Tuesday, November 3, 2009

BAB 4. Kisah Belati Perak

Dan mendadak sambaran petir berkilat ganas di langit gelap, diikuti gemuruh memekakan telinga, mengantar tetesan air menjadi guyuran hujan lebat. Villael masih merasakan kegelapan yang samar, hingga yang terlihat sungguh tidak masuk akal. Tongkat batu mengambang dalam gerakan lambat dilatari tetesan besar air hujan. Tubuh-tubuh tak dikenali melayang seperti anai-anai. Teriakan mengumpat dan ketakutan memenuhi udara basah berbau apak tanah. Tapi tubuh Villael masih terasa padat menyentuh tanah, sakitnya masih terasa menguliti, dan bayangan berlarian terpetakan di keremangan lorong berliku…

Dua perempuan tergesa mengambil tempat duduk di sebuah ruang bundar. Berhadap-hadapan mengamati lembaran kulit hewan penuh dengan goresan miring tulisan tangan. Mereka serius, membalik satu persatu lembaran itu seolah rencana mereka mengalami kebuntuan dan gagal. Peluh membuat gaun gelap dan terang semakin melekat di tubuh langsing mereka. Salah satu dari mereka memanggil dengan gelisah. Menjejak tidak sabar lantai hitam sewarna tanah. Ya, ruangan itu dikelilingi tanah. Dinding atap terlihat tidak rata namun keras. Perabotan dan kandil yang menggantung tidak seindah bentuknya. Tak terawat dan berkarat. Hanya rak penuh buku yang tampak berguna dan baru saja tersentuh tangan-tangan mereka.
“Grok!”

Bulat kecil seukuran kentang raksasa muncul dari lantai. Bertangan, berkaki ringkih namun tak berwajah. Mendekati pemanggilnya dengan wajah, entahlah wajah mahluk itu sekeras batu kali berkeropeng. Garis-garis alat inderanya serupa dengan jahitan kasar penyulam bodoh. Tidak halus dan membuatnya tampak jelek mengerikan. Hanya berdiam diri menunggu perintah dari tuannya.

“Villael dalam bahaya. Grok, selesaikan tugasmu. Secepat mungkin membuat lorong menembus perlindungan Zetya.”

“Tolong, tunjukkan saja lorong ke gua hutan Gorian. Dari sana aku bisa mengirim Panah Pesan ke saudara-saudaraku.”

“Tidak, Doggoll tahu gua itu persembunyianku. Gorzada berjaga-jaga di sana! Beruntung Doggoll tidak tahu lorong lain yang langsung tembus ke kamarku dan ibuku. Di bawah sarang Doggoll sendiri.”

Dia tersenyum puas, seolah lorong-lorong itu berhasil mempermalukan Doggoll.

“Tapi Grok dan teman-temannya butuh waktu yang cukup lama! Hutan argenus cukup jauh—sangat jauh!”

“Grok. Berapa hari lagi lorong itu selesai?”

Suara seberat kepala kentangnya bergumam, “Lima belas.”

Seiring jejakkan kaki, Grok seolah hanyalah bayangan padat yang menembus dan berbaur dengan lantai tanah. Dia menghilang, berkumpul dan bergumul melanjutkan tugas mendesaknya. Menggali lorong bawah tanah. Lima belas hari lagi…

“Aku tidak sabar lagi.”

Perempuan bergaun sutra putih berdiri. Menyambar busur panah dan memilih satu di antara empat lorong untuk dilewati. Dia bergerak, tapi perempuan berjubah hitam dengan belati perak, sigap menghalanginya.


“Vellia… Gladielle…”

“Oh, rupanya dia hidup lagi…”

Tapi Vellia tetap bersihkeras, dia ingin pergi.

Cahaya hijau menyilaukan memenuhi ruangan ketika Gladielle menahan serangan tiba-tiba anak panah Vellia.

“Jangan ceroboh!”

“Tidak Gladielle. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Berminggu-minggu membiarkan saudara-saudaraku tanpa kabar dariku, aku tidak bisa!”

“Apa kau lebih tega melihat wajah mereka menangisi ruhmu yang diskaratt? Mati di tangan Doggoll, begitu?”

“Tapi—”

Suara isak tangis Vellia meledak, keluar dari bibirnya yang tipis. Terpuruk di lantai dengan sorot mata penuh permohonan. Gladielle menarik bahu Vellia, mengajaknya untuk kembali duduk sambil mendaraskan penghiburan.

“Dua minggu bukan waktu yang lama dan kita akan tetap di sini. Mungkin ada informasi penting lain yang bisa kuperoleh. Sebelum semuanya terlambat.”

Seperti berada dalam kuali besar berisi air yang mulai mendidih, wajah Gladielle dipenuhi bulir-bulir keringat. Dia lalu menggigil, jatuh dan tersedak ketika ruangan itu seolah dibanjiri air yang entah datang dari mana. Pemandangan itu mulai kabur dan hanya ada kilatan-kilatan bening kemerahan yang semakin mencekat hembusan nafas.

“—oh Mampus! dia mengeluarkan darah!”

Lengkingan suaranya yang kelewat bersemangat, tampaknya mengundang kemarahan seseorang dari arah luar. “Jangan dimasukkan kepalanya!”

Villael tersedak dan membuka matanya, mendapati Gilly melompat-lompat kegirangan. Dia berada di sebuah kamar penuh asap kebiruan. Sebagian tubuhnya terendam dalam bak mandi berisi air keruh, penuh dengan sampah. Namun dia langsung menyadari ketika kotoran yang dikira sampah, ternyata daun-daun layu, bunga yang membusuk, ranting serta kulit tumbuhan obat-obatan. Dia sedang berendam dalam air ramuan. Kulitnya pucat, tapi luka-luka yang diderita sudah terlihat samar. Dan aroma dari cawan-cawan perak di atas meja mungkin saja yang membuatnya berimajinasi tentang Gladielle dan Vellia.

Setelah kesadarannya cukup pulih untuk mengenali ruangan itu, Villael dikejutkan oleh gundukan pakaian kumal tergopoh-gopoh menerjang gumpalan asap. Sepasang tangan keriput terjulur dari gundukan itu, dan Villael sadar, yang tadi berteriak marah ternyata Bibi eMilles.

“Syukurlah. Ini berita gembira,“ kata Bibi eMilles yang wajahnya tersembunyi saking bongkoknya. “Gilly, jangan pegang-pegang cawan itu!”

“Apa yang terjadi?” tanya Villael.

“Oh, akhirnya kau siuman juga—jangan bangun dulu, kau telanjang, Villael,” Bibi eMilless mengambil selimut dan handuk kecil dari lemari di sudut ruangan. “Pakai handuk ini. Tapi jangan banyak bergerak, kau masih terlalu lemah. Boboll akan datang tidak lama lagi—Gilly, panggil Boboll kemari dan jangan masuk-masuk sini lagi!” dia kemudian menuang air ke dalam cawan yang mengepulkan asap kebiruan hasil bakaran akar accure, hingga benar-benar padam. Setelah meletakkan pakaian bersih di atas meja, dia berkata, “aku akan mengabari Kakek Holle dan Panglima Mozilla, mereka sangat kuatir. Tapi kurasa mereka belum bisa menjengukmu. Kecuali kau sudah cukup mampu berjalan—”

“—Mereka… kenapa? Di mana?”

“Mereka… baik-baik saja,” kata Bibi eMilless, bibirnya terlihat pecah-pecah ketika mendongak, tapi suaranya masih sangat jelas. “Hanya ada beberapa tulang yang retak. Makanya aku heran kenapa justru, kesembuhanmu lebih cepat daripada mereka berdua.”

Pintu kamar menjeblak terbuka tidak lama kemudian. Boboll masuk menghampiri Villael. Mengangkatnya dari bak mandi dan menyelimutinya dengan hati-hati. Dia tampak khawatir, namun senang melihat kondisi Villael sudah bugar, bahkan sudah bisa berdiri. “Hati-hati—aku tidak percaya ini. Kau hebat, sobat!”

“Oh, makasih,” jawab Villael. “Kau kelihatan—Boboll, apa yang terjadi denganmu?”

Ada banyak memar merah di wajah Boboll. Tapi dia menghindar dan segera menutup pintu setelah punggung bongkok Bibi eMilless menghilang, pergi menyeret bokong Gilly.

“Pakai ini,” kata Boboll, melempar pakaian dan langsung berbalik. “Aku sudah menyiapkan kamar supaya kau bisa langsung istirahat.”

“Aku baik-baik saja!” kata Villael yang memang merasa lebih baik dari yang pernah dia rasakan. “Kau kenapa?”

“Dikeroyok,” kata Boboll geram. “Serulingmu diambil Atilla. Tapi mereka tidak mau mengembalikannya.”

Villael mengenakan pakaiannya lebih cepat. “Oh. Biar aku yang memintanya kalau begitu.”

Boboll tampak gelisah, “tidak bisa.”

“Tapi aku bisa membuktikannya. Kakek Holle yang memberikan seruling itu untukku. Mereka tidak bisa mengelak lagi.”

“Villael, Atilla sudah mengukir namanya sendiri di serulingmu. Jadi—”

“—Tapi dia tidak bisa menggunakannya untuk mengirim pesan, kan? Hanya aku, Boboll?”

Boboll diam saja, lalu duduk sambil memainkan air bekas ramuan obat. “Kau salah—sebaiknya kau relakan saja. Mereka orang-orang menyebalkan. Tiga hari ini aku dibuat tidak bisa konsentrasi bermeditasi, berisik sekali caranya meniup seruling.”

“Tiga hari?” kata Villael bingung.

“Ya, Kakek Holle menyuruhku belajar meditasi. Dan mereka—”

“—Bukan itu. Aku sudah tiga hari, pingsan?”

Boboll salah menduga dan langsung mengangguk salah tingkah. Villael memejamkan matanya, menghirup sisa-sisa aroma wangi akar accure. Jadi, tiga hari ini dia sudah melewatkan banyak hal di Rumah Besi. Dan serulingnya sudah berpindah tangan. Tidak rela, tapi akan ada lain waktu membuat perhitungan dengan Atilla. Lalu bagaimana dengan bayangan dua perempuan yang nyata sekali adalah Gladielle dan Vellia? Dia mempertajam ingatannya akan ruang bawah tanah di mana mereka berada. Tidak salah lagi, mereka masih hidup. Tentu ini akan menjadi berita yang mengejutkan sekaligus menggembirakan untuknya, terlebih bagi Boboll. Namun secara bersamaan, rasa takut dan ngeri menyerangnya ketika tahu dirinya sedang dalam bahaya, seperti apa yang diucapkan Gladielle. Meskipun demikian, dia berusaha menahan keinginan menceritakan penglihatan itu sementara dia tidak tahu apa yang terjadi selama pingsan.

Villael merebahkan tubuhnya ketika tiba di atas ranjang di ruangan lain. Kamar itu cukup luas dan memanjang. Berderet ranjang besi tampak kosong. Jendela-jendela persegi sengaja terbuka agar udara luar masuk ke dalam ruangan, dan dari sana terlihat gubuk bekas istal kuda.

“Sudah agak siang, udaranya jadi… panas,” kata Boboll segera setelah menyadari Villael mencium bau kurang sedap. “Aku tutup saja gordennya, ya?”

“Tidak apa,” kata Villael. “Boboll, aku ingin tahu, yang kuingat terakhir kali, terjadi keributan.”

“Yeah, “ kata Boboll, tetap menutup gorden jendela. “Luar biasa!”

Villael menyingkap selimut dan duduk terlalu cepat hingga Boboll mengira ucapannya tidak berperasaan.

“Maksudku, begini… sungguh! Kau luar biasa!”

“Luar biasa apanya? Aku babak belur!”

Boboll merebahkan lagi tubuh Villael dan menyodorkan segelas Daicco hangat. Kemudian dia membakar kayu brice, membuat ruangan dipenuhi aroma dingin menenangkan. “Tapi kau kan tidak tahu setelah itu. Kau membuat mereka semua melayang. Jangan menyela dulu, ini belum seberapa—Kau, entahlah aku melihatnya seperti bukan kau. Bahkan aku sempat berpikir kalau kau yang membuat petir-petir itu. Mengerikan. Nah, setelah ambruk, kau langsung bangkit dan, boom!

Boom?” ulang Villael reflek. “Apanya yang boom?

Berbisik dramatis, tangan Boboll memperagakan sesuatu yang tiba-tiba lenyap. “Mereka hilang.”

Tertegun. Benarkah itu yang terjadi? Apakah Boboll hanya sedang berusaha menghiburnya?

“Kau bercanda?”

“Oh, aku memang suka bercanda. Tapi tidak pernah suka memujimu,” kata Boboll jujur. “Kau bisa menanyakannya sama siapapun yang hadir di sana saat itu. Bahkan Gilly bisa cerita begitu detil—tapi jangan sekarang soalnya dia masih marah lantaran ikut menghilang. Baru sehari kemudian dia ditemukan pingsan, tersangkut di atas pohon. Dia tinggal di dapur kalau kau mau bukti. Tapi besok saja kalau dia sudah lupa. Oke?”

“Dia… jadi Gilly tinggal d... di sini? Di Rumah Besi?”

Mendadak muka Boboll semerah batu bata. Bagaimana tidak, kecuali karena keajaiban, Gilly hanya akan membuat onar dan mengganggu latihan mereka. Gilly tipe gadis yang susah ditebak. Gangguan mental yang dialami membuat emosinya labil. Sebentar marah, sebentar tertawa dan tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan. Hanya satu yang membuat mereka bisa menerima kehadiran Gilly. Dia tidak pernah bersedih saat mereka mengolok-oloknya sekalipun.

Boboll akhirnya mengangguk, dan menyambar minuman yang masih dipegang Villael.

“Minta sedikit Daicco-nya. Aku selalu gelisah kalau membicarakan bocah idiot itu,” katanya sengit, menenggak Daicco sampai habis. “Nah, awalnya sih cuma karena Bibi eMilless terlalu khawatir dengan lukanya. Makanya, Bibi eMilless menyarankan beristirahat di sini sampai sembuh. Dan Kakek Holle mengijinkannya. Tapi, aku sudah menduga ini sebelumnya. Gilly berhasil mengelabui Bibi eMilless—dia langsung sembuh satu jam kemudian. Dan kau tahu, apa yang dilakukannya setelah itu?”

“Apa?” tanya Villael, meski tampaknya sudah bisa menebak.

“Dia menggali kuburan di depan rumahku, dasar sinting!” kata Boboll emosi. "Dia pikir kau sudah meninggal."

Hening sejenak. Pantas, rupanya Gilly berusaha menenggelamkan kepala Villael di bak mandi. Dia masih marah, pikir Villael.

“Hmmm, lalu siapa yang datang kemudian,” katanya sambil mengingat-ingat akhirnya. “Sepertinya aku mendengar orang-orang berkuda.”

“Oh mereka utusan dari kerajaan. Datang lebih awal lantaran ingin menyaksikan minat orang-orang yang mendaftar. Tapi mereka harus kecewa dan balik lagi. Karena setelah kejadian itu, yang tersisa cuma—oh kau pasti tidak ingin mendengarnya. Atilla dan kawan-kawan... dan beberapa cewek, entahlah.”

“Aku pasti sudah mengacaukannya.”

“Bukan. Bukan kau, tapi ini gara-gara ayahnya—”

“Ssst,” potong Villael mendadak.

Gwenolla sudah berdiri dan tampaknya terlanjur mengetahui lanjutan ucapan Boboll. Dia mendekat, dan Villael melihat gerakannya sungkan dan merasa bersalah. Mulut Boboll berkedut seperti berkata maaf, tampak seperti ayah Villael yang bisu, karena tidak ada suara yang terdengar.

“Villael,” Gwenolla memulai, matanya bengkak dan tubuhnya yang kekar jadi sedikit kempes. Rambutnya yang panjang hitam, lecek seperti berkarat sejak tinggal di Rumah Besi. “Aku sungguh minta maaf. Kalau saja ayahku tidak memulai… Ini semua—”

“—kau kurusan,” kata Villael kikuk. Dia kemudian menambahi setelah melihat Boboll tersedak ganjil. “Maksudku, ini tidak ada hubungannya denganmu. Ayahmu, tentu saja melakukannya karena khawatir.”

“Aku sudah menduga kau akan bilang begitu,” kata Gwenolla tersenyum terpaksa. Suaranya terdengar bergetar ketika menyorongkan sebuah gulungan kertas berpita merah ke pangkuan Boboll. “Kalau tidak keberatan, tolong sampaikan permintaan maafku sama Panglima Mozi… lla.”

Dia langsung lari begitu isak tangisnya meledak. Boboll mengangkat bahu seolah menepis tuduhan sebagai penyebab perubahan sikap Gwenolla yang terlalu drastis. Namun Villael mengenalnya dengan baik, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Gwenolla selain gagal menjadi prajurit handal. Dan melepas kesempatan tinggal di Rumah Besi, sama saja memupuskan cita-citanya.

“Gwenolla, tunggu!” teriak Villael, mengejarnya hingga beradu pandang di ambang pintu. Meskipun Gwenolla berusaha keras menyembunyikan kegetirannya, Villael bisa merasakan perang batin yang sedang berkecamuk lewat mata Gwenolla yang seharusnya biru cemerlang. “Akhir-akhir ini, banyak kejadian tidak mungkin yang aku alami. Dan, aku akan sangat senang seandainya kau bisa membantuku memecahkannya...”

Villael mendapat kesan Gwenolla sedang menunggu dalam diamnya. Jadi dia melanjutkan meski agak ragu. “… sebelum siuman, aku… sepertinya melihat Gladielle dan Vellia.”

“Apa!” teriak Boboll, berdiri di tengah-tengah hingga Gwenolla terdesak ke sisi pintu. “Oh, maaf—“ ia menyeret Villael, mendudukkannya di atas ranjang seolah ia sudah siap mendengar kenyataan seburuk apapun. “Kau melihat mereka?… tapi masih hidup, kan?”

“Masalahnya adalah,” kata Villael, beranjak berdiri, tegang melihat Boboll dan Gwenolla menatap was-was. “Aku sendiri kurang... tidak, mereka terlalu nyata. Mereka berada di ruang bawah tanah. “

“Jadi?” tuntut Gwenolla yang sejenak melupakan pengunduran dirinya.

Keadaan yang sudah kembali normal dalam takaran Villael setelah begitu sering tertimpa masalah, membuatnya lebih berani dan lancar menceritakan penglihatannya. Tentang keberadaan Gladielle dan Vellia, yang setiap kali menyebut nama yang terakhir, Boboll terlonjak kegirangan. Lain lagi dengan Gwenolla, meskipun yang terjadi adalah berita menggembirakan, wajahnya hampir seraut dengan ekspresi Villael. Mereka selamat adalah satu hal, sementara bahaya yang sedang mengancam adalah harga mahal yang harus Villael bayar.

“Oke. Kalau begitu kira-kira lorong mereka tembus di mana?” akhirnya Boboll bertanya pada siapapun yang otaknya masih menyisakan ruang kosong untuk menjawab. “Hei, hutan argenus cukup luas, tolong!”

“Kau yakin itu bukan mimpi, khayalan atau apalah namanya?” kata Gwenolla memastikan.

Sebenarnya Villael juga tidak terlalu yakin dengan kemampuannya melihat jarak jauh. Namun demi tetap mendapat kepercayaan mereka, bahwa dia tidak sedang mengarang cerita yang lebih heboh, tidak ada jalan lain selain mengatakan, “aku melihatnya, saat itu juga.”

“Tapi bagaimana mungkin?” kata Gwenolla, sebelum Boboll berhasil membuka mulut. “Bahkan Para Penunjuk butuh latihan yang tidak singkat untuk bisa melihat kejadian yang sedang berlangsung?”

“Mereka tidak benar-benar melihat, hanya membual demi sedikit pujian dari Doggoll,” kata Villael jijik. “Lagipula kau sendiri yang bilang, kan? Apapun menyangkut Doggoll menjadi mungkin.”

“Masalahnya, kemampuan melihat jarak jauh tanpa harus melatihnya, cuma—” kata Gwenolla terputus ketika terdengar denting logam beradu di bawah mereka. Tampaknya suara itu berasal dari orang-orang yang sedang berlatih menggunakan pedang di aula tanding—aula untuk berlatih senjata.

“Cuma apa?” tuntut Villael, seolah tidak ingin diinterupsi oleh suara kelontangan pedang jatuh.

Gwenolla berjalan hilir mudik sebelum berani menjawab, “sayangnya aku tidak yakin. Maaf, tapi aku akan cari tahu, hanya ingin memastikan dugaanku… salah.”
Mereka diam cukup lama, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Mencari dan mencerna kemungkinan-kemungkinan yang paling mustahil yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya.

“Kira-kira lorong mereka tembus di mana!” tuntut Boboll, tidak tahan dengan ketegangan yang mereka ciptakan sendiri.

Villael dan Gwenolla mengerling secara bersamaan kepadanya.

“Aku cuma khawatir,” kata Boboll menunduk, “maaf.”

Dan Villael tidak pernah merasa berhak memaafkan kekhawatiran Boboll yang berlebihan. Sama halnya dengan Boboll, dia juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Dia tahu, sekecil apapun berita tentang Vellia akan sangat berpengaruh bagi Boboll. Terbukti ketika mereka akhirnya memulai masa pelatihan bersama, Boboll seringkali menyerah melanjutkan meditasinya, hanya sekedar duduk termenung, bergumam di mana kemungkinan lorong tersebut tembus. Alasannya semakin beragam hari-hari berikutnya, mulai dari jeritan Gilly terdengar seperti teriakan Vellia, lalu rintihan menyeramkan sering terdengar menyuruhnya bermeditasi di sekitar hutan argenus. Lain hari, dia sangat yakin dalam meditasinya, dia mendapat firasat kalau Vellia akan muncul di kandang kuda, meskipun Gwenolla secara terang-terangan mengatakan firasat itu datang karena Atilla dan kroni-kroninya menaruh kotoran kuda di depannya. Dia juga menjadi mudah senewen ketika harus bersebelahan dengan Atilla yang sebentar-sebentar meniup seruling. Saat berlatih pedang, Boboll bahkan mendapat begitu banyak luka lantaran terganggu teriakan Gilly mengutuk Villael mati, yang di telinganya terdengar seperti sedang memanggil Vellia.

Tidak demikian dengan Villael. Dalam usahanya mendapatkan ketenangan, dia justru merasakan luapan emosi yang entah kenapa membuatnya teringat pada sosok sang ayah. Dia belum mengetahui kabar ayahnya sejak kejadian itu. Padahal tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk menjaganya, terlebih setelah warga desa membenci Villael seperti mereka membenci pengkhinatan Sillael. Bagaimanapun juga, saat meninggalkannya, kondisi sang ayah masih sangat labil sejak Sillael memutuskan pergi. Mengingatnya, membuat Villael sangat menyesal pernah menerima ijin untuk mendaftar Angkat Pedang. Parahnya lagi, hingga kadangkala Villael ingin mengutuk, baik Boboll dan yang lainnya sengaja menghindar ketika dia menanyakan kabar ayahnya. Begitu juga dengan Gwenolla yang menemuinya hanya karena tertarik membahas penglihatannya, dan langsung kabur sebelum Villael berhasil menyelesaikan kalimatnya seputar topik keluarga. Semakin lama dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini membuatnya hilang kesabaran. Membuatnya begitu kesepian di tengah suara bising saat berlatih memainkan pedang. Terlintas di benaknya keinginan menyelinap pulang, dan sialnya, penciuman Boboll mendadak setajam anjing hutan. Rencana Villaell selalu terendus, dan Boboll akan langsung melapor ke Panglima Mozilla atau Kakek Holle untuk menghentikannya.

Sekarang kesempatan itu tiba untuk kesekian kalinya ketika dipanggil ke ruangan Kakek Holle minggu berikutnya. Meskipun demikian, dia tidak berharap banyak kemungkinan Kakek Holle memberinya sedikit kesempatan untuk menyelipkan pembicaraan tentang ayahnya. Mereka sengaja memilih waktu tengah malam agar lebih tenang, sementara semua peserta Angkat Pedang yang kini secara sah disebut murid, sedang bermeditasi di ruang tenang.

Ruangan Kakek Holle terletak bersebelahan dengan aula tanding. Ketika Villael tiba di sana, pintu ruangan setebal satu kaki terbuka dengan gerakan pelan ke atas. Getarannya begitu halus, hingga sekilas dia tidak yakin kalau seluruh bagian bangunan Rumah Besi terbuat dari pasir besi dengan lapisan perak di dalamnya. Ruangan itu begitu kokoh, hingga memasukinya serasa berada dalam gua berbentuk kotak. Lantainya terasa begitu dingin meski terdapat perapian yang menyala, menimbulkan bayangan perabotan tampak bergoyang melambai. Suasananya sangat tenang. Hanya ada suara denting pelan dari dua pedang kembar yang saling beradu, tergantung di dinding ruangan. Dan baru disadari olehnya dentingan itu seirama dengan jentikan jari telunjuk Kakek Holle.

Kakek Holle yang bertubuh jangkung sedang berdiri membelakangi Villael, menghadap jendela sambil menikmati wanginya bunga argenus kiriman angin hutan yang mendesir pelan. Sejenak Villael ikut merasakan ketenangannya, belum berani mengusik. Saat Kakek Holle berbalik badan dan menuju ke arahnya, Villael sama sekali tidak melihat tanda-tanda kerusakan parah pada tulang-tulangnya, seperti apa yang dikatakan Bibi eMilles. Dia sudah sembuh total, tidak seperti Panglima Mozilla yang harus menggunakan tongkat untuk berjalan.

Di depan Villael terdapat kursi bulat dan meja bergaris-garis seperti susunan batu bata berukir. Tidak ada apapun di atasnya, kecuali batu bulat sebesar bola mata.

“Duduklah,“ kata Kakek Holle, suaranya terdengar tengang dan dalam.

Villael duduk diam dan hanya menunggu. Kakek Holle masih berdiri, mengambil batu bulat di atas meja dan menjentiknya. Sekilas ekor mata Villael mengikuti luncuran batu, mengenai tonjolan dinding dan memantul. Gerakannya sangat cepat hingga dia baru menyadari tangan Kakek Holle sudah memegang batu yang sama. Pintu langsung tertutup pelan.

“Gwenolla pasti sudah memberitahumu kenapa dipanggil kesini,” kata Kakek Holle, membuyarkan rasa takjup berlebihan yang disembunyikan dengan baik oleh Villael.

“Tentang belati,” jawab Villael datar.

Terakhir kali dia bertatap muka dengan Kakek Holle terjadi satu tahun yang lalu, ketika dihadiahkan seruling besi. Tapi kini dia benar-benar berhadapan dengannya, begitu dekat, hingga bisa melihat birunya mata Kakek Holle. Rambut dan alisnya berwarna putih dengan hidung yang tampaknya patah sejak masih muda.

“Dan kau tahu belati macam apa yang kau dapat?” Kakek Holle bertanya seolah Villael lebih tahu darinya.

Villael menggeleng, dan suasana hatinya mendadak gelisah.

Kakek Holle kemudian duduk dan mengetuk meja. Villael tersentak, dan siap meloncat karena permukaan meja bergerak aneh. Muncul kotak-kotak seukuran batu bata, saling bertukar posisi beberapa saat lamanya, dan ketika meja kembali seperti sediakala, di atasnya sudah ada satu kotak berukir yang lalu terbuka dengan sendirinya.

“Aku harap kau siap mendengar banyak hal. Karena ini masalah serius. Dan tolong, singkirkan pikiran-pikiran lain, apapun itu.”

Tidak salah lagi. Villael tidak punya kesempatan secuilpun. Bahkan Kakek Holle bisa membaca pikirannya, entah tebakan atau memang ekspresi Villael yang terlalu mencolok, terlihat tidak peduli dengan urusan belati. Dan sekilas Villael melihat mata Kakek Holle berkilat cemerlang menembus matanya, seolah sedang mengusir pikiran lain tentang ayahnya.

“Sebelumnya,” kata Kakek Holle lagi, mengambil belati berwarna hijau dari dalam kotak. “Aku ingin pastikan kau tidak bosan mendengar kisah Zetya Illaya di masa lalu. Belati ini adalah belati pertama buatan Zetya…”

Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi Villael. Dan Villaei tanpa menyadarinya langsung memantapkan duduknya.

“… belati yang sama yang aku buat. Tapi tentu saja belati ini menjadi begitu istimewa. Zetya membuatnya sepenuh jiwa, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum penculikan Illeane terjadi.”

Kakek Holle menjelaskan sambil memutar belati, yang selalu berhenti dan menunjuk ke arah barat.

“Saya mengambilnya dari perut Doggoll,” ucap Villael, hampir sama persis saat mendebat dugaan Gwenola. Tapi kali ini justru terkesan menyangkal pernyataannya sendiri ketika yang berbicara di depannya adalah orang yang seumur hidup bergulat dengan senjata tajam.

“Membahas Kyanat sama saja membahas Doggoll sekarang ini. Bahkan Doggoll jauh lebih berbahaya. Kekuatannya berlipat-lipat, karena hidupnya hanya digunakan untuk meningkatkan kekuatan hitamnya sampai benar-benar mampu melenyapkan kita, keturunan Zetya Illaya. Dan apa yang terjadi dalam diskaratt-mu—aku percaya itu—adalah fenomena aneh, yang sayangnya hanya Doggoll sendiri yang bisa menjawab.”

“Tapi kenapa,” tuntut Villael. “Belati yang sama ada di tubuh Doggoll? Saya tidak mengerti.”

Kakek Holle tersenyum puas.

“Belati ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membunuh, melainkan untuk mempertahankan diri. Kau bisa menerkanya dari bahan yang digunakan… ini, bukan terbuat dari perak. Tidak seperti kebanyakan senjata yang lain, bahkan bangunan Rumah Besi sengaja dilapisi unsure perak… Nah, sayangnya tapi juga untungnya, bahwa Illeane ternyata salah mengartikan ketika Zetya memberikannya sebagai hadiah perkawinan mereka. Illeane menggunakannya untuk membunuh Kyanat. Begitu juga Kyanat, yang menganggap belati ini sangat berbahaya, mengira dibuat secara khusus untuk membunuhnya. Kyanat tidak berani mencabut belati yang menancap di dadanya dengan tangannya sendiri, justru menggunakan ilmu hitam.

“Dan ini adalah kesalahan fatal yang dia buat, karena rasa takut yang berlebihan. Kekuatan hitamnya, justru membuat belati ini semakin kuat dan berbahaya, semakin menembus dadanya dan akhirnya masuk ke tubuhnya. Ketakutannya bisa dimaklumi, karena Kyanat mengakui reputasi Zetya sebagai satu-satunya orang yang mahir membuat benda-benda pusaka dan keterampilan luar biasa menggunakan senjata pada zamannya. Dan baru kemarin aku menyadarinya… bahwa belati ini ternyata memiliki kemampuan menyerap kekuatan hitam, bahkan emosi pemegang atau pemiliknya akan mempengaruhi belati ini. Kau pernah melihatnya bukan? Ketika Doggoll benar-benar takut, belati ini mengeluarkan sinar kehijauan?”

“Benar, belati itu semakin terang saat dia teriak kesakitan,” jawab Villael mengingat kejadiannya, membuat perutnya mendadak mual ketika menyadari ruhnya benar-benar tersesat di dalam perut Doggoll.

“Bukan kesakitan. Tapi ketakutan yang luar biasa.”

Kakek Holle kembali memutar berkali-kali, selalu dan selalu belati itu berhenti menunjuk ke arah barat. Villael mendesah berat dan otaknya serasa dialiri pemahaman yang luar biasa terang hingga dia bisa menduganya tanpa harus bertanya. Arah barat adalah letak di mana desa Kyanathia berada. Di sanalah kekuatan paling hitam berkumpul, kekuatan Doggoll dan para Gorzada-nya.

“Nah, Kyanat sendiri tidak menyadari kekuatan yang dimiliki belati ini, bahkan hingga keturunannya yang terakhir, Dog—”

“—Tapi ini belum menjawab pertanyaan saya, ma…”

Villael memotong tiba-tiba hingga dia merasa perlu meminta maaf. Tapi Kakek Holle tersenyum dan menggoyang jari telunjuknya.

“Kenapa belati ini berada di tubuh Doggoll,” kata Kakek Holle. “Yang harus kau ketahui adalah, Kyanat selalu mewariskankan kekuatan hitamnya pada penerusnya yang sah. Termasuk—”

“Belati ini,” sambung Villael yakin.

“Tanpa dia sadari,” kata Kakek Holle menambahi.

No comments:

Post a Comment