Saturday, November 21, 2009

Novel Fantasi Lord of the Rings versi Tad Williams

Siapapun yang pernah membaca buku ini, akan menunjukan pada kita dua jenis pembaca novel fantasi yang paling menonjol yaitu; orang-orang yang menyerah ketika baru membaca seratus halaman pertama karena saking lambat alur ceritanya, kemudian yang lain, yang lebih suka pada penggambaran secara menyeluruh tentang kisah-kisah di dalamnya (tipe pembaca yang keras kepala), akan terus membacanya hingga habis, menikmati kisah epic fantasy yang harus benar-benar “menenggelamkan dirinya lebih dalam”.

Judul : The Dragonbone Chair (Memory, Sorrow, and Thorn)
Penerbit : DAW Trade
Pengarang : Tad Williams
Tahun : 2005
Genre : Novel Fantasi
Tebal : 672 Halaman
Bahasa : Inggris
ISBN-10 : 0756402697

Plot cerita yang disuguhkan memang bukan barang baru dan terkesan pasaran— tokoh jahat tak terkalahkan kembali dari kematian dan bangkit untuk membalas dendam—seorang pahlawan dari ras bukan manusia yang misterius, bertugas menemukan jimat untuk menghentikan kehancuran dunia atau setidaknya kekacauan tidak menjadi lebih buruk—tokoh perempuan cantik nan awet muda yang serbatahu, kemudian ada tokoh raja yang terpuruk oleh kekuatan hitam yang membelenggu kerajaannya, dan segala macam benda-benda aneh yang superajaib. Yang patut dicatat dari semua hal-hal klise tersebut adalah; seorang Tad William mampu menjadikan cerita klise menjadi semacam cerita orisinal yang sangat sulit ditebak ketika memasuki bab-bab akhir.

Ceritanya pada dasarnya sama seperti dalam kebanyakan fantasi lainnya sejak kemunculan trilogi Lord of the Rings.

Bangunan dunia dalam cerita ini cukup baik. Dunia Osten Ard sangat mendetail dan dibangun senyata mungkin. Seluruh penduduk tidak semua berbicara dalam bahasa yang sama, atau memiliki agama yang sama, atau bergaul dengan satu sama lain. Penulis tidak menggunakan cara lama dengan menyelipkan karakter kurcaci, elf atau goblin yang begitu sering ditemui dalam cerita-cerita lain semacam itu. Sebaliknya, kita mendapatkan ras baru yang pada dasarnya sama, tapi dengan beberapa perbedaan. Begitu juga karakter tokohnya digambarkan sangat detil, hingga kita bisa menduga kedua hal tersebut yang membuat alur ceritanya menjadi lambat. Gaya bercerita semacam ini mengingatkan kita pada Lord of the Rings, yang jujur saja, saya pribadi kurang menyukai dan benar-benar menyerah menghabisi itu buku.

Karakter yang sangat banyak tentu saja membuat pembaca menjadi bingung mengingat nama-nama yang berseliweran dengan time setting yang berubah-ubah. Seperti tokoh Simon, protagonis utama, tumbuh dan berubah dalam waktu yang agak sulit untuk diikuti. Cerita berlanjut secara logis memang, tapi kadang-kadang sulit untuk mengikuti alurnya. Nama-nama orang dan tempat-tempat yang eksotis dan unneededly sulit untuk diucapkan. Namun jika Anda termasuk pembaca yang senang mendapat imaginasi dari seorang pendongen ulung, mungkin buku karangan Williams inilah yang patut Anda coba untuk dikoleksi di rak buku. -shel99&Nathan-

No comments:

Post a Comment