimasukkan secara paksa lewat kepalanya. Tegangannya yang kuat mengakibatkan di sekeliling tanda tersebut memerah.

Tanda kesetiaan, kebohongan yang hanya akan melahirkan kebencian dan pengkhianatan!


Villael berusaha keras menyimpulkan apa yang sedang terjadi, hanya karena ingin segalanya mudah dimengerti. Jiwanya berbagi tempat dengan jiwa seorang gadis kecil. Namun dia merasa bahwa jiwanya tidak mempunyai kendali apapun atas tubuh tersebut. Bahkan ketika membatin, dia yakin sekali bukan dirinya yang melakukannya.

Berada dalam tubuh gadis kecil tersebut, aura kebencian tiba-tiba menguasainya ketika menoleh ke sisa-sisa bingkai lukisan terbakar di lantai kamar. Asapnya hampir memenuhi ruangan saat pintu kamar berderit terbuka. Seorang perempuan paruh baya berdiri di luar sana. Mendapati kondisi kamar berantakan, ia bergegas masuk, meletakkan nampan minuman di atas meja yang paling dekat dengannya.

“Gladielle, apa yang—jangan melakukannya lagi, anakku,” pintanya lembut tapi tegas. Asap seketika lenyap hanya dengan kibasan kecil tangannya. Sebagian yang lain berubah menjadi titik-titik air, memadamkan bara api yang meretih pelan.

Gadis yang dipanggil Gladielle masih diam, kedua tangannya menyembunyikan apa yang digenggam di balik punggungnya. Tapi, penampilannya tidak bisa berbohong. Ia baru saja memangkas rambutnya hingga menyerupai bocah laki-laki berandal.

“Dia harus mati!” desisnya.

“Ayahmu,” kata sang ibu. “Ya, dia harus mati. Tapi bukan dengan kekuatan yang sama.”

“Kalau kekuatan sihir tidak bisa melukainya, aku akan mencobanya dengan ini!” kata Gladielle seraya mengacungkan belati perak di depan hidung ibunya. Untuk kesekian kalinya, Gladielle mengutarakan tekadnya membunuh sang ayah dengan tangannya sendiri. Melenyapkannya, sama artinya dengan mengakhiri penderitaan mereka berdua. Dan entah kenapa, Villael merasakan kegairahan serupa, nafsu untuk membunuh orang yang sama, ayah Gladielle.

Mirelle, sang ibu mencoba meredam emosi putrinya dengan senyuman terpaksa. Matanya berkaca-kaca menahan haru, namun secara keseluruhan wajahnya dipenuhi rasa ragu. Ia tidak mau mengambil resiko atas niatan itu kali ini. Betapa tidak, Gladielle selalu menyerang sang ayah secara terang-terangan bak ksatria yang masih mentah pengalaman, tidak tahu manusia macam apa yang sedang dihadapinya. Ayahnya adalah keturunan Kyanat Tibbar, yang untuk menyentuh kulitnya pun bukan perkara mudah, seperti menyentuh mata pedang yang haus darah.

“Dengarkan ibu, Gladielle,” kata Mirelle hati-hati. “Tidak ada yang bisa kau lakukan selain belajar—”

“Belajar? Belajar tidak akan membuatnya mati!” bantah Gladielle, namun sebagian kecil hati Villael tidak sependapat.

“Ibu sudah menyiapkan segalanya,” Mirelle melanjutkan, mengabaikan protes keras putrinya. “Ruang bawah tanah…”

Gladielle membuka mulut hendak menyela, namun kali ini lebih karena penasaran dengan apa yang baru didengarnya. Tak lama kemudian, setelah Mirelle mengetuk lantai dengan irama yang sangat khas, sebuah lingkaran terbentuk di sebelah mereka. Seraya membuka lingkaran yang tiba-tiba berubah menjadi semacam pintu rahasia, ia melanjutkan ucapannya.

“…di sana banyak menyimpan buku, semua tulisan ibu. Gladielle, kau harus membacanya setiap hari. Ingat bagaimana membukanya?”

Gladielle mengangguk, dan Mirelle tahu putrinya memahami instruksi singkatnya.
“Itu saja?” tanya Gladielle tidak puas karena yang dilihat hanya anak tangga menuju kegelapan total.

“Ya, cuma itu,” kata Mirelle. “Suatu saat kau pasti akan mengerti. Nah, ibu tidak punya waktu membereskan kamar. Ibu harus mengantar minuman ini untuk ayahmu.”

Sesaat Mirelle bimbang melepas belaian tangannya, seolah melepaskannya adalah akhir pertemuan mereka. Villael bisa melihat dengan jelas keengganan langkah kaki Mirelle saat ia meninggalkan ruangan.

Pintu tertutup perlahan dan terdengar bunyi logam saling mengait menandakan pintu tersebut terkunci secara sihir. Gladielle menarik gagangnya, tentu saja pintu tersebut bergeming. Ia langsung menyadari, ibunya sedang melakukan sesuatu yang ia yakin dirinya tidak diijinkan terlibat. Otaknya berputar cepat, dan jalan keluar yang langsung terlintas di benaknya adalah ruang bawah tanah. Ia melakukan seperti apa yang diajarkan ibunya, bagaimana cara memunculkan lingkaran dengan ketukan khas.

Belum sempat membuka pintu rahasia, bunyi kelontangan memecah kesunyian malam. Gladielle tahu dan urung masuk ke ruang bawah tanah. Ia langsung berhambur ke sumber suara setelah lebih dulu mendobrak pintu dengan kekuatan penuh.

Sambil menyelipkan belati perak di punggungnya, ia menuruni anak tangga dua-dua sekaligus. Rupanya suara gaduh hentakan kakinya memanggil kedatangan dua orang yang ingin ia singkirkan setelah ayahnya. Saudara tirinya, Borgoll dan Gizelle, sepasang anak kembar yang menjengkelkan dan membosankan dengan tingkah bak sepasang penguasa. Mereka menghadang dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak pernah belajar dengan apa yang akan Gladielle lakukan kalau menyangkut keselamatan ibunya.

“Minggir!” teriak Gladielle lantang.

Villael terkejut ketika asap hitam melesat dari tangan kiri Gladielle sementara tangan kanannya mengacung ke langit-langit rumah. Serangan itu berhasil membelah keduanya. Villael menyaksikan bagaimana Borgoll terlempar ke kiri menabrak patung Gorzada, dan Gizelle sudah menghilang, tertimbun reruntuhan lemari kayu di sisi lain ruangan. Rupanya serangan itu tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka, melainkan menghancurkan pintu ruang keluarga, pikir Villael.

Sayang, detik berikutnya yang terjadi tidak berhasil Gladielle hindari. Dari dalam ruangan, hembusan angin berat menerpa wajahnya hingga ia terhuyung ke belakang. Kemudian, sebelum tubuhnya benar-benar membentur lantai, lehernya menegang, dan hentakannya yang sangat keras membuatnya terangkat beberapa jengkal, serasa terikat di tiang gantungan. Kejadiannya secepat kilat, hingga ia tidak sempat mengetahui apakah tubuh terkulai ibunya di antara reruntuhan pintu, dalam kondisi hidup atau sudah tak bernyawa. Didorong oleh keinginan kuat untuk bertahan hidup, terlebih memastikan apakah ibunya masih bisa diselamatkan, kaki telanjangnya meregang mencoba meraih lantai untuk berpijak, sementara itu kedua tangannya sibuk melepas tali transparan di lehernya. Sia-sia, usaha kerasnya justru semakin menyiksa. Villael yang juga merasakan sakitnya cekikan itu meronta percuma tanpa ada suara dari mulutnya.

“Gadis tolol… bertingkah seperti laki-laki tidak akan mengubah jiwamu yang asli. Kau tetap seorang perempuan… lemah dan tidak lebih tinggi dari tumpukan cacing tanah…”
Suara dingin itu datangnya dari dalam ruangan tanpa penerangan sedikitpun, membuat sosoknya sulit dikenali. Meskipun demikian, Villael ingat betul cara laki-laki didepannya itu menghina seorang perempuan, penuh kebencian dan tanpa belas kasihan. Semakin mengingatnya, kenangan pahit masa lalunya mencengkeram lebih kuat sepuluh kali lipat. Villael mengenal suara itu, suara yang mengiringi kepergian ibunya setahun yang lalu…

Dari arah yang tidak bisa dia lihat, tiba-tiba cahaya api menerpa sosok berambut putih, panjang menjuntai hingga ke lantai. Perapian telah dinyalakan secara sihir, membuat bayangannya meliuk gemulai seperti tarian kematian. Sosok tersebut sedang duduk memunggungi Gladielle yang masih terpancang di udara.

“Cacing tanah! Ibumu itu,” teriak Gladielle.

Villael lega, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mengendurnya intensitas cekikan—karena mengucapkannya sungguh sangat menyakitkan, serasa tersayat-sayat tenggorokannya—melainkan bahwa Gladielle sudah menemukan suaranya kembali, merupakan kesempatan emas untuk menyerang dengan makian.

Perlahan, bagian yang tadinya adalah punggung berubah menjadi bagian depan seorang laki-laki tua berjenggot. Kengerian seketika menyelimuti Villael saat menatap wajahnya yang sebagian menghitam. Kemudian sosok itu berdiri. Saking jangkungnya, kini rambutnya hanya sebatas pinggang. Sorot sebelah matanya tajam, dengan alis terangkat pada ujungnya. Hidungnya besar, melengkung ke bawah membelah kumisnya yang melintang keperakan. Ia mengenakan jubah hitam dengan seekor ular crawler melilit pinggangnya.

“Apa ibumu yang sekarat itu tidak mengajarimu,” katanya dingin. “Belajar dari pengalaman?”

Gladielle tidak balas menjawab, hanya desisan crawler yang menyahut, seolah begitulah cara ular menertawakan mangsanya. Gladielle berontak ingin melihat ibunya untuk terakhir kali. Sayang, ia tidak menyadari tubuhnya sudah bergerak jauh melewati ambang pintu, lebih dekat ke sosok yang paling dibenci seumur hidup. Mustahil baginya untuk menoleh ke belakang sekarang. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendengar rintihan memilukan memanggil namanya, diikuti suara gedebak-gedebuk langkah berlarian ke arahnya.

Mirella telah tiada untuk selamanya…


Borgoll menghampiri ayahnya sambil mengibaskan ujung pakaiannya yang berdebu. Saudara kembarnya belum terlihat, dan Villael bisa mendengar suara benturan berulang-ulang di belakangnya. Gizelle rupanya sedang berusaha keras menyeret tubuh Mirelle menaiki anak tangga, menjauh dari Gladielle.

“Ayah, biarkan saya saja yang menghabisinya,” rengek Borgoll yang sudah sejak lama menunggu kesempatan langka seperti ini. Sang ayah tampaknya ragu, belum yakin anaknya mempunyai cukup nyali seandainya Gladielle dalam kondisi normal. “Saya tahu caranya bikin dia menderita, sebelum menyusul ibunya ke neraka… eh, yah mereka pantas membusuk di sana. Tidak ada tempat yang lebih pantas untuk membuang pengkhianat seperti mereka, kurasa… pasti saya bisa mencabut nyawanya…”

Dia berusaha mencari kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan kebengisan yang sudah sepantasnya ia miliki sebagai calon penerus ayahnya. Sikap tak berperasaan, sesuatu yang tampaknya masih menjadi kelemahannya. Bahkan jika dibandingkan dengan adik kembarnya yang seorang perempuan, Gizelle lebih meyakinkan. Hal ini dikarenakan Gizelle lebih memilih bertindak cepat dari pada mencari kata-kata omong kosong dan bertele-tele.

“Harus bisa,” kata ayahnya. “Sudah saatnya kau membuktikan, kalau kau layak menjadi penerus leluhurmu.”

Teriakan kesakitan memecah basa-basi mereka. Gladielle mengerang menahan logam panas di balik punggungnya. Kekuatan sihir Gizelle sudah lebih dulu bertindak sebelum tangan Gladielle sempat menyentuh belati peraknya. Menyadari calon korbannya jatuh ke tangan saudara kembarnya, Borgoll menggeram kesal. Selagi jari tangan ayahnya membelai lembut rambut ikal Borgoll sebagai penghiburan, tubuh Gladielle terlempar keluar, hampir mengenai Gizelle yang senyumnya mendadak lenyap karena terkejut. Kemudian serpihan pintu yang berserakan di lantai menyatu memperbaiki sendiri, terpasang pada engselnya dengan hentakan keras. Merasa tidak mendapatkan sedikit pujian dari ayahnya atas kebernian dan kesigapannya, Gizelle hanya menggerutu pelan di depan pintu.

Segalanya menjadi gelap bagi Villael saat merasakan tubuh Gladielle terkulai lemas. Sensasi yang lebih aneh dari sebelumnya, terjadi detik berikutnya…

Namun sama seperti ketika tiba-tiba berada di kamar Gladielle, Villael tidak mengenal tempat yang kini didominasi bau menyengat, amis darah. Lantai yang dia injak berdenyut. Sisi kanan kirinya yang awalnya dikira dinding padat ternyata lebih lunak dari seonggok bangkai babi, menjijikan penuh lendir kemerahan. Saat menoleh ke belakang, ada yang bergerak ganjil dalam semacam kubangan cairan kental, saling melilit hingga tidak terlihat mana pangkal mana ujung. Villael membatin, apakah dirinya tersesat di dalam perut raksasa… dan yang dilihatnya barusan tidak lain adalah usus-usus yang menggeliat kelaparan?

Di balik sesuatu, entah onggokan daging liat atau mungkin jantung raksasa, pendar kehijauan menyeruak. Semakin lama cahayanya makin terang menyilaukan.

Entah dorongan dari mana datangnya, yang Villael tahu adalah dia harus melangkahkan kakinya, memberanikan diri menginjak sesuatu yang ternyata memang bernyawa. Suara dug dug tidak teratur terdengar semakin cepat seiring semakin dekatnya dia menjangkau pendar kehijauan itu. Kemudian ada yang menarik lengannya yang bebas saat usahanya tinggal mengaitkan jari-jarinya.

Usus seukuran paha orang dewasa dengan ruas-ruas meregang membelit tangan Villael. Kerasnya tarikan sesaat membuatnya melayang, nafasnya terseret-seret, dan tubuhnya ambruk ke lantai, yang seketika langsung pecah. Cairan kental menghambur dari dalamnya. Kemudian ada lebih banyak ujung-ujung usus muncul dari kubangan, melecut-lecut ganas ke atas dan menerjang tubuh Villael tanpa ampun. Salah satu dari mereka berhasil memagut dengan ujungnya yang lancip, tepat mengenai dadanya saat berkelit ke kanan. Yang lain, karena tidak memiliki penglihatan sempurna, serabutan menyambar apa saja yang disentuh, menghantam dinding yang juga langsung pecah saking kerasnya benturan secara bersamaan. Awalnya Villael mengira usus tersebut memiliki mulut untuk memagut, ternyata dugaannya sirna sekejap mata. Mereka sama sekali tidak serupa dengan bentuk kepala layaknya seekor ular, lebih seperti cacing raksasa, malah.

Semua itu, apa yang Villael lihat dan bayangkan justru hanya menambah keadaan semakin menakutkan. Dan ketika berkutat dia dengan belitan di tangannya, telinganya mendengar jeritan kesakitan luar biasa, “Tidaaak.”

“Hentikan…” suara itu kemudian terdengar merintih, lalu menjadi begitu nyaring ketika memanggil. “Gorgolla! Datanglah!”

Tiba-tiba cahaya kuning melesat menyilaukan mata Villael, yang secara reflek terpejam. Dan saat membuka matanya, dia bersyukur belitan itu sudah lepas. Saat itulah dia menggunakan jeda yang singkat untuk berlari, melompati gulungan usus yang menarik diri ke kubangan, bersatu dengan cahaya kuning yang semakin membuncah. Dia tahu, inilah saatnya… Villael berhasil menggapai pendar kehijauan, yang langsung padam. Belati berukir kini berada di tangannya yang berlumuran darah.

Keberhasilannya memenuhi dorongan untuk mendapatkan pendar kehijauan, yang ternyata hanya sebilah belati, tidak menjadikan segalanya lebih jelas. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan belati tersebut.

“Yang Mulia,” terdengar suara itu lagi, dari luar. Hanya saja, Villael menduga orang lain yang berbicara kali ini. Suaranya bergetar, seolah sedang menghadapi mahluk mengerikan yang siap menarik lidahnya andai salah ucap. “Apa yang terjadi?”

“Tidak ada, Gorgolla,” katanya, terdengar lebih tenang sekarang.

“Lalu…?”

Belum ada yang menjawab keingintahuan Gorgolla perihal panggilan untuknya. Villael hanya mendengar langkah mantap mendekati seretan kaki yang menjauh.

“Ampuni hamba, Yang Mulia,” kata Borgolla parau. “Kami sedang dalam pengejaran. Rupanya bangsa Vellarian masih berada di sekitar hutan eratus, jumlahnya cukup banyak, mereka menghalangi kami yang berlima…”

Suaranya berhenti mendadak ketika terdengar desahan tidak sabar, dan mengancam.

“… tapi mereka terkecoh, mengira kami berhenti mengejar Gladielle, dan dua bocah tengik keturunan Zetya, Yang Mulia—kami terus mengikuti mereka sampai ke gua di gunung Gorian. Gladielle hampir berhasil kami tangkap sebelum Yang Mulia memanggil—”

Seolah kepala Gorgolla terlepas dari lehernya karena hampir saja menyalahkan pemimpinnya, ucapannya terpotong oleh suara sedingin pedang yang membeku.

“Lima tahun!” katanya. “Mengemban tugas sepele ini, dan hanya hampir yang bisa kau laporkan? Oleh orang yang kuanggap layak mendapat kepercayaanku… yang seumur hidupn hanya untuk mengabdi kebesaran leluhurmu… tanpa keraguan, bukankah demikian, Gorgolla?”

“Tidak diragukan,” jawab Gorgoll girang. “Jiwa ini milik Yang Agung Kyanat Tibbar, Yang Mulia …”

“Baiklah kalau begitu, sebagai penghargaan atas jasamu, tentu saja… kau layak mendapat kematian langsung dari tanganku.”

“Beribu ampun,” Gorgolla bersimpuh, menyembah-nyembah sampai membenturkan kepalanya ke lantai—Villael bisa mendengar benturan keras itu berulang-ulang hingga menduga kepala Gorgolla sebentar lagi pecah. “Yang Mulia Doggoll, putra Yang Agung Kyanat Tibbar, pewaris keabadian, pemilik kekuasaan mengatur kematian… jangan bunuh… ”

Mendengar nama dan semua gelar yang disandang, yang diucapkan Gorgolla agar mendapat belas kasihan, lutut Villael bergetar hebat. Hawa panas memenuhi ruangan seolah amarah yang tersimpan bertahun-tahun akan meledak detik berikutnya. Bau amis tidak lagi tercium, karena dadanya tidak sanggup menampung udara yang kelewat panas. Dan yang dilihatnya kemudian adalah dinding-dinding meregang, seperti balon yang dipaksa menampung banyak darah, dan pecah. Langit-langit ambruk disertai bunyi gemuruh saat tiang penyangga seputih gading berkeretak keras, seperti rumah yang rubuh karena gempa. Usus yang tadinya sudah tidak terlihat muncul kembali, menerjang reruntuhan, lalu membelit Villael dalam genangan darah, menenggelamkan tubuhnya…

Dia membunuh orang kepercayaanya. Dan tak lama lagi—terbunuh dengan cara berbeda—Villael akan menyusul ibu beserta ribuan nyawa tak berdosa lainnya karena menanggung permusuhan abadi antara Kyanat Tibbar dan Zetya Illaya.

Tubuh Villael selanjutnya mengambang seperti ganggang. Usus yang membelit sudah hancur, tidak ada bedanya dengan kotoran binatang, bercampur dengan darah panas, mengiris perih saat menyentuh kulitnya. Dia berusaha menutup setiap lubang dengan pikirannya dalam kekosongan, mencegah cairan kematian masuk ke tubuhnya. Percuma, karena tenaganya tak tersisa, bahkan dia tidak merasakan sentuhan belati berukir, yang menempel begitu saja di telapak tangannya yang terbuka, pucat dan kaku.

Inikah saat di mana dia, pemilik kekuasaan mengatur kematian, akan datang menjemputnya?

Villael berlutut, tersedak dan terbatuk-batuk meski tidak ada yang mengganjal kerongkongannya. Dia juga menggigil, meski tidak basah kuyup seperti ketika berada dalam perut raksasa. Lantai kelam berpola menyeramkan menghampar di bawahnya. Perabotan marmer dipajang sesuai arah mata angin. Kursi batu dengan undakan tinggi menjadikannya singgasana megah, namun kosong. Ruangan itu melingkar dengan perapian menyala di kanan kirinya, memberi sedikit kehangatan. Cahayanya sangat terang hingga Villael bisa melihat barisan rapat patung Gorzada, menyangga atap lengkungnya.

Ruangan yang sangat asing, kecuali patung-patung itu…

Belati berukir masih setia menempel, yang lalu digenggang erat ketika Villael berdiri gontai. Bahaya belum usai karena dia justru berada tepat di tengah orang-orang yang gelisah, menunggu kemurkaan pemimpin mereka. Dua orang berbadan kekar, namun timpang karena yang satu kelewat pendek, mengenakan jubah serba hitam, saling bisik dan melempar pandang muram menyaksikan tubuh Gorgolla mengering seperti boneka kayu. Saat keduanya menyingkir, Villael ingat betul siapa yang muncul. Borgoll dewasa mendekati bangkai Gorgolla, membaliknya dengan kaki seolah sedang menikmati karya agung ayahnya.

Mengerikan berdiri di sana, sekaligus melegakan karena tampaknya mereka tidak merasakan kehadiran Villael. Borgoll berbalik begitu saja saat jarak hanya sebatas jangkauan tangan. Mereka tidak melihat, seolah hanya bertigalah yang berada di dalam ruangan yang memanas. Bahkan ketika salah satu dari mereka berbicara, kentara sekali tidak berusaha menyembunyikan ketakutan mereka yang sangat memalukan.

“Aku tidak ingin mati seperti Gorgolla,” kata orang yang lebih pendek menyuarakan kegelisahan. Bibirnya bergetar saat menyesali keputusannya sendiri. “Kenapa juga tadinya aku menerima tawaran, mengejar si Gladielle yang licinnya minta ampun.”

“Sejujurnya aku juga demikian, padahal tugasku di kerajaan Magmorian sudah cukup membuatku aman. Hanya karena ingin mendapat perhatian lebih, makanya kita menerimanya kan? Tenanglah, pengejaran ini belum berakhir, toh ini hari pertama kita. Dan dia memanggil kita karena memang sudah waktunya melapor tugas rutin, bukan soal tugas tambahan itu,” kata orang yang lebih tinggi coba menenangkan. “Jangan kuatir, Zolla.”

“Dollogos, bagaimana mungkin tidak kuatir,” elak Zolla, berjalan memutar seperti gangsing. “Aku pusing, tidak tahu jalan pikiran Doggoll—”

“Yang Mulia Doggoll,” Borgoll tiba-tiba memotong tanpa memandang lawan bicaranya. Dia tampak sedang mengagumi singgasana ayahnya, yang kelak di sanalah dia duduk memerintah para pengikutnya. Bekas luka di wajahnya tampak lebih menyeramkan saat mengancam, “ayahku bisa membunuhmu hanya karena tidak menyebutnya Yang Mulia, kau lupa, Zolla?”

“Lupa kalau aku sedang pusing,” jawab Zolla tidak peduli, kembali berputar-putar lagi.

Borgoll hanya menggeretakkan giginya seperti mengunyah batu kali. Villael ingin tertawa melihatnya, tapi keburu takut kalau suaranya ternyata bisa terdengar. Maka dia menutup rapat mulutnya, dan menyelinap di antara patung Gorzada yang sekilas ujung matanya bergerak. Merasa aman, dia terus memperhatikan percakapan paling ganjil di sarang macan.

“Makanya berhenti berputar-putar, tolol,” bentak Dollogos sama pusingnya melihat tingkah Zolla. “Aku heran kenapa Yang Mulia bisa merekrutmu. Dan bukankah tugas utamamu hanya memastikan dia sehat? Agar bisa terus memberi minum batu Collatera dengan darahnya. Tinggal kasih makan, kenapa takut Yang Mulia bakal marah?”

Perut Villael seakan mendadak kosong, telinganya salah dengar. Benarkah Doggoll sedang dalam kondisi sekarat hingga harus ada yang menjaganya tetap bernafas, agar tetap memberi minum batu Collatera dengan darahnya, apa maksud semua ini?

Villael terus mengulang kalimat itu dalam hati, seolah pengulangan memberinya jawaban. Selagi berusaha memahami, dia teringat dengan perjanjian damai mereka setahun silam. Batu Collatera yang disimpan di istana Magmorian ternyata palsu. Pantas ketika terjadi pembantaian di desanya, pihak kerajaan mengatakan kalau batu tersebut masih utuh.

Belum yakin seratus persen, maka Villael menajamkan pendengarannya, memastikan matanya mengikuti gerak bibir mereka ketika berbicara lagi.

“Akhir-akhir ini, dia mulai berani melawanku,” keluh Zolla terang-terangan. “Lihat ini, tanganku sering kena gigitannya. Yang aku takutkan justru lama-lama aku ingin mencekiknya sampai mati.”

“Saatnya akan tiba, bersabarlah,” kata Dollogos. “Kau pasti akan mendapatkan tempat yang pantas di sisi Yang Mulia.”

Zolla menelan ludah, lalu mendekati bangkai Gorgolla. Ingin muntah ketika ia berkata, “Oh berhentilah beremeh temeh. Lihat si Gorgolla yang malang. Dia menjalankan tugasnya, memburu si Gladielle bertahun-tahun, sampai lupa mengawini anak tukang jagal. Tapi berakhir mengenaskan seperti—Oh aku tidak sanggup melihat kematian seperti ini.”

Sungguh aneh, dan Gladielle benar. Tanda kesetiaan yang melingkar di leher mereka adalah ironi belaka, kebohongan besar. Mereka, para pengikutnya begitu mudah mengucapkan keinginan-keinginan untuk memberontak, bahkan oleh pengikut seceroboh Zolla. Ajaibnya lagi, Borgoll sebagai putranya tampak terbiasa dengan keinginan itu, tidak merasa terhina sedikitpun, bahkan bereaksipun tidak.

“Lalu bagaimana dengan tugasmu,” Zolla menanyai Dollogos. “Apa ada perkembangan berarti?”

Dollogos berdehem. “Tidak ada. Untungnya… semua masih aman terkendali.”

“Matilah kita,” kata Zolla merajuk, berselonjor di lantai seperti anak kecil. “Aku masih menduga panggilan ini ada hubungannya dengan pengejaran si Gladielle—Oh demi nenek moyang yang gelisah di atas sana, tega betul kau melahirkanku…” sejenak pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan, sambil menggigit jari telunjuknya yang buntek. Dengan keraguan yang begitu jelas terlihat, ia tetap mengutarakan ide briliannya, “Dollogos! Mungkinkah kita bisa…”

“Berhentilah mengeluh,” kata Borgoll akhirnya. “Dan jangan pernah sekedar berpikir untuk berkhianat padanya. Kematiannya akan lebih menyakitkan, Zolla.”

Zolla bergidik lalu berdiri. Kemudian serentak mereka tampak sigap menanti pintu yang bergemuruh, membelah menjadi dua bagian, dan dari sanalah sosok Doggoll masuk. Saat melihat kedatangannya, bulu kuduk Villael berdiri, dan dengkulnya seakan ikut keropos bersamaan dengan berlututnya ketiga orang tersebut. Mereka bersujud tiga kali anggukan, dan baru berdiri setelah mendapat jentikan tangan Doggoll.

“Kalian, duduk,” kata Doggoll dingin. Kursi-kursi batu dan meja panjang muncul dari ketiadaan di tengah ruangan. Dan tidak perlu menggeser bangkai Gorgolla, karena tubuh itu lenyap begitu saja menjadi gumpalan asap. Ia duduk di ujung meja, paling tinggi di antara kursi-kursi yang lain, hingga ular crawler-nya bisa merayap di atas meja. Setelah mereka berdua ikut duduk, ia berkata sambil mengetuk meja dengan kuku jarinya yang panjang menghitam, “aku tahu apa yang kalian pikirkan.”

Kontan saja Villael melihat kengerian di wajah-wajah malang mereka. Dollogos memilin tali pengikat jubahnya, sementara Zolla memaksa tubuhnya agar tidak kelewat bergidik. Wajah mereka tertunduk, seolah menatap mata Doggoll adalah malapetaka. Borgoll tersenyum di sudut ruangan, sangat dekat dengan Villael bersembunyi, hingga dia menduga percikan bunga api di jari-jari tangan Borgoll disiapkan khusus untuk menggosongkannya.

“Zolla,” panggil Doggoll, pelan tapi lebih menakutkan dari pada bunyi crawler yang berderik ujung ekornya.

“Tawanan masih sehat dan tambah gemuk, Yang Mulia,” jawab Zolla singkat. Duduk di sebelah Dollogos tidak membuatnya nyaman. Dia serba salah, tidak berani menatap Doggoll, tapi juga kesal menyaksikan crawler yang menjilati udara kosong, seolah aroma kebohongan begitu nyata dan terasa nikmat.

“Temani Gizelle, dan bawa beberapa yang lain untuk menangkap Gladielle,” perintah Doggoll dengn mata terpejam. “Aku sedang berbicara denganmu, Borgoll.”

Tampaknya yang diberi perintah tidak memperhatikan hingga saat namanya disebut. Borgoll lalu melengos mendekati ayahnya.

“Ayah—”

“—Aku tidak akan setolerir ini lain kali,” kata Doggoll. Raut mukanya berubah drastis, segarang penampilan kepala crawler yang dipenuhi tonjolan runcing. “Dan sudah saatnya kau membiasakan diri memanggilku… Yang Mulia.”

Borgoll membeku di tengah langkahnya, kemudian dengan berat hati ia berkata, “Baik… Yang Mulia. Tapi tadi Yang Mulia… ngomong apa?”

“Tangkap Gladielle secepatnya.”

Yang menjawab barusan ternyata Zolla, sangat kurang ajar karena memutuskan memandang ubun-bun Doggoll daripada moncong crawler.

Borgoll langsung menghilang, menyisakan kilatan kehijauan bercampur asap hitam. Kejadian seperti itu sepertinya hal biasa. Baik Zolla maupun Dollogos tidak terkejut sama sekali. Namun tidak bagi Villael, dia harus menelan ludah karena sekilas yang dilihatnya tampak sangat menyakitkan.

Dengan gerakan pelan, Doggoll menoleh ke Dollogos yang langsung membusungkan dada. Berusaha menunjukkan kesetiaan tanpa cela. Dan Villael harus mengakui betapa Dollogos pandai bersandiwara. Tentu saja dia berpendapat demikian karena dari kejauhan saja, Villael seringkali bergidik—yang tidak disadarinya menimbulkan suara yang hanya tertangkap oleh pendengaran kelelawar—saat melihat titik hitam mata Doggoll. Bagaimana dengan Dollogos yang duduk sangat dekat, pasti ia berhasil mengalahkan ketakutannya, dan sebuah prestasi menakjupkan karena berani membalas tatapan Doggoll.

“Para Penunjuk…”

Jari tangan Doggoll terangkat, dan Dollogos paham bahwa itu adalah perintah supaya diam. Doggoll memejamkan matanya sambil bergumam, memanggil nama-nama yang sayangnya tidak terdengar jelas di telinga Villael.

Tiba-tiba ruangan dipenuhi asap yang sama ketika Borgoll menghilang, namun lebih pekat, tanpa kilatan kehijauan. Lalu sosok-sosok hitam bermunculan dari kegelapan, tepat di depan kursi-kursi yang tampaknya sengaja disediakan untuk menyambut kedatangan mereka. Pakaian mereka yang serba hitam menjadikan perapian seolah telah padam. Villael semakin gelisah dan membatin kapan saatnya dia bisa pergi dari tempat terkutuk itu.

“Selamat datang, saudara-saudaraku,” sambut Doggoll mempersilahkan mereka semua duduk. Tangan kanannya mencengkeram dada, seolah jantungnya meronta gusar. Lalu, “Dollogos, Zolla, ini sebuah kehormatan untuk kalian, bisa duduk satu meja dengan para Gorzada … pengikutku yang paling setia dan tangguh.”

Dollogos dan Zolla tidak memberi kesan senang mendapat kehormatan itu. Mereka berdua tetap membeku di antara sosok-sosok bertudung hitam, yang mendengungkan rasa bangga atas pengabdian dan kesetiaan mereka. Bangga mendapat pujian… yang paling setia dan tangguh.

“Yang Mulia, saya mendapat firasat buruk,” kata salah satu Gorzada memecah suasana.
“Ada yang sedang berusaha menggagalkan rencana kita.”

“Firasatku justru sebaliknya, Golliath,” Gorzada di sebelahnya angkat bicara. “Rencana kita hanya soal waktu, dan sebelum pasukan Shadyzo dibangkitkan, siapapun yang kau anggap bisa menggagalkan rencana besar Yang Mulia, pasti akan menyesal sebelum kematiannya menjemput.”

Ada banyak hembusan nafas dari balik tudung-tudung mereka, aura kemenangan menguar. Tapi Doggoll justru sebaliknya, lebih dingin dari sebelumnya.

“Kau benar, putra Azilla,” kata Doggoll, mengubah suasana menjadi seperti kondisi hatinya, gelisah. “Tidak sia-sia darahmu mewarisi kepekaan Azilla Royan, pemimpin Sang Penunjuk…”

Semua mata memandang ke arah Azilla ingin tahu, menunggu kata-kata selanjutnya dari pemimpin besar mereka.

“… Tapi kau juga hampir benar, Golliath, tinggal menunggu gerhana matahari tiba.” Jari tangannya semakin cepat mengetuk meja ketika melanjutkan, “Dan rupanya ada penyusup gentayangan di sini, menguping pembicaraan kita.”

Kegusaran melanda, seolah yang mereka dengar hanya lelucon ala Doggoll. Bagaimana mungkin di bawah atap rumah, di singgasana pemimpin mereka yang mulia, dikotori darah keturunan Zetya? Sehebat dan sebodoh apa orang itu?

Dari balik patung Gorzada, jantung Villael berdetak kencang, nyaris terdengar olehnya sendiri. Persembunyiannya sebentar lagi terbongkar. Nyawanya hanya menunggu gerakan ujung kuku Doggoll. Villael semakin mengeratkan pegangan belatinya, seolah senjata itulah penyelamat satu-satunya, bersiap menahan serangan pencabut nyawanya kapan saja, detik itu juga.

“Keluar!”

Bersamaan dengan kata yang terucap dari mulut Doggoll, tubuh Villael tercerabut. Melayang tanpa gerak di ujung meja panjang, berhadapan dengan wajah Doggoll yang sekilas menyerupai gambaran nyata iblis dari kerak neraka.

Kubah raksasa kehijauan terbentuk akibat pertahanan luar biasa belati di tangan Villael, tepat semili di depan hidungnya. Bisa melihat tapi samar, orang-orang lenyap, kecuali Doggoll yang mendaraskan mantra dengan kedua tangan membuka lebar. Dari tubuh itulah serangan berasal, menghancurkan seisi ruangan. Meja kursi menguap begitu saja, termasuk tubuh Dollogos yang tidak sempat kabur menyelamatkan diri. Patung-patung Gorzada meledak, dari ujung singgasana hingga kembali lagi ke ujung yang sama, seperti rentetan petasan tersusun melingkar. Dentuman paling dahsyat mengakhiri singgasana impian Borgoll, hancur berkeping-keping menjadi abu. Tak ada suara yang mampu mendefinisakan letusannya, keras hingga nyaris tak terdengar. Lidah api menyambar tubuh Villael seperti ribuan ujung jarum, bersatu dengan cahaya membutakan. Villael pasrah, memejamkan mata meski sulit untuk tidak melihat serangan apa yang menggempurnya.

Namun hal paling ganjil yang dia rasakan adalah tubuhnya masih utuh, dan melihat Doggoll bertingkah seperti orang tolol, sama sekali tidak mengerti kenapa : serangannya tidak melukai sekulit ari pun.

Dan erangan kemurkaan bercampur ketidakpahaman Doggoll mengiringi hentakan yang tiba-tiba menyeret Villael, lebih jauh dengan kecepatan kilat hingga hanya seleret hitam yang terlihat. Tamat, kata yang paling pantas untuk Villael karena petualangan berikutnya sudah pasti baginya. Bersemayam di surga, di mana di sanalah dia akan berkumpul dengan ibunya…