Thursday, December 31, 2009

9. Melewati jalur tikus

Selang beberapa menit kemudian, mereka bertiga sudah berada di sebuah tenda. Tenda itu ajaib. Dibangun hanya dengan mantra sederhana milik Si Petung. Warnanya norak dengan gambar beraneka bunga, buah-buahan dan sayuran segar seperti yang kau temui di pasar. Dan hanya ada satu pintu masuk, hingga Arnold berharap tidak akan ada yang menyergap mereka saat berada di dalam. Karena itu artinya mereka terjebak. Walau bagaimana pun, tenda itu mampu memberikan kenyaman. Hawa dingin hutan tidak menembus hingga ke dalam, dan beberapa perabotan dan perlengkapan masak telah siap sedia.
Tetap saja, hal ini menjadi sangat aneh bagi Arnold. Bukan tentang tenda yang mendadak muncul, melainkan jalan pikiran Si Petung. Kalau tahu bagaimana membuat tempat singgah dengan mudahnya, lalu untuk apa mereka bersusah payah mencari pondok yang kini bersembunyi di balik bukit, pikir Arnold.

“Karena biasanya anak-anak yang memintanya terlebih dahulu,” itu alasan Si Petung.

Jadi itulah yang diminta Sandra; membuat tenda untuk bermalam sementara mereka bertukar berita.

Sandra, gadis yang sudah berusia 17 tahun tentu saja sangat marah disebut anak kecil. Namun demi kekagumannya pada Si Petung terpelihara dengan baik, dia mendadak tuli dan tetap menjadi penggemar beratnya. Entah apa yang bisa dikagumi dari Si Petung, sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit didapatkan jawaban yang masuk akal. Hanya menimbulkan kecemburuan, dan siapa pun pasti akan menganggap dunia ini sangat tidak adil, terlebih bagi Arnold.

Perempuan bersyal merah itu berasal dari dunia yang kau tidak akan pernah tahu jika tidak membaca kisah ini hingga tuntas.

Dunia itu bernama Dunia Petualangan.

Dan di sana, seperti yang diceritakan Sandra, sedang terjadi malapetaka. Penyihir gendut yang menyebut dirinya sebagai ratu Greede Olive sedang merencanakan sesuatu. Menutup semua jalur tikus yang menghubungkan duniamu dengan Dunia Petualangan. Gawat, bukan? Alasannya, karena dia tidak ingin manusia seperti Si Petung keluar masuk dan mempelajari ilmu sihir. Sandra menduga masalah ini juga berkaitan erat dengan penculikan dua anak raksasa di hutan Ergo, serta perekrutan bocah-bocah malang untuk diangkat menjadi anak asuh yang nakal.

Akhirnya Sandra menutup ceritanya dengan satu kalimat yang sangat anggun di mata Arnold, “Jalur tikus Hutan Larangan yang masih tersisa.”

“Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Jadi coba kau ulangi sekali lagi,” pinta Arnold yang bukannya menyimak cerita, justru menyimak wajah Sandra yang ekspresif.

“Oh, tidak Arnold. Ada yang lebih mendesak daripada kabar buruk tentang si Greede Olive. Kau tidak lupa, bukan? Sepupumu, Willy,” kata Si Petung.

Kali ini dia membuat Arnold ternganga. Ternyata Si Petung tidak sepelupa tampangnya kalau menyangkut keselamatan Willy.

“Willy?” seru Sandra.

“Siapa!” teriak Arnold reflek.

“Bukan apa-apa,” kata Si Petung tenang. Dia bangkit dari duduknya dan mengambil tiga buah cangkir (hitungan versi Si Petung tentu saja empat buah cangkir) dari sudut ruangan. Di sebelahnya, di sebuah perapian, bertengger ceret besi yang sedang bersiul-siul; tanda air telah mendidih. “Ini hanya suara ceret. Dia memang suka menyanyi rock n roll. Kopi?”

Si Petung menuangi cangkir Sandra dengan susu madu rasa stroberi. Namun ketika sampai di cangkir Arnold, yang keluar minuman beralkohol.

“Oh, ini tidak baik untuk kesehatan, Arnold?” maka dia menggantinya dengan minuman yang sama dengan Sandra.

“Aku tidak memintanya,” Arnold jelas merasa tidak bersalah. Karena dia memang tidak mengucapkan satu patah katapun tentang minuman. Dia terlalu trauma dengan nyanyian ceret yang jelek sekali.

“Tapi kau menginginkannya,” Si Petung geleng-geleng kepala dan menuang sendiri cangkirnya dengan Knocout—jenis minuman beralkohol hasil fermentasi lada dalam jumlah besar. Beruntung Arnold tidak mengenal jenis minuman itu. Karena selain menghangatkan, minuman itu bisa sangat memabukkan.

Saat Sandra meminum cangkirnya, mata Arnold tidak pernah lepas dari gerakan bibirnya yang mencecap sisa manisnya susu madu rasa stroberi tersebut, sampai Arnold lupa daratan. Arnold meminum cangkir berisi Knocout milik Si Petung. Arnold pun langsung pingsan di tempat.

“Nah, sepertinya ini lebih baik,” kata si Petung yang entah kenapa mampu mengangkat tubuh gemuk Arnold ke atas ranjang.

Jadi, jelaslah sudah. Berdasarkan keterangan ciri-ciri fisik Willy; badan ceking seperti cacingan, dengan kulit tanpa bintik-bintik, berwajah bulat telur dengan mata biru cemerlang. Hidung mancung menggemaskan hingga kau ingin terus mencubitnya. Lalu tingginya sama dengan Arnold, namun tidak selebar Arnold yang terlalu gendut untuk ukuran bocah seusianya. Oh, Sandra juga bilang, rambut Willy berwarna hitam legam, selalu rapi dan sehalus sutra. Soal tingkah laku, karena Sandra pernah berpapasan dengan Willy, dia mengatakan kalau Willy anak yang baik, sopan dan tahu tatakrama. Menurutnya hanya dua kekurangannya , Willy terlalu sensitive dan keras kepala.

“Wah, secara umum dia tipe anak yang manis kukira,” komentar Sandra. “Tapi aku tetap menjadi penggemarmu, Petung.”

“Lalu kemana dia pergi, atau kenapa dia bisa sampai ke dunia petualangan?” tanya Si Petung. Baru kali ini dia terlihat serius dan berwibawa, tanpa meninggalkan kepikunannya. Sebenarnya kalau dia tidak ceroboh, seharusnya dia tidak menulis dengan sihirnya; cara memasuki dunia petualangan di semua perabotannya.

Sandra beranjak dan duduk di sofa. Membenamkan dirinya hingga nyaris tenggelam saking empuknya. Tapi dari sana terdengar suara lelah, “kalau kau tanyakan itu padaku, aku tidak tahu. Terakhir kali yang kuingat dia bilang ingin bertemu raksasa. Dasar anak ingusan, tidak tahu kalau raksasa bisa membunuhnya dengan sekali bersin.”

“Ada orang di dalam?” sebuah suara yang terkenal bergaung di luar tenda. Si Petung kaget bukan main. Itu tidak mungkin suara Milly. Milly sedang tidur atau sedang dinasehati agar tidak bergaul dengan Petung, pikirnya.

Si Petung dan Sandra berhambur keluar. Di depannya berdiri bocah perempuan menggigil kedinginan. Wajahnya terlihat pucat saat Sandra menggumamkan mantra untuk memanggil kawanan kunang-kunang.

“Milly, masuk,” kata Si Petung, menyampirkan selimut bulu beruang usang di bahunya.
Milly membawa tas ransel, sangat besar sampai dia terbanting saat meletakkannya di atas sofa dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Malam sudah sangat larut hingga saat itu Si Petung membiarkan Milly tertidur pulas sambil mengigau “maafkan aku Willy, ini semua salahku.”

Mendengar igauan itu, Si Petung menangis. Bukan salah Milly, bagaimana pun juga, keingintahuan bocah kecil di Sideview berawal dari hubungan mereka yang melibatkan sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal. Namun bagi bocah seusia Willy, Milly dan Arnold dan yang lainnya, sosok raksasa atau kurcaci adalah dunianya. Jadi setelah menceritakan semua permasalahannya pada Sandra, mereka berkemas keesokkan harinya.

“Kita akan ke dunia petualangan kalau kalian benar-benar mantap,” kata Si Petung

“Bagaimana dengan sekolah kalian?” tanya Sandra. Kali itu dia memakai gaun tebal berwarna merah muda.

“Sekolah libur. Dan kuharap untuk selamanya. Milly kau membawa apa di tasmu?” kata Arnold.

Milly tidak menjawab, tapi membuka dan menujukkan barang bawaannya.
Arnold langsung menepuk keningnya, sangat keras. “Buku, sepertinya tidak ada gunanya di sana.”

“Cuma takut aku akan mati kebosanan di sana.”

“Sungguh berlebihan,” kata Arnold dingin.

“Kau tahu sendiri kan, buatku dunia sihir itu...ya aku percaya ...mungkin itu ada... tapi aku tidak ingin menjadikanku pemalas. Tinggal membaca mantra, memakai jimat atau bahkan menyanyikan syair kuno nan konyol untuk mengorek kuping. Atau menjadikanku nenek sihir keriput bertopi lancip dan selalu berhidung jelek. Apa lagi sapunya, sungguh nasib orang-orang seperti itu.”

Mendengar ini, Sandra memalingkan muka, mengibaskan rambutnya hingga menampar muka Arnold yang langsung merona merah. Awalnnya Sandra mengira Milly gadis yang patut dikasihani. Tapi perasaan itu musnah digantikan dengan rasa sinis atau dalam sebuah syair kuno nan konyol akan terdengar seperti ini :

Sang langit, kenapa kau ciptakan Milly hanya untuk menghina syairmu...
Sang langit, kenapa kau ciptakan syair untuk dihina Milly...
Sang langit, Kenapa oh kenapa ada syair dan juga Milly...

8. Tersesat di hutan Larangan

Mereka memutuskan pulang ke pondok dengan tergesa. Bodohnya, Arnold membiarkan si Petung yang rada pikun memandu jalan mereka. Alhasil, alih-alih pintu pondok yang terlihat, justru belantara hutan yang memotong langkah mereka.

“e...hemm... sepertinya kita sedikit salah jalan,” komentar si Petung sambil mengingat-ingat jalan pulang. Ini mustahil, karena baru seminggu yang lalu dia pulang dan melewati pondoknya begitu saja karena dikira bangunan itu kandang sapi.
“Kau bilang sedikit?” ulang Arnold kesal, dan sadar betul mereka sedang tersesat. “Kalau aku tidak salah, seharusnya kita mengambil jalan ke arah timur dan kita sudah terlalu jauh berjalan ke arah barat!”

“Tentu saja kau tidak salah sama sekali.” Si Petung berbalik badan. “Sepertinya pondok Petung memang ada di belakang kita. Di balik bukit itu, kau lihat, Arnold?”

“Lalu kenapa kau tidak bilang dari awal!”

“Arnold tahu kan, Petung ini pikun?” bela Si Petung tidak mau disalahkan.

Kesal, Arnold menghentakkan kakinya ke lantai... maksudku, tanah. “Oh Tuhan, pondok sendiri sampai lupa, tapi kau bahkan tidak pernah lupa kalau kau itu pikun. Nah, lalu kita berada di mana ini?”

Di sana, hutan sunyi senyap hingga Arnold sepertinya baru saja mendengar bunyi aneh dari balik celana Si Petung. Pohon yang tumbuh besar-besar dan berkeropeng. Di jalan masuk itu sebuah papan petunjuk berpendar terang karena sekelompok kunang-kunang sedang mengadakan rapat darurat di atasnya.

“Coba, biar Petung tebak,” kata Si Petung, selagi mereka memasuki hutan lebih dalam, dan lebih dalam lagi.

“Ini Hutan Larangan,” kata Arnold, yang memutuskan menunggu Si Petung menebak-nebak sama saja dengan memintanya menghitung satu sampai sepuluh.

Si Petung memang tidak pernah sekolah, tapi tetap saja tidak wajar dan keterlaluan. Karena setelah menghitung angka satu, dia langsung loncat ke angka tiga. Parahnya lagi, dia berani bersitegang dan tidak mau mengakui kalau jari tangannya ada sepuluh, melainkan sebelas!

“Huh, kalau Arnold sudah tahu, kenapa juga masih bertanya sama Petung,” gerutunya.
“Kau tidak melihat papan penunjuk yang barusan kita lewati? Jelas di situ tertulis; Masuklah dan kau akan …mati berdiri.” Arnold sengaja memelankan dua kata terakhir yang terdengar menakutkan. Menyadari Si Petung tidak bisa membaca, dia akhirnya memakluminya. Pantas saja Si Petung tidak pernah takut keluar masuk hutan Larangan lantaran selama ini dia tidak pernah tahu akan peringatan itu. “Tapi ini sangat aneh, kau menceritakan kalau Hutan Larangan itu penuh dengan...”

“Ya, benar, di sini ada bermacam-macam burung pemangsa, rusa malam, reptil buntung, kadang anjing hutan albino juga berkeliaran, tapi kurasa mereka sedang tersesat.... sedikit salah jalan maksud Petung, lalu...”

Arnold merinding dan berharap Si Petung berhenti menyebutkan semua binatang penghuni hutan Larangan, saat itu juga.

“...Monyet gila, dan lain sebagainya... aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu, maaf.”

“Kau sudah menyebutkan semuanya... sangat lengkap. Dasar manusia ajaib!” dengus Arnold sangat keras, tapi Si Petung tidak mendengar.

Namun hutan Larangan memang sedang tidak seperti biasanya.

Mereka berdua selamat, kecuali terpelanting sejauh lima meter bukan kondisi yang sama membahayakan dengan menasehati segerombolan monyet gila.

Rupanya, dari tanah di depan mereka baru saja terjadi ledakan keras mengepulkan asap kebiruan, yang membuat mereka berdua terpental berlawanan arah. Si Petung ke kiri, dan Arnold tentu saja ke kanan.

“Uhuk...uhuk!” Seorang perempuan cantik keluar dari balik asap yang menipis. “Sungguh jodoh uhuk!...aku sedang mencarimu Petung, uhuk! oh aku benci harus melewati jalur tikus uhuk!. Terlalu banyak asap, bikin tenggorokan gatal!”

Si Petung berdiri dari jatuhnya yang paling menyakitkan. Kedua kakinya tertekuk ke depan, tapi itu bukan masalah. Dia sudah terbiasa mengalami kecelakaan yang paling dahsyat sepanjang karirnya sebagai petualang sejati.

“Oh kau, Sandra Buldoc”

Rupanya Si Petung mengenalnya.

Dia perempuan paling cantik yang pernah Arnold lihat, meski dengan sudut pandangan terbalik. Rambutnya berwarna perak, berkilau tertimpa sinar rembulan. Wajahnya putih lonjong dan berbinar-binar meski sepertinya dia membawa kabar buruk. Tubuhnya langsing dalam balutan sutra berwarna.... Arnold takjup, warna pakaiannya bekerlap-kerlip seperti lampu disco!

Perempuan itu malah berlari kencang menghampiri Si Petung, bukannya Arnold yang tersangkut di akar pohon ek paling tua (sepertinya pohon ek lebih populer ketimbang pohon kamboja di dunia fantasi). Tampak sangat khawatir, perempuan lembut itu mengeluarkan sapu tangan dari udara dan memeriksa setiap jengkal tubuh Si Petung.

“Cukup, terima kasih. Bukan Petung yang harus Sandra khawatirkan,” kata Si Petung. “Tapi anak itu...”

Sepuluh meter dari tempat Si Petung jatuh, Arnold sudah berhasil berdiri mantap dan tampak tegar, lengkap dengan senyuman paling menawan yang dia miliki. Dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama dari Sandra, yang di matanya seperti ratunya bidadari. Dan Si Petung hanyalah debu yang tidak terlihat.

“Dia baik-baik saja, kok,” kata Sandra acuh. "Aku sangat peduli padamu, Petung... sayang."

Dan Arnold ingin muntah, tidak yakin dengan arti kata 'sayang' yang Sandra ucapkan.

Sunday, December 27, 2009

7. Makan Malam Berakhir Malapetaka

Di pondok reot Si Petung, mereka memang riang, dibuat kenyang oleh makanan yang tidak pernah habis meski kau meraup semua roti yang ada di meja dengan dua tangan sekaligus atau kau menjadi anak yang paling bermulut lebar sedunia sekalipun. Kecuali Willy yang hanya berdiam diri memandang segumpal besar roti panggang di depannya. Ada pikiran lain yang membuatnya enggan menyentuh, apalagi menggigit dan mengunyah. Padahal baik Arnold maupun Milly, perut mereka__seharusnya__sudah tidak mampu menampung makanan barang sesuap.
Si Petung baru menyadari ada ketidakberesan itu ketika menawarkan sup kentang spesial pakai daging onta, yang berada begitu dekat dengan piring roti panggang Willy, namun tidak secuilpun mata Willy melirik tertarik ke sup tersebut.

“Kenapa?” tanya Si Petung mengerutkan alisnya yang putih tipis.

Mulut Willy seolah baru saja diolesi lem tikus. Dia terus membisu, berfikir hingga kau mungkin mengira dia sedang kerasukan hantu bisu atau sedang bermeditasi entah untuk tujuan apa.

“Cukup! terima kasih,” seru Arnold, yang rupanya sudah tidak tahan ketika makanan lain bergantian muncul begitu dia menghabiskan satu potong. “Ini lezat, dan .... wahhhh buanyak sekali. Hah andai saja perutku sebesar perut raksasa... pasti... pasti minta__tolong ambilkan susu, Milly?”

“Ambil sendiri dong, manja amat jadi orang,” jawab Milly kesal.

Arnold mengambil segelas susu yang kemudian dari meja itu muncul gelas lain. Kali ini sepertinya berisi jus durian karena berwarna putih kental dan tiba-tiba Willy segera memencet hidungnya rapat-rapat. Willy benci buah durian.

“Petung, sebenarnya apa yang terjadi dengan raksasa di Hutan Larangan?” tanyanya dengan suara mendengung tidak jelas.

“Kalau tidak salah, seminggu yang lalu kita baru saja pergi ke dokter gigi,” sela Arnold sambil menenggak habis susunya. “Dokter bilang, kau malas menggosok gigi, jadi pantas saja kalau semua gigimu busuk semua.”

“Masalahnya ini kan beda,” bantah Willy. “Kita ini ngomongin gigi raksasa.”

“Justru itu,” Arnold tidak mau kalah, dan melanjutkannya seolah hanya dia yang berhak bicara, “karena tidak ada orang yang menjual sikat gigi sebesar gagang sapu, makanya dia tidak pernah gosok gigi.”

“Cukup, cukup...” Milly mencoba menengahi sebelum Willy berhasil membuka mulut untuk membela diri. “Kalau menurutku, semua mahluk yang mempunyai gigi pasti pernah merasakan yang namanya sakit gigi, okey?”

Si petung yang dari tadi diam saja, entah tekun menyimak perdebatan mereka__atau bisa jadi karena kekenyangan__angkat bicara.

“Petung tahu apa yang kau pikirkan, Willy. Aku kenal kau sejak kau masih segini,” katanya sambil menggambarkan seberapa tinggi badan Willy saat itu dengan tangannya. “Kau ingin melihat raksasa itu, bukan?”

Pertanyaan itu kontan membuat Willy bergairah, Arnold menjatuhkan paha kalkun panggang yang baru diangkatnya sejengkal dari piring. Namun yang tidak masuk akal adalah tingkah Milly yang justru tertawa terbahak. Willy menduga dia mulai sinting atau mabuk jus durian, tidak mendengarnya dengan jelas atau... barangkali ketiga-tiganya.

“Kurasa kau salah, Petung sayang, kau salah mengenal orang,” jawab Milly meremehkan, membuat Willy tersinggung. Bagaimanapun juga, Willy sudah merasa sangat dekat dengan Si Petung, dan dia senang dengan hubungan baik mereka meski tidak jarang harus menelan ejekan Ares yang mengatakan mereka satu spesies menjijikan. Dan Willy dibuat semakin geram ketika Milly menambahkan padanya, “Aku sangsi kau berani melihat raksasa, bahkan sebelum benar-benar melihatnya.”

“Kau meremehkanku!” teriak Willy. “Kalau begitu... aku menantangmu!”

Dia beranjak dari duduknya, hampir menjatuhkan kursinya dan menutup pintu pondok dengan kasar setelah mengucapkan selamat sore alakadarnya pada Si Petung yang tampaknya membisu saking kagetnya. Si Petung belum pernah melihat Willy seberang itu, dan anehnya, Milly mendadak menangis... Arnold makin dibikin pusing tujuh keliling.

“Kenapa malah kau yang menangis?” tanya Arnold sambil melipat tangannya begitu erat.

“Benar,” kata Si Petung tidak yakin sambil membelai bahu Milly. “Kalau aku jadi Willy, sepertinya aku butuh... yah bahu siapapun yang mau menampung air mataku. Yang kau katakan barusan itu—“

“Sungguh keterlaluan!” sambung Arnold kejam.

Setelah beberapa saat kemudian, ketika tangisan Milly tidak cukup mengganggunya untuk berbicara, dia berkata, “Aku kaget dan bingung... Aku melakukannya hanya karena aku tidak ingin ada lagi topik tentang raksasa!”

“Lalu apa urusannya denganmu, coba?”

“Kalau dia bilang ingin melihat, maka dia akan berusaha sekuat tenaga membuktikannya!” seru Milly, air matanya bercucuran membasahi pipinya yang kemerahan. "Itu sangat berbahaya, dan kita masih kecil!"

"Kurasa dia tidak akan pernah mengajakmu berpetualang, jangan berlebihan deh," kata Arnold tanpa belas kasihan.

“Jadi, ini salahku,” gumam Si Petung. “Arnold, sudah__ternyata aku tidak cukup mengenalnya, kau benar Milly...”

Keadaan menjadi hening total setelah tidak terdengar isak tangis Milly. Di luar pondok, angin sudah mulai terasa basah. Desirannya menyeramkan, seperti rintihan raksasa yang sedang kesakitan andai kau bisa ikut mendengarkannya. Langit yang biasanya berbintang, kali itu gelap gulita, dan menyadari malam hari terlalu berbahaya bagi Arnold dan Milly untuk pulang sendiri-sendiri, akhirnya Si Petung memutuskan akan mengantar mereka hingga selamat ke rumah mereka masing-masing.

Satu jam kemudian, Si Petung dan Arnold tiba di depan gerbang besi rumah Willy, setelah sebelumnya mengantar Milly dengan susah payah karena harus menyelundupkannya lewat cerobong asap perapian. Orang tuanya sudah semalaman berjaga di depan pintu dengan wajah, yang satu marah, yang satu seperti kehabisan air mata.

Mereka berdua membeku cukup lama karena ada yang tidak beres; jendela kamar Willy menyala dan dari sana terlihat bayangan hitam besar menyeramkan. Rambutnya seperti ular-ular kecil yang menggeliat ke segala arah. Tangannya memegang sesuatu seperti tulang kaki binatang. Tambah lagi, cara berjalannya yang ganjil; sebentar berhenti, sebentar bergerak cepat, menghilang lalu muncul lagi.

"Ini di luar dugaanku. Sungguh berita buruk," kata Si Petung.

"Ini sih bukan berita buruk, tapi buruk sekali," komentar Arnold sma sekali tidak membantu keadaan.

"Apa sebaiknya aku menjelaskan semuanya pada bibimu, mamanya Willy?" tanya Si Petung ragu dan berharap Arnold mengatakan itu adalah ide paling konyol yang pernah di ucapkannya.

Namun Arnold menjawab, "harus!"

Si Petung bergetar, bukan karena udara dingin yang kelewatan, melainkan bayangan Mrs. Maria, mamanya Willy yang murka sedang berseliweran di benaknya.

Bau kemurkaan rupanya menguar lewat kisi-kisi kecil pintu rumah Willy, dan Arnold segera menarik tangan Si Petung untuk meninggalkan tempat itu.

"Kayaknya tidak untuk sekarang ini, percuma," kata Arnold bijak.

Wednesday, December 23, 2009

Tips terindex google

akhirnya gw menulis tips terindex google yang paling ampuh ketika novel fantasi gw gak berjalan mulus.
awalnya gw lagi ales nulis... dan saking malesnya, apa aja gw tulis. memang topik masih berkisar tentang dunia novel fantasy. tapi yang bikin gw terkejut adalah saat gw gugling... TUING numero umo.


langsung aja begini caranya; mudah, efisien, dan gak perlu cari2 tips yang lain. cukup satu dan terima kasihlah pada takdir anda nyangkut di blog gw ini.

ini blog ini memang cukup ancur. dibilang ancur banget juga gak apa2 sih.

perhatikan : JUDUL dan kalimat pertama harus seirama...bahasa gampangnya, gak beda jauh. misal ; lo mau kasih judul : malam tak berbintang. nah pada bais pertama, pas nulis postingan itu lo tulis.... malam ini malam tak berbintang. atau malam tak berbintang, ada apa denganmu....
swer, rada ngaco....tapi terbukti ampuh!
tambahan nih... berhubung postingan yang satu ini jauh dari tema blog gw yang dunia fantasy. alhasil masih kalah sama yang lain pas gw masukin tag judul di atas.. jadi yang menyerah

Daftar novel fantasi lokal

eng ing eng.....gw mo nge-list novel2 yang pernah gw baca. yang dapet urutan pertama berarti yang paling OK

nah, ini dia yang pertama. selamat buat Dian K....tahu dah kepanjangannya apa. yang pasti novelnya gw baca terus mengalir tanpa bikin gw nyeletuk kok begini begitu..... dan yang paling gw suka itu angkotnya yang bisa terbang... wuiiiihhhh asikkkk....
kalo ceritanya gimana? standar lah ..belum ada yang baru. Masih berkisar pada benda pusaka yang ternyata si tokoh utama punya senjata yang Ok punya. tahu dech bener ato kagak ulasan nyeleneh gw ini hihihihihi....yang pasti gw gak nyesel numpuk buku yang satu ini. judulnya kalo gak salah .....Zauri : Sang Legenda Amigdaglus

Dan yang kedua adalah Xar & Vittacharm / Vichattan ......
(berasa merek pembalut)
nah. ceritanya di sini kebanyakan ceweknya. hebat hebat lagi. sayangnya mereka dalam kondisi lemah setelah serangan tiba tiba dari musuh kegelapan mereka. tahu dah namanya siapa. yang pasti mirip sama si Voldy... item berkerudung. awalnya dia mati tapi bangkit lagi dan balas dendam untuk menguasai jagat raya. untungnya empat bocah cilik mewarisi tahta cahaya... apa tahu dah namanya. akhirnya mereka ditugaskan (takdir sih katanya) untuk membangunkan hewan....gak maen maen, hewannya ini keramat dan bisa terbang....

teknik bertempur dunia X&V sangat mengesankan kalo para pembaca bisa membayangkan warna warni tenaga dalam mereka ketika bertempu. sepertinya kalah dah Avatar hua hua hua

kok jadi ngelantur kayak resensi ya... ok ...gooddd job.

paling sebel paling pada pada format tulisan yang kayak ketombe, kecil-keciiiillllll. marginnya juga kelewat mefet, berasa mo tumpah ke pinggir buku...
oh iya, Cover...top markotob!

sayangnya gw nyari cerita bukan tampilan luar. itu yang bikin X&V dapet predikat no core duo....

yang ketiga....Mantra aji....

wahhh langsung pada melotot nih pembaca blog..
kenapa Mantra Aji dapet bronze???
soalnya gara-gara dihujat habis di forum. akhirnya gw bisa kelar saking penasarannya dan berhubung sudah tiga perempat jalan akhirnya ya lanjut... dan ternyata perut gw brasa melilit gara-gara ketawa abis....lucu banget (bukan ceritanya, tapi kwalitas segala-galanya) Ancur.....

yang selanjutnya : nggak adil kalo gw masih nerusin. secara Mantra aji sebenernya paling jebot. tapi oke lah kita lanjutkan....
ZZZZZZZZZZZZZZZ.....ngantuk . udah ah!!!

Tuesday, December 22, 2009

Pengumuman buat para penulis lokal khususnya fantasy freak

tulissan sebelumnya, sorry banget....terkesan kurang ngehargai karya orang lain ya khusus yang review... janagn kuatir tar dech gw bikin yang apik hehehe

Mereview Sang Penunggang Kuda

Yang bener sih judulnya Sang Penunggang Petir. Salah satu karya lokal yang kebetulan banget gw beli pas diskon di bandung. Welll......gw beli bukan karena harganya mlorot, ato karena kualitas novelnya OK. Tapi lebih karena demi kesenangan gw membeli novel fantasy lokal (catt : kalo ada duit sekalipun tipis)


Tapi di sini gw bukan mo bicara soal kesenangan gw tersebut, melainkan pengin sedikit kasih komentar setelah baca novel tersebut. Meskipun,,,, gak kelar satu bab bacanya __ karena keburu ngebaca Sahara, gw mo kasih catatan kecil pokoke.

Buku bergambar monster lawan jagoan itu jujur aja kurang ngena segmentasi usia ke gw. Terlalu anak kecil buat gw sih... gw sukanya yang lebih dewasa, ato gampangannya yang rada berat lah ceritanya. apapun itu, gw salut Terbit yang penting itu, soal kualitas seiiring waktu penulis pasti akan memperbaikinya.

kalo cara p[enulisannya gw agak bosan dengan pendeskripsian anatomi tubuh yang dibanding bandingin ama tokoh yang lain. hampir semua.... badan di A dua kali lipat dari tubuh si B. hulitnya lebih kuning dikit dari si C. masalahnya adalah gw belum tentu bisa gambarin sendiri tinggi dan sekuning apa tokih yang jadi pembanding itu. kesannya gw sebagai pembaca kayak lagi baca website yang di tendang ke web lain eh di tendang lagi dst sampai gw tutupo buku.

trus illustrasi gambar di dalam novel itu , lentara sekali kayak kejar tayang....serius dikit kek. gw aja macanya merem melek!

nah, gak adil dong kalo gw jelek-jelekin mulu. kesannya ngiri banget dech gw. bener gw iri sobbbbbbb.....

NOvel Fantasy Lokal yang bagus

ya, gw mo ngomongin bikin novel fantasy yang bagus menurut gw akhirnya. ini asli dari gw... jadi kalo ada yang gak setuju langsung aja tutup windows, matiinn komputer, kalo ngenet di warnet jangan lupa bayar ama Bossss


Pertaa tema : kudu Orisinilllllll

ini susahnya buat mereka yang dah berjibun buku referensi. pasti cerita dah gak orisinil. tapi malangnya, mereka yang kebetulan gak makan novel, yang kebetulan dappet tema orisinil.... tapi selidik punya selidik eh dah pernah ada tuh terbit. ngomongin soal novel yang pada terbit, ada gak istilah noverl yang dah terbenam? gubrakkk....ngaco.

keDUA : masuk ke inti cerita ; bikin dunia univer imaji sendiri.

usahakan lain dari yang lain. kayak kalo umunya karakter biasa menggunakan tangan kanan buat pegang pedang. di dunia lo, pegang pake tangan kanan disebutnya kidal hahahaha tar ada ayang marah nih kalo ngomongin logikanya mana. bodo amat lah yang penting kan ada ulasannya, lo jabarin dech kenapa biasa pake tangan kiri. misal soalnya di sana kalo cebok pake tangan kanan hua huaaaaa

na itu dari segi budaya, kalo binatangnya gimana boz? lo isi aja binatang ciptaan sendiri.....kayak kebo buat narik kereta bukan kuda. senjatanya gan???? oh senjata lo pake apa aja, masah di kasih tahu.....ntar gak orisinil lagi hehehehe

yang selanjutnya : karakter.
hindari pemakaian karakter tokoh yang dah umum.
kayak jagioan gak usah cakep2 dah tapi mampu membuat pembaca gemas. kayak jagoan yang suka dandan tapi bisa mindahin gunung.... masuk akal gak sih????

lanjut, yang keberapa nih... empat!!!!

pengen nyiptain musuh???? enemei????
yang terang-terang aja sob...jangan Dark-darkkan....dah umum. musuhnya dibikin yang suakep n cantik, sakti mandraguna ....tapi innalillahi keji abis, suka hisap darah....twilight dong.....

terakhir, dan yang paling penting...jangan banyak berimajinasi.... soalnya novel lo gak bakalan kelar kalo terlalu liar!!!! CAMKAN ITU!!! harus ada batasan kalo gak nyesel novel lo gak terbit terbit.

Bicara NOvel Fantasi Gw

anehnya, bicara tentang novel fantasy... gw gak bisa lepas dari cerita yang sebelume padahal gs dah bosen banget n pengen cari tema lain. masalahnya adalah gw takut ini juga bakal terulang lagi. mentok di tengah jalan..... kapan kelarnya?????

OK. untungnya... hari ini yang katanya gw lagi males, eh dapet postingan dua hahahahahaahhahahahahaha

Lagi Males nulis novel petualangan fatasy

Akhirnya kena sindrom males nerusin novel sendiri. berhubung lagi bolak-balik jakarta-tegal, akihrntya terbengkalai. nulis juga asal ke isi blognya... sebeeelllll

wah, gimana nich , ada saran gak dari pembaca biar semangat lagi,,, padahal novel fantasi lokal dah bermunculan.... kejaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr

310Corner



Monday, December 21, 2009

310Corner



Friday, December 18, 2009

310Corner™



310Corner™


One Thing Guys Hate about Girlfriends : Girls talk too much!!!
"Remember: If he hasn’t said a word in five minutes, it’s because he’s tuned you out and has no interest..."



Saturday, November 21, 2009

Novel Fantasi Lord of the Rings versi Tad Williams

Siapapun yang pernah membaca buku ini, akan menunjukan pada kita dua jenis pembaca novel fantasi yang paling menonjol yaitu; orang-orang yang menyerah ketika baru membaca seratus halaman pertama karena saking lambat alur ceritanya, kemudian yang lain, yang lebih suka pada penggambaran secara menyeluruh tentang kisah-kisah di dalamnya (tipe pembaca yang keras kepala), akan terus membacanya hingga habis, menikmati kisah epic fantasy yang harus benar-benar “menenggelamkan dirinya lebih dalam”.

Judul : The Dragonbone Chair (Memory, Sorrow, and Thorn)
Penerbit : DAW Trade
Pengarang : Tad Williams
Tahun : 2005
Genre : Novel Fantasi
Tebal : 672 Halaman
Bahasa : Inggris
ISBN-10 : 0756402697

Plot cerita yang disuguhkan memang bukan barang baru dan terkesan pasaran— tokoh jahat tak terkalahkan kembali dari kematian dan bangkit untuk membalas dendam—seorang pahlawan dari ras bukan manusia yang misterius, bertugas menemukan jimat untuk menghentikan kehancuran dunia atau setidaknya kekacauan tidak menjadi lebih buruk—tokoh perempuan cantik nan awet muda yang serbatahu, kemudian ada tokoh raja yang terpuruk oleh kekuatan hitam yang membelenggu kerajaannya, dan segala macam benda-benda aneh yang superajaib. Yang patut dicatat dari semua hal-hal klise tersebut adalah; seorang Tad William mampu menjadikan cerita klise menjadi semacam cerita orisinal yang sangat sulit ditebak ketika memasuki bab-bab akhir.

Ceritanya pada dasarnya sama seperti dalam kebanyakan fantasi lainnya sejak kemunculan trilogi Lord of the Rings.

Bangunan dunia dalam cerita ini cukup baik. Dunia Osten Ard sangat mendetail dan dibangun senyata mungkin. Seluruh penduduk tidak semua berbicara dalam bahasa yang sama, atau memiliki agama yang sama, atau bergaul dengan satu sama lain. Penulis tidak menggunakan cara lama dengan menyelipkan karakter kurcaci, elf atau goblin yang begitu sering ditemui dalam cerita-cerita lain semacam itu. Sebaliknya, kita mendapatkan ras baru yang pada dasarnya sama, tapi dengan beberapa perbedaan. Begitu juga karakter tokohnya digambarkan sangat detil, hingga kita bisa menduga kedua hal tersebut yang membuat alur ceritanya menjadi lambat. Gaya bercerita semacam ini mengingatkan kita pada Lord of the Rings, yang jujur saja, saya pribadi kurang menyukai dan benar-benar menyerah menghabisi itu buku.

Karakter yang sangat banyak tentu saja membuat pembaca menjadi bingung mengingat nama-nama yang berseliweran dengan time setting yang berubah-ubah. Seperti tokoh Simon, protagonis utama, tumbuh dan berubah dalam waktu yang agak sulit untuk diikuti. Cerita berlanjut secara logis memang, tapi kadang-kadang sulit untuk mengikuti alurnya. Nama-nama orang dan tempat-tempat yang eksotis dan unneededly sulit untuk diucapkan. Namun jika Anda termasuk pembaca yang senang mendapat imaginasi dari seorang pendongen ulung, mungkin buku karangan Williams inilah yang patut Anda coba untuk dikoleksi di rak buku. -shel99&Nathan-

Thursday, November 19, 2009

BAB 5. Sang Pewaris

Setelah berdiam cukup lama, Kakek Holle menoleh dan mengangkat tangannya menghadap jendela yang langsung tertutup detik berikutnya.

“Sudah subuh,” katanya kembali menoleh ke Villael. Sambil mengangkat batu bulat yang sudah kembali dalam genggamannya, dia melanjutkan, “nanti pagi, Panglima Mozilla akan mengajarkan bagaimana menggunakan batu ini untuk membuka atau menutup pintu dan jendela, bukan?”

“Benar,” jawab Villael.

Tapi dia tidak beranjak dari duduknya. Matanya terpancang mengikuti gerakan meja seperti pada saat Kakek Holle mengetuk dan mengeluarkan kotak berisi belati. Ada perasaan yang sangat sulit untuk diabaikan saat itu. Keinginan untuk memiliki dan padanya-lah dia ingin berlindung dari ancaman Doggoll. Meski harus sedikit merendahkan dirinya, toh dia masih ingat betul bagaimana belati itu menyelamatkannya berulangkali saat diskaratt.

“Kakek Holle,” katanya setelah memutuskan untuk bertanya, “apa itu artinya, bahwa belati itu bisa membinasakannya?”

“Kita tidak akan membicarakan bagaimana caranya membinasakan Doggoll,” jawab Kakek Holle.

Meskipun nada bicaranya masih cukup tenang, tapi Villael bisa mendengar penekanan yang dipaksakan pada kata “tidak”. Dan pernyataan itu membuatnya ingin tahu lebih banyak, hingga dia tetap bergeming di atas kursinya. Berusaha menghindari tatapan mata Kakek Holle yang berkilat beberapa kali, kedua kaki Villael secara misterius kesemutan dan harus menundukkan kepala untuk meremas betisnya.

Tentu saja Kakek Holle menyadari koneksinya terputus saat jeda cukup lama ketika menyimpan belati ke tempatnya semula.

“Istirahatlah,” katanya, yang lebih terdengar seperti memerintah. “Belum saatnya, kukir—”

“—Tapi ini mendesak!” potong Villael yang sama sekali tidak berniat menaikkan intonasi suaranya, “maksudku, Anda percaya dengan ancaman Doggoll, dan bukankah mempertimbangkan belati ini sebagai satu-satunya cara untuk membunuhnya cukup masuk akal?”
“Dan bukankah sudah jelas!” kata Kakek Holle, berdiri dan membelakangi Villael. “Setidaknya aku lebih tahu daripada apa yang kaupikirkan Villael, bahwa belati ini, sekali lagi, bukan untuk membunuh tapi untuk mempertahankan diri dari serangan.”

“Tapi itu sebelum, sebelum belati ini menyerap kekuatan hitamnya.”

Villael mulai gelisah hingga harus mendebat dan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya, paling tidak ada sesuatu yang membuatnya lupa bahwa dirinya sedang dalam ancaman besar.

“Lalu kaukira aku sanggup membunuhnya setelah seumur hidup berlatih, mencaritahu kelebihan dan kelemahan Doggoll?” kata Kakek Holle agak marah. Meninggalkan ketenanganya, dia berbalik badan dan mengisyaratkan bantahan dengan jari telunjuknya. “Tidak! Tidak cukup dengan bertambahnya kekuatan kita, karena saat itu kekuatan Doggoll bertambah sepuluh kali lipat!”

“Jadi, tidak ada yang bisa kita lakukan?” tanya Villael menantang.

“Kita hanya berharap perlindungan Zetya tetap berfungsi semestinya,” kata Kakek Holle. “Selebihnya, kita tetap berlatih seperti biasa hingga kau dan yang lainnya siap mengikuti ujuan sesungguhnya enam bulan ke depan, menjadi prajurit Magmorian.”

“Tidak!” teriak Villael serba salah. “Maksudku, kita berlatih, tapi kita tidak bisa selamanya mengandalkan perlindungan Zetya.”

“Villael, perlindungan ini telah menyelamatkan kelangsungan keturunan Zetya, hingga detik ini.”

“Kurasa, tidak setelah Doggoll berhasil membangun pasukan Shadyzo.”

Suasana berubah hening. Villael merasa, kali ini dia berhasil membuat Kakek Holle berfikir, setidaknya dia menduga demikian, bahwa kemungkinan perlindungan Zetya jebol akan langsung mengakhiri keturunan Zetya tidak lama lagi, hanya menghitung sampai kapan gerhana matahari akan terjadi.

“Baiklah,” kata Kakek Holle akhirnya. “Tidak bijaksana seandainya aku masih berpura-pura seolah itu bukan ancaman serius. Ya… pasukan Shadyzo bias menembus pertahanan kita.”

Tuesday, November 3, 2009

BAB 4. Kisah Belati Perak

Dan mendadak sambaran petir berkilat ganas di langit gelap, diikuti gemuruh memekakan telinga, mengantar tetesan air menjadi guyuran hujan lebat. Villael masih merasakan kegelapan yang samar, hingga yang terlihat sungguh tidak masuk akal. Tongkat batu mengambang dalam gerakan lambat dilatari tetesan besar air hujan. Tubuh-tubuh tak dikenali melayang seperti anai-anai. Teriakan mengumpat dan ketakutan memenuhi udara basah berbau apak tanah. Tapi tubuh Villael masih terasa padat menyentuh tanah, sakitnya masih terasa menguliti, dan bayangan berlarian terpetakan di keremangan lorong berliku…

Dua perempuan tergesa mengambil tempat duduk di sebuah ruang bundar. Berhadap-hadapan mengamati lembaran kulit hewan penuh dengan goresan miring tulisan tangan. Mereka serius, membalik satu persatu lembaran itu seolah rencana mereka mengalami kebuntuan dan gagal. Peluh membuat gaun gelap dan terang semakin melekat di tubuh langsing mereka. Salah satu dari mereka memanggil dengan gelisah. Menjejak tidak sabar lantai hitam sewarna tanah. Ya, ruangan itu dikelilingi tanah. Dinding atap terlihat tidak rata namun keras. Perabotan dan kandil yang menggantung tidak seindah bentuknya. Tak terawat dan berkarat. Hanya rak penuh buku yang tampak berguna dan baru saja tersentuh tangan-tangan mereka.
“Grok!”

Bulat kecil seukuran kentang raksasa muncul dari lantai. Bertangan, berkaki ringkih namun tak berwajah. Mendekati pemanggilnya dengan wajah, entahlah wajah mahluk itu sekeras batu kali berkeropeng. Garis-garis alat inderanya serupa dengan jahitan kasar penyulam bodoh. Tidak halus dan membuatnya tampak jelek mengerikan. Hanya berdiam diri menunggu perintah dari tuannya.

“Villael dalam bahaya. Grok, selesaikan tugasmu. Secepat mungkin membuat lorong menembus perlindungan Zetya.”

“Tolong, tunjukkan saja lorong ke gua hutan Gorian. Dari sana aku bisa mengirim Panah Pesan ke saudara-saudaraku.”

“Tidak, Doggoll tahu gua itu persembunyianku. Gorzada berjaga-jaga di sana! Beruntung Doggoll tidak tahu lorong lain yang langsung tembus ke kamarku dan ibuku. Di bawah sarang Doggoll sendiri.”

Dia tersenyum puas, seolah lorong-lorong itu berhasil mempermalukan Doggoll.

“Tapi Grok dan teman-temannya butuh waktu yang cukup lama! Hutan argenus cukup jauh—sangat jauh!”

“Grok. Berapa hari lagi lorong itu selesai?”

Suara seberat kepala kentangnya bergumam, “Lima belas.”

Seiring jejakkan kaki, Grok seolah hanyalah bayangan padat yang menembus dan berbaur dengan lantai tanah. Dia menghilang, berkumpul dan bergumul melanjutkan tugas mendesaknya. Menggali lorong bawah tanah. Lima belas hari lagi…

“Aku tidak sabar lagi.”

Perempuan bergaun sutra putih berdiri. Menyambar busur panah dan memilih satu di antara empat lorong untuk dilewati. Dia bergerak, tapi perempuan berjubah hitam dengan belati perak, sigap menghalanginya.


“Vellia… Gladielle…”

“Oh, rupanya dia hidup lagi…”

Tapi Vellia tetap bersihkeras, dia ingin pergi.

Cahaya hijau menyilaukan memenuhi ruangan ketika Gladielle menahan serangan tiba-tiba anak panah Vellia.

“Jangan ceroboh!”

“Tidak Gladielle. Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Berminggu-minggu membiarkan saudara-saudaraku tanpa kabar dariku, aku tidak bisa!”

“Apa kau lebih tega melihat wajah mereka menangisi ruhmu yang diskaratt? Mati di tangan Doggoll, begitu?”

“Tapi—”

Suara isak tangis Vellia meledak, keluar dari bibirnya yang tipis. Terpuruk di lantai dengan sorot mata penuh permohonan. Gladielle menarik bahu Vellia, mengajaknya untuk kembali duduk sambil mendaraskan penghiburan.

“Dua minggu bukan waktu yang lama dan kita akan tetap di sini. Mungkin ada informasi penting lain yang bisa kuperoleh. Sebelum semuanya terlambat.”

Seperti berada dalam kuali besar berisi air yang mulai mendidih, wajah Gladielle dipenuhi bulir-bulir keringat. Dia lalu menggigil, jatuh dan tersedak ketika ruangan itu seolah dibanjiri air yang entah datang dari mana. Pemandangan itu mulai kabur dan hanya ada kilatan-kilatan bening kemerahan yang semakin mencekat hembusan nafas.

“—oh Mampus! dia mengeluarkan darah!”

Lengkingan suaranya yang kelewat bersemangat, tampaknya mengundang kemarahan seseorang dari arah luar. “Jangan dimasukkan kepalanya!”

Villael tersedak dan membuka matanya, mendapati Gilly melompat-lompat kegirangan. Dia berada di sebuah kamar penuh asap kebiruan. Sebagian tubuhnya terendam dalam bak mandi berisi air keruh, penuh dengan sampah. Namun dia langsung menyadari ketika kotoran yang dikira sampah, ternyata daun-daun layu, bunga yang membusuk, ranting serta kulit tumbuhan obat-obatan. Dia sedang berendam dalam air ramuan. Kulitnya pucat, tapi luka-luka yang diderita sudah terlihat samar. Dan aroma dari cawan-cawan perak di atas meja mungkin saja yang membuatnya berimajinasi tentang Gladielle dan Vellia.

Setelah kesadarannya cukup pulih untuk mengenali ruangan itu, Villael dikejutkan oleh gundukan pakaian kumal tergopoh-gopoh menerjang gumpalan asap. Sepasang tangan keriput terjulur dari gundukan itu, dan Villael sadar, yang tadi berteriak marah ternyata Bibi eMilles.

“Syukurlah. Ini berita gembira,“ kata Bibi eMilles yang wajahnya tersembunyi saking bongkoknya. “Gilly, jangan pegang-pegang cawan itu!”

“Apa yang terjadi?” tanya Villael.

“Oh, akhirnya kau siuman juga—jangan bangun dulu, kau telanjang, Villael,” Bibi eMilless mengambil selimut dan handuk kecil dari lemari di sudut ruangan. “Pakai handuk ini. Tapi jangan banyak bergerak, kau masih terlalu lemah. Boboll akan datang tidak lama lagi—Gilly, panggil Boboll kemari dan jangan masuk-masuk sini lagi!” dia kemudian menuang air ke dalam cawan yang mengepulkan asap kebiruan hasil bakaran akar accure, hingga benar-benar padam. Setelah meletakkan pakaian bersih di atas meja, dia berkata, “aku akan mengabari Kakek Holle dan Panglima Mozilla, mereka sangat kuatir. Tapi kurasa mereka belum bisa menjengukmu. Kecuali kau sudah cukup mampu berjalan—”

“—Mereka… kenapa? Di mana?”

“Mereka… baik-baik saja,” kata Bibi eMilless, bibirnya terlihat pecah-pecah ketika mendongak, tapi suaranya masih sangat jelas. “Hanya ada beberapa tulang yang retak. Makanya aku heran kenapa justru, kesembuhanmu lebih cepat daripada mereka berdua.”

Pintu kamar menjeblak terbuka tidak lama kemudian. Boboll masuk menghampiri Villael. Mengangkatnya dari bak mandi dan menyelimutinya dengan hati-hati. Dia tampak khawatir, namun senang melihat kondisi Villael sudah bugar, bahkan sudah bisa berdiri. “Hati-hati—aku tidak percaya ini. Kau hebat, sobat!”

“Oh, makasih,” jawab Villael. “Kau kelihatan—Boboll, apa yang terjadi denganmu?”

Ada banyak memar merah di wajah Boboll. Tapi dia menghindar dan segera menutup pintu setelah punggung bongkok Bibi eMilless menghilang, pergi menyeret bokong Gilly.

“Pakai ini,” kata Boboll, melempar pakaian dan langsung berbalik. “Aku sudah menyiapkan kamar supaya kau bisa langsung istirahat.”

“Aku baik-baik saja!” kata Villael yang memang merasa lebih baik dari yang pernah dia rasakan. “Kau kenapa?”

“Dikeroyok,” kata Boboll geram. “Serulingmu diambil Atilla. Tapi mereka tidak mau mengembalikannya.”

Villael mengenakan pakaiannya lebih cepat. “Oh. Biar aku yang memintanya kalau begitu.”

Boboll tampak gelisah, “tidak bisa.”

“Tapi aku bisa membuktikannya. Kakek Holle yang memberikan seruling itu untukku. Mereka tidak bisa mengelak lagi.”

“Villael, Atilla sudah mengukir namanya sendiri di serulingmu. Jadi—”

“—Tapi dia tidak bisa menggunakannya untuk mengirim pesan, kan? Hanya aku, Boboll?”

Boboll diam saja, lalu duduk sambil memainkan air bekas ramuan obat. “Kau salah—sebaiknya kau relakan saja. Mereka orang-orang menyebalkan. Tiga hari ini aku dibuat tidak bisa konsentrasi bermeditasi, berisik sekali caranya meniup seruling.”

“Tiga hari?” kata Villael bingung.

“Ya, Kakek Holle menyuruhku belajar meditasi. Dan mereka—”

“—Bukan itu. Aku sudah tiga hari, pingsan?”

Boboll salah menduga dan langsung mengangguk salah tingkah. Villael memejamkan matanya, menghirup sisa-sisa aroma wangi akar accure. Jadi, tiga hari ini dia sudah melewatkan banyak hal di Rumah Besi. Dan serulingnya sudah berpindah tangan. Tidak rela, tapi akan ada lain waktu membuat perhitungan dengan Atilla. Lalu bagaimana dengan bayangan dua perempuan yang nyata sekali adalah Gladielle dan Vellia? Dia mempertajam ingatannya akan ruang bawah tanah di mana mereka berada. Tidak salah lagi, mereka masih hidup. Tentu ini akan menjadi berita yang mengejutkan sekaligus menggembirakan untuknya, terlebih bagi Boboll. Namun secara bersamaan, rasa takut dan ngeri menyerangnya ketika tahu dirinya sedang dalam bahaya, seperti apa yang diucapkan Gladielle. Meskipun demikian, dia berusaha menahan keinginan menceritakan penglihatan itu sementara dia tidak tahu apa yang terjadi selama pingsan.

Villael merebahkan tubuhnya ketika tiba di atas ranjang di ruangan lain. Kamar itu cukup luas dan memanjang. Berderet ranjang besi tampak kosong. Jendela-jendela persegi sengaja terbuka agar udara luar masuk ke dalam ruangan, dan dari sana terlihat gubuk bekas istal kuda.

“Sudah agak siang, udaranya jadi… panas,” kata Boboll segera setelah menyadari Villael mencium bau kurang sedap. “Aku tutup saja gordennya, ya?”

“Tidak apa,” kata Villael. “Boboll, aku ingin tahu, yang kuingat terakhir kali, terjadi keributan.”

“Yeah, “ kata Boboll, tetap menutup gorden jendela. “Luar biasa!”

Villael menyingkap selimut dan duduk terlalu cepat hingga Boboll mengira ucapannya tidak berperasaan.

“Maksudku, begini… sungguh! Kau luar biasa!”

“Luar biasa apanya? Aku babak belur!”

Boboll merebahkan lagi tubuh Villael dan menyodorkan segelas Daicco hangat. Kemudian dia membakar kayu brice, membuat ruangan dipenuhi aroma dingin menenangkan. “Tapi kau kan tidak tahu setelah itu. Kau membuat mereka semua melayang. Jangan menyela dulu, ini belum seberapa—Kau, entahlah aku melihatnya seperti bukan kau. Bahkan aku sempat berpikir kalau kau yang membuat petir-petir itu. Mengerikan. Nah, setelah ambruk, kau langsung bangkit dan, boom!

Boom?” ulang Villael reflek. “Apanya yang boom?

Berbisik dramatis, tangan Boboll memperagakan sesuatu yang tiba-tiba lenyap. “Mereka hilang.”

Tertegun. Benarkah itu yang terjadi? Apakah Boboll hanya sedang berusaha menghiburnya?

“Kau bercanda?”

“Oh, aku memang suka bercanda. Tapi tidak pernah suka memujimu,” kata Boboll jujur. “Kau bisa menanyakannya sama siapapun yang hadir di sana saat itu. Bahkan Gilly bisa cerita begitu detil—tapi jangan sekarang soalnya dia masih marah lantaran ikut menghilang. Baru sehari kemudian dia ditemukan pingsan, tersangkut di atas pohon. Dia tinggal di dapur kalau kau mau bukti. Tapi besok saja kalau dia sudah lupa. Oke?”

“Dia… jadi Gilly tinggal d... di sini? Di Rumah Besi?”

Mendadak muka Boboll semerah batu bata. Bagaimana tidak, kecuali karena keajaiban, Gilly hanya akan membuat onar dan mengganggu latihan mereka. Gilly tipe gadis yang susah ditebak. Gangguan mental yang dialami membuat emosinya labil. Sebentar marah, sebentar tertawa dan tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan. Hanya satu yang membuat mereka bisa menerima kehadiran Gilly. Dia tidak pernah bersedih saat mereka mengolok-oloknya sekalipun.

Boboll akhirnya mengangguk, dan menyambar minuman yang masih dipegang Villael.

“Minta sedikit Daicco-nya. Aku selalu gelisah kalau membicarakan bocah idiot itu,” katanya sengit, menenggak Daicco sampai habis. “Nah, awalnya sih cuma karena Bibi eMilless terlalu khawatir dengan lukanya. Makanya, Bibi eMilless menyarankan beristirahat di sini sampai sembuh. Dan Kakek Holle mengijinkannya. Tapi, aku sudah menduga ini sebelumnya. Gilly berhasil mengelabui Bibi eMilless—dia langsung sembuh satu jam kemudian. Dan kau tahu, apa yang dilakukannya setelah itu?”

“Apa?” tanya Villael, meski tampaknya sudah bisa menebak.

“Dia menggali kuburan di depan rumahku, dasar sinting!” kata Boboll emosi. "Dia pikir kau sudah meninggal."

Hening sejenak. Pantas, rupanya Gilly berusaha menenggelamkan kepala Villael di bak mandi. Dia masih marah, pikir Villael.

“Hmmm, lalu siapa yang datang kemudian,” katanya sambil mengingat-ingat akhirnya. “Sepertinya aku mendengar orang-orang berkuda.”

“Oh mereka utusan dari kerajaan. Datang lebih awal lantaran ingin menyaksikan minat orang-orang yang mendaftar. Tapi mereka harus kecewa dan balik lagi. Karena setelah kejadian itu, yang tersisa cuma—oh kau pasti tidak ingin mendengarnya. Atilla dan kawan-kawan... dan beberapa cewek, entahlah.”

“Aku pasti sudah mengacaukannya.”

“Bukan. Bukan kau, tapi ini gara-gara ayahnya—”

“Ssst,” potong Villael mendadak.

Gwenolla sudah berdiri dan tampaknya terlanjur mengetahui lanjutan ucapan Boboll. Dia mendekat, dan Villael melihat gerakannya sungkan dan merasa bersalah. Mulut Boboll berkedut seperti berkata maaf, tampak seperti ayah Villael yang bisu, karena tidak ada suara yang terdengar.

“Villael,” Gwenolla memulai, matanya bengkak dan tubuhnya yang kekar jadi sedikit kempes. Rambutnya yang panjang hitam, lecek seperti berkarat sejak tinggal di Rumah Besi. “Aku sungguh minta maaf. Kalau saja ayahku tidak memulai… Ini semua—”

“—kau kurusan,” kata Villael kikuk. Dia kemudian menambahi setelah melihat Boboll tersedak ganjil. “Maksudku, ini tidak ada hubungannya denganmu. Ayahmu, tentu saja melakukannya karena khawatir.”

“Aku sudah menduga kau akan bilang begitu,” kata Gwenolla tersenyum terpaksa. Suaranya terdengar bergetar ketika menyorongkan sebuah gulungan kertas berpita merah ke pangkuan Boboll. “Kalau tidak keberatan, tolong sampaikan permintaan maafku sama Panglima Mozi… lla.”

Dia langsung lari begitu isak tangisnya meledak. Boboll mengangkat bahu seolah menepis tuduhan sebagai penyebab perubahan sikap Gwenolla yang terlalu drastis. Namun Villael mengenalnya dengan baik, tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Gwenolla selain gagal menjadi prajurit handal. Dan melepas kesempatan tinggal di Rumah Besi, sama saja memupuskan cita-citanya.

“Gwenolla, tunggu!” teriak Villael, mengejarnya hingga beradu pandang di ambang pintu. Meskipun Gwenolla berusaha keras menyembunyikan kegetirannya, Villael bisa merasakan perang batin yang sedang berkecamuk lewat mata Gwenolla yang seharusnya biru cemerlang. “Akhir-akhir ini, banyak kejadian tidak mungkin yang aku alami. Dan, aku akan sangat senang seandainya kau bisa membantuku memecahkannya...”

Villael mendapat kesan Gwenolla sedang menunggu dalam diamnya. Jadi dia melanjutkan meski agak ragu. “… sebelum siuman, aku… sepertinya melihat Gladielle dan Vellia.”

“Apa!” teriak Boboll, berdiri di tengah-tengah hingga Gwenolla terdesak ke sisi pintu. “Oh, maaf—“ ia menyeret Villael, mendudukkannya di atas ranjang seolah ia sudah siap mendengar kenyataan seburuk apapun. “Kau melihat mereka?… tapi masih hidup, kan?”

“Masalahnya adalah,” kata Villael, beranjak berdiri, tegang melihat Boboll dan Gwenolla menatap was-was. “Aku sendiri kurang... tidak, mereka terlalu nyata. Mereka berada di ruang bawah tanah. “

“Jadi?” tuntut Gwenolla yang sejenak melupakan pengunduran dirinya.

Keadaan yang sudah kembali normal dalam takaran Villael setelah begitu sering tertimpa masalah, membuatnya lebih berani dan lancar menceritakan penglihatannya. Tentang keberadaan Gladielle dan Vellia, yang setiap kali menyebut nama yang terakhir, Boboll terlonjak kegirangan. Lain lagi dengan Gwenolla, meskipun yang terjadi adalah berita menggembirakan, wajahnya hampir seraut dengan ekspresi Villael. Mereka selamat adalah satu hal, sementara bahaya yang sedang mengancam adalah harga mahal yang harus Villael bayar.

“Oke. Kalau begitu kira-kira lorong mereka tembus di mana?” akhirnya Boboll bertanya pada siapapun yang otaknya masih menyisakan ruang kosong untuk menjawab. “Hei, hutan argenus cukup luas, tolong!”

“Kau yakin itu bukan mimpi, khayalan atau apalah namanya?” kata Gwenolla memastikan.

Sebenarnya Villael juga tidak terlalu yakin dengan kemampuannya melihat jarak jauh. Namun demi tetap mendapat kepercayaan mereka, bahwa dia tidak sedang mengarang cerita yang lebih heboh, tidak ada jalan lain selain mengatakan, “aku melihatnya, saat itu juga.”

“Tapi bagaimana mungkin?” kata Gwenolla, sebelum Boboll berhasil membuka mulut. “Bahkan Para Penunjuk butuh latihan yang tidak singkat untuk bisa melihat kejadian yang sedang berlangsung?”

“Mereka tidak benar-benar melihat, hanya membual demi sedikit pujian dari Doggoll,” kata Villael jijik. “Lagipula kau sendiri yang bilang, kan? Apapun menyangkut Doggoll menjadi mungkin.”

“Masalahnya, kemampuan melihat jarak jauh tanpa harus melatihnya, cuma—” kata Gwenolla terputus ketika terdengar denting logam beradu di bawah mereka. Tampaknya suara itu berasal dari orang-orang yang sedang berlatih menggunakan pedang di aula tanding—aula untuk berlatih senjata.

“Cuma apa?” tuntut Villael, seolah tidak ingin diinterupsi oleh suara kelontangan pedang jatuh.

Gwenolla berjalan hilir mudik sebelum berani menjawab, “sayangnya aku tidak yakin. Maaf, tapi aku akan cari tahu, hanya ingin memastikan dugaanku… salah.”
Mereka diam cukup lama, larut dalam pikiran mereka masing-masing. Mencari dan mencerna kemungkinan-kemungkinan yang paling mustahil yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya.

“Kira-kira lorong mereka tembus di mana!” tuntut Boboll, tidak tahan dengan ketegangan yang mereka ciptakan sendiri.

Villael dan Gwenolla mengerling secara bersamaan kepadanya.

“Aku cuma khawatir,” kata Boboll menunduk, “maaf.”

Dan Villael tidak pernah merasa berhak memaafkan kekhawatiran Boboll yang berlebihan. Sama halnya dengan Boboll, dia juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Dia tahu, sekecil apapun berita tentang Vellia akan sangat berpengaruh bagi Boboll. Terbukti ketika mereka akhirnya memulai masa pelatihan bersama, Boboll seringkali menyerah melanjutkan meditasinya, hanya sekedar duduk termenung, bergumam di mana kemungkinan lorong tersebut tembus. Alasannya semakin beragam hari-hari berikutnya, mulai dari jeritan Gilly terdengar seperti teriakan Vellia, lalu rintihan menyeramkan sering terdengar menyuruhnya bermeditasi di sekitar hutan argenus. Lain hari, dia sangat yakin dalam meditasinya, dia mendapat firasat kalau Vellia akan muncul di kandang kuda, meskipun Gwenolla secara terang-terangan mengatakan firasat itu datang karena Atilla dan kroni-kroninya menaruh kotoran kuda di depannya. Dia juga menjadi mudah senewen ketika harus bersebelahan dengan Atilla yang sebentar-sebentar meniup seruling. Saat berlatih pedang, Boboll bahkan mendapat begitu banyak luka lantaran terganggu teriakan Gilly mengutuk Villael mati, yang di telinganya terdengar seperti sedang memanggil Vellia.

Tidak demikian dengan Villael. Dalam usahanya mendapatkan ketenangan, dia justru merasakan luapan emosi yang entah kenapa membuatnya teringat pada sosok sang ayah. Dia belum mengetahui kabar ayahnya sejak kejadian itu. Padahal tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk menjaganya, terlebih setelah warga desa membenci Villael seperti mereka membenci pengkhinatan Sillael. Bagaimanapun juga, saat meninggalkannya, kondisi sang ayah masih sangat labil sejak Sillael memutuskan pergi. Mengingatnya, membuat Villael sangat menyesal pernah menerima ijin untuk mendaftar Angkat Pedang. Parahnya lagi, hingga kadangkala Villael ingin mengutuk, baik Boboll dan yang lainnya sengaja menghindar ketika dia menanyakan kabar ayahnya. Begitu juga dengan Gwenolla yang menemuinya hanya karena tertarik membahas penglihatannya, dan langsung kabur sebelum Villael berhasil menyelesaikan kalimatnya seputar topik keluarga. Semakin lama dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini membuatnya hilang kesabaran. Membuatnya begitu kesepian di tengah suara bising saat berlatih memainkan pedang. Terlintas di benaknya keinginan menyelinap pulang, dan sialnya, penciuman Boboll mendadak setajam anjing hutan. Rencana Villaell selalu terendus, dan Boboll akan langsung melapor ke Panglima Mozilla atau Kakek Holle untuk menghentikannya.

Sekarang kesempatan itu tiba untuk kesekian kalinya ketika dipanggil ke ruangan Kakek Holle minggu berikutnya. Meskipun demikian, dia tidak berharap banyak kemungkinan Kakek Holle memberinya sedikit kesempatan untuk menyelipkan pembicaraan tentang ayahnya. Mereka sengaja memilih waktu tengah malam agar lebih tenang, sementara semua peserta Angkat Pedang yang kini secara sah disebut murid, sedang bermeditasi di ruang tenang.

Ruangan Kakek Holle terletak bersebelahan dengan aula tanding. Ketika Villael tiba di sana, pintu ruangan setebal satu kaki terbuka dengan gerakan pelan ke atas. Getarannya begitu halus, hingga sekilas dia tidak yakin kalau seluruh bagian bangunan Rumah Besi terbuat dari pasir besi dengan lapisan perak di dalamnya. Ruangan itu begitu kokoh, hingga memasukinya serasa berada dalam gua berbentuk kotak. Lantainya terasa begitu dingin meski terdapat perapian yang menyala, menimbulkan bayangan perabotan tampak bergoyang melambai. Suasananya sangat tenang. Hanya ada suara denting pelan dari dua pedang kembar yang saling beradu, tergantung di dinding ruangan. Dan baru disadari olehnya dentingan itu seirama dengan jentikan jari telunjuk Kakek Holle.

Kakek Holle yang bertubuh jangkung sedang berdiri membelakangi Villael, menghadap jendela sambil menikmati wanginya bunga argenus kiriman angin hutan yang mendesir pelan. Sejenak Villael ikut merasakan ketenangannya, belum berani mengusik. Saat Kakek Holle berbalik badan dan menuju ke arahnya, Villael sama sekali tidak melihat tanda-tanda kerusakan parah pada tulang-tulangnya, seperti apa yang dikatakan Bibi eMilles. Dia sudah sembuh total, tidak seperti Panglima Mozilla yang harus menggunakan tongkat untuk berjalan.

Di depan Villael terdapat kursi bulat dan meja bergaris-garis seperti susunan batu bata berukir. Tidak ada apapun di atasnya, kecuali batu bulat sebesar bola mata.

“Duduklah,“ kata Kakek Holle, suaranya terdengar tengang dan dalam.

Villael duduk diam dan hanya menunggu. Kakek Holle masih berdiri, mengambil batu bulat di atas meja dan menjentiknya. Sekilas ekor mata Villael mengikuti luncuran batu, mengenai tonjolan dinding dan memantul. Gerakannya sangat cepat hingga dia baru menyadari tangan Kakek Holle sudah memegang batu yang sama. Pintu langsung tertutup pelan.

“Gwenolla pasti sudah memberitahumu kenapa dipanggil kesini,” kata Kakek Holle, membuyarkan rasa takjup berlebihan yang disembunyikan dengan baik oleh Villael.

“Tentang belati,” jawab Villael datar.

Terakhir kali dia bertatap muka dengan Kakek Holle terjadi satu tahun yang lalu, ketika dihadiahkan seruling besi. Tapi kini dia benar-benar berhadapan dengannya, begitu dekat, hingga bisa melihat birunya mata Kakek Holle. Rambut dan alisnya berwarna putih dengan hidung yang tampaknya patah sejak masih muda.

“Dan kau tahu belati macam apa yang kau dapat?” Kakek Holle bertanya seolah Villael lebih tahu darinya.

Villael menggeleng, dan suasana hatinya mendadak gelisah.

Kakek Holle kemudian duduk dan mengetuk meja. Villael tersentak, dan siap meloncat karena permukaan meja bergerak aneh. Muncul kotak-kotak seukuran batu bata, saling bertukar posisi beberapa saat lamanya, dan ketika meja kembali seperti sediakala, di atasnya sudah ada satu kotak berukir yang lalu terbuka dengan sendirinya.

“Aku harap kau siap mendengar banyak hal. Karena ini masalah serius. Dan tolong, singkirkan pikiran-pikiran lain, apapun itu.”

Tidak salah lagi. Villael tidak punya kesempatan secuilpun. Bahkan Kakek Holle bisa membaca pikirannya, entah tebakan atau memang ekspresi Villael yang terlalu mencolok, terlihat tidak peduli dengan urusan belati. Dan sekilas Villael melihat mata Kakek Holle berkilat cemerlang menembus matanya, seolah sedang mengusir pikiran lain tentang ayahnya.

“Sebelumnya,” kata Kakek Holle lagi, mengambil belati berwarna hijau dari dalam kotak. “Aku ingin pastikan kau tidak bosan mendengar kisah Zetya Illaya di masa lalu. Belati ini adalah belati pertama buatan Zetya…”

Dia berhenti sejenak, mengamati reaksi Villael. Dan Villaei tanpa menyadarinya langsung memantapkan duduknya.

“… belati yang sama yang aku buat. Tapi tentu saja belati ini menjadi begitu istimewa. Zetya membuatnya sepenuh jiwa, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum penculikan Illeane terjadi.”

Kakek Holle menjelaskan sambil memutar belati, yang selalu berhenti dan menunjuk ke arah barat.

“Saya mengambilnya dari perut Doggoll,” ucap Villael, hampir sama persis saat mendebat dugaan Gwenola. Tapi kali ini justru terkesan menyangkal pernyataannya sendiri ketika yang berbicara di depannya adalah orang yang seumur hidup bergulat dengan senjata tajam.

“Membahas Kyanat sama saja membahas Doggoll sekarang ini. Bahkan Doggoll jauh lebih berbahaya. Kekuatannya berlipat-lipat, karena hidupnya hanya digunakan untuk meningkatkan kekuatan hitamnya sampai benar-benar mampu melenyapkan kita, keturunan Zetya Illaya. Dan apa yang terjadi dalam diskaratt-mu—aku percaya itu—adalah fenomena aneh, yang sayangnya hanya Doggoll sendiri yang bisa menjawab.”

“Tapi kenapa,” tuntut Villael. “Belati yang sama ada di tubuh Doggoll? Saya tidak mengerti.”

Kakek Holle tersenyum puas.

“Belati ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk membunuh, melainkan untuk mempertahankan diri. Kau bisa menerkanya dari bahan yang digunakan… ini, bukan terbuat dari perak. Tidak seperti kebanyakan senjata yang lain, bahkan bangunan Rumah Besi sengaja dilapisi unsure perak… Nah, sayangnya tapi juga untungnya, bahwa Illeane ternyata salah mengartikan ketika Zetya memberikannya sebagai hadiah perkawinan mereka. Illeane menggunakannya untuk membunuh Kyanat. Begitu juga Kyanat, yang menganggap belati ini sangat berbahaya, mengira dibuat secara khusus untuk membunuhnya. Kyanat tidak berani mencabut belati yang menancap di dadanya dengan tangannya sendiri, justru menggunakan ilmu hitam.

“Dan ini adalah kesalahan fatal yang dia buat, karena rasa takut yang berlebihan. Kekuatan hitamnya, justru membuat belati ini semakin kuat dan berbahaya, semakin menembus dadanya dan akhirnya masuk ke tubuhnya. Ketakutannya bisa dimaklumi, karena Kyanat mengakui reputasi Zetya sebagai satu-satunya orang yang mahir membuat benda-benda pusaka dan keterampilan luar biasa menggunakan senjata pada zamannya. Dan baru kemarin aku menyadarinya… bahwa belati ini ternyata memiliki kemampuan menyerap kekuatan hitam, bahkan emosi pemegang atau pemiliknya akan mempengaruhi belati ini. Kau pernah melihatnya bukan? Ketika Doggoll benar-benar takut, belati ini mengeluarkan sinar kehijauan?”

“Benar, belati itu semakin terang saat dia teriak kesakitan,” jawab Villael mengingat kejadiannya, membuat perutnya mendadak mual ketika menyadari ruhnya benar-benar tersesat di dalam perut Doggoll.

“Bukan kesakitan. Tapi ketakutan yang luar biasa.”

Kakek Holle kembali memutar berkali-kali, selalu dan selalu belati itu berhenti menunjuk ke arah barat. Villael mendesah berat dan otaknya serasa dialiri pemahaman yang luar biasa terang hingga dia bisa menduganya tanpa harus bertanya. Arah barat adalah letak di mana desa Kyanathia berada. Di sanalah kekuatan paling hitam berkumpul, kekuatan Doggoll dan para Gorzada-nya.

“Nah, Kyanat sendiri tidak menyadari kekuatan yang dimiliki belati ini, bahkan hingga keturunannya yang terakhir, Dog—”

“—Tapi ini belum menjawab pertanyaan saya, ma…”

Villael memotong tiba-tiba hingga dia merasa perlu meminta maaf. Tapi Kakek Holle tersenyum dan menggoyang jari telunjuknya.

“Kenapa belati ini berada di tubuh Doggoll,” kata Kakek Holle. “Yang harus kau ketahui adalah, Kyanat selalu mewariskankan kekuatan hitamnya pada penerusnya yang sah. Termasuk—”

“Belati ini,” sambung Villael yakin.

“Tanpa dia sadari,” kata Kakek Holle menambahi.

BAB 3. Hari Angkat Pedang dan Prajurit

Sejak kejadian itu mereka mendadak dibanjiri pertanyaan warga desa seminggu penuh. Villael sampai hapal benar detil kejadiannya, bahkan saat-saat diskaratt yang seharusnya mengerikan menjadi cerita biasa baginya. Sementara itu Boboll lebih banyak menghindar. Villael tahu persis dan dia langsung mengalihkan topic ke kegiatan mereka menjelang hari Angkat Pedang. Sebagai balasan, ketika Villael merasa putus asa meyakinkan warga desa, tanpa rasa canggung Boboll mengajaknya membahas biri-biri yang sedang hamil tua.

Namun sekali waktu ketika tidak ada bahan omongan, mereka kembali mengenangnya, seolah dengan seringnya menyebut nama Vellia, ia akan muncul.

“Kau benar,” tiba-tiba suara Boboll menghentikan lantunan seruling Villael. Serempak dua puluh biri-biri Villael mengangkat kepala, mencari tahu biang kerok mana yang mengganggu kesenangan mereka, merumput sambil menikmati alunan lagu. “Harusnya aku tidak meninggalkan Vellia-ku sendirian di sana.”

“Maaf?” kata Villael bingung.

Dia mengira gua yang dimaksud Boboll adalah tempat di mana dia sedang mengedarkan pandangan, ke arah puncak gunung Gorian.

“Gua di dalam hutan,” kata Boboll. “Kau tidak benar-benar melupakannya, kan?”

“Oh,” jawab Villael menyesali. “Tentu saja tidak.”

“Ini semua—salahku.”

Villael pura-pura tidak mendengar, namun membiarkan Boboll berdengung semua salahku terus menerus membuat kuping Villael memerah.

“Mulai lagi, deh. Aku sudah sering mendengarmu mengigau tiap malam, menyalahkan diri sendiri tidak akan membuat Vellia-mu kembali. Dan kalau ada yang patut disalahkan, akulah orangnya.”

“Aku yang melarangmu mengirim pesan,” kata Boboll pelan, sambil menunduk memandang barisan semut yang terusik karena ulahnya memotong rute perjalanan mereka. “Sungguh manusia bodoh aku ini.”

Villael mendesah, percuma saja mendebatnya saat itu. Dan pemandangan di depannya menjadi jauh lebih menarik dari apapun yang keluar dari mulut Boboll. Salah satu biri-birinya lari kesurupan, memisahkan diri dari kawanan. Di punggungnya, seorang gadis kecil dengan gagah berani mengacungkan pedang kayu, meneriakkan “serbuuu” dengan lantang, hingga akhirnya biri-biri yang enggan diperlakukan seperti kuda perang itu mendadak mengerem. Gadis itu terlempar dan jatuh bergulingan sambil mengutuk biri-biri menjadi keledai dungu.

Villael tersenyum geli, sementara Boboll yang dari tadi masih menunduk menggerutu pelan.

“Aku memang bodoh,” katanya. “Pantas ditertawakan.”

“Kau tidak bodoh,” kata Villael bosan. “Sudah kukatakan berulang kali. Kalau dipikir-pikir kau justru melakukan tindakan yang paling waras seumur hidup. Aku… masih bisa bernafas sampai detik ini karena kau mencegahku, menyelamatkanku… dan aku tidak tertawa karena itu.”

“Tetap saja,” bantah Boboll. “Meninggalkan perempuan yang kucintai—cuma orang gila yang melakukannya!”

“Kalau gitu, kau tidak sendirian,” kata Villael, matanya terpancang pada gadis yang mendekat. “Masih ada Gilly.”

“Dia gila betulan!” teriak Boboll nyaring, tidak rela disamakan dengan gadis yang menelengkan kepalanya, seolah telinganya mendengar bisikan dari langit.

“Ada yang sedang membahas orang gila rupanya,” kata Gilly entah ditujukan pada siapa. Suaranya terdengar mengambang. Ia lalu mengambil tempat duduk di tengah, di antara Villael yang tersenyum ramah dan Boboll yang tampak enggan dekat dengannya. “Kau tahu, semalam Gilly mendengar Doggoll tereak-tereak, seperti orang gila—dari sana, segitiga setan itu.”

Terang saja Boboll mendengus keras, karena segitiga yang dimaksud Gilly adalah puncak gunung Gorian. Tapi Villael justru menggangguk, terkesan membenarkan. Bukan tentang segitiga setan, tapi teriakan kegelisahan Doggoll sejak peritiwa diskaratt-nya.

“Yeah,” kata Boboll memutar bola matanya. “Aku juga mendengarnya, setiap saat, malah.”

Villael tidak menanggapi serius pengakuan Boboll yang mengucapkannya hanya karena ingin Gilly enyah. Maka dia kembali meniup seruling, menutup matanya mencari ketenangan lewat alunan lagu dalam kegelapan. Menggantikan desiran angin dan hijaunya padang rumput yang membentang…

Kabar berita Vellia yang belum jelas, sejujurnya adalah kesalahannya, dan perasaan itu membuatnya merasa jijik pada diri sendiri. Hidup yang sekarang masih dia nikmati tidak lain karena keegoisannya membiarkan Vellia berjuang sendirian. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, dan dia harus menanggung rasa malu hingga tiba saatnya mendengar kabar berita Vellia, yang jauh dari kemungkinan selamat.

Mata Villael masih terpejam, dan di sela-sela penyesalannya yang terasa semakin melilit, gaung peringatan yang diucapkan Gladielle saat itu mengusik, menyeretnya lebih dalam ke kegelapan alam bawah sadar. Doggoll sedang merencanakan sesuatu… sesuatu yang tidak disadari penduduk desa Zenthia. Tapi kekuatan macam apa yang dimiliki pasukan Shadyzo hingga sanggup menembus perlindungan Setya Illaya, atau mungkinkah kekuatan sihir Doggoll bertambah kuat berlipat-lipat?

Ini tidak boleh terjadi, dan sebelum semuanya terlambat, tugasnyalah menyampaikan peringatan Gladielle. Dan itu tindakan yang mungkin saja bisa dia lakukan untuk menebus segalanya; penderitaan penduduk Zenthia, kehilangan Vellia, dendam dan tekad yang sama yang dirasakan Gladielle… melenyapkan Doggoll sampai ke akar-akarnya kalau perlu.

Ketenangan yang belum juga kunjung tiba, yang mustahil mendekatinya, justru terpecahkan oleh suara melengking di ujung padang rumput. Villael yang mengira Gilly masih duduk di sebelahnya, terbangun dari lamunan. Dilihatnya Gilly sedang menarik buntut dua ekor biri-biri sekaligus, membuat biri-biri lain yang sedang beristirahat siang bergerombol membentuk lingkaran, menonton kegilaan Gilly.

“Wapadalah!” seru Gilly. “Doggoll sedang merencanakan serangan bawah tanah, dan kalian keledai dungu, pastikan seret pengkhianatnya kemari!”

“Hidup Gillybelle!” teriak Boboll yang langsung dijawab Gilly dengan tangan mengepal.

Boboll tergelak memegang perut. Rupanya Gilly yang bercita-cita menjadi laki-laki sejak mengalami gangguan mental tidak senang dipanggil Gillybelle. Dan demi sedikit kesenangan, Boboll menggodanya dengan panggilan belle-belle. Villael tersenyum tertekan, namun sangat senang mendapati kenormalan Boboll telah kembali pulih.

“Villael, ku pulang dulu,” kata Boboll. Berdiri sambil membersihkan rumput kering dari pantatnya. “Aku tunggu di Rumah Besi. Tanganku sudah gatal ingin beradu pedang denganmu.”

Akhirnya Villael bisa tersenyum lebar untuk pertama kalinya sejak saat itu.

***

Sore itu suasana desa Zenthia tidak seperti biasanya. Lebih ramai oleh teriakan anak kecil yang merengek minta ikut kakak laki-lakinya. Banyak orang tua yang tampak sedang berkumpul di teras rumah mendebatkan sesuatu. Mereka sibuk dengan ransel penuh makanan, sepatu bot, mantel bepergian, dan beberapa malah sudah menyiapkan pakaian perang buatan sendiri dan pedang kayu yang sengaja dilumuri getah pohon argenus agar mengkilat. Beberapa kali Villael menjumpai gadis-gadis desa seumuran dengannya berlarian keluar rumah sambil marah-marah. Sebagian lagi justru sembunyi ke pekarangan atau lari ke rumah tetangga menghindari kejaran ayahnya. Kandang-kandang ternak mereka juga tampaknya masih terkunci rapat. Kebun apel dan anggur yang Villael lewati tampak sepi, dan ketika sampai di kedai minuman Daicco Bee, tidak ada satu pengunjung pun yang mampir.

Dan sejenak Villael merasa malu menjadi satu-satunya orang yang tidak secara special menyambut persiapan hari Angkat Pedang, kecuali memotong rambut lebih pendek bisa disebut persiapan. Villael mempercepat langkahnya setengah berlari, setelah menyadari sebagian dari mereka menatap curiga ke arahnya.

“Ini cuma pertemuan biasa, bukan mau perang!” teriak pemuda pendek gemuk sambil berlari, hampir saja menabraknya. “Oi, Villael, kau hampir tujuh belas tahun, kan?”

“Tiga bulan la…” jawab Villael tersendat. Penampilan pemuda tersebut tampak kacau balau. Wajahnya dipenuhi corengan arang dan rambutnya berdiri kaku. “Mukamu kenapa?”

Pemuda itu menjawab dengan cengiran dan langsung kabur ketika melihat ibunya keluar dari dalam rumah.

“Bibbe! Bawa helm besinya!” sengal ibunya sambil mengacungkan pisau daging, dan kembali masuk ke rumah begitu melihat keberadaan Villael.

“Villael, sampai ketemu di Rumah Besi!” teriak Bibbe dari jauh.

Tidak sempat melambaikan tangan sebagai balasan, derap kaki kuda membuatnya menyingkir dari jalan setapak. Sesaat Villael mengira rombongan Vellarian yang melintas, karena kuda mereka berwarna putih bersih. Tapi dia langsung sadar ketika kuda mereka tidak memiliki surai keperakan. Terlebih para penunggangnya bukan perumpuan-perempuan cantik, melainkan si jenggot tebal Rolland, si kering Qillin dan si bulu lentik Bella. Mereka tampak gagah dengan pedang dan perisai imitasi tersampir di punggung kuda. Villael mendesah, dan ternyata merekalah yang membuatnya malas pergi ke sana. Mereka anak-anak orang kaya, yang sering mengejek Villael gara-gara Sillael, kakaknya yang menolak bergabung sebagai prajurit Magmorian.

Dia berjalan melewati petak-petak sawah saat matahari sedikit bergeser ke barat. Hampir memasuki hutan desa, dia menenggak botol minumannya yang ternyata sudah kosong, dan ketika mengambil remah roti dari dalam bekal makanan, seorang pemuda dengan sengaja merendengi langkahnya.

Villael tidak pernah melihatnya sebelum ini. Tapi kuda gorgeos hitam tunggangannya, serta pakaian yang dikenakan jelas sekali berasal dari kota. Penampilannya rapi bersih, linontin berbentuk perisai segienam disampirkan di bahu agar Villael bisa melihat dengan jelas. Dia tampak sombong dan angkuh, meskipun demikian—Villael menyesali karena harus mengakui—wajahnya yang runcing terlalu tampan ketika menoleh.

Pemuda itu bertanya dengan nada melecehkan.

“Apa mungkin, berita tentang hidup kembali setelah mati, itu kau?”

Villael hanya mengangguk, dan mendadak remah roti di tangannya terasa lebih keras dari sebelumnya.

“Dan apa masuk akal, dalam diskaratt-mu, kau sepertinya bertemu dengan Doggoll?” tanyanya lagi.

Kali ini Villael mengangguk disertai jawaban tegas, “Ya, aku melihatnya dengan jelas, tidak salah lagi.”

Pemuda berambut sewarna tembaga tersebut menarik tali kekang kuda untuk memotong jalan Villael. Memutari beberapa kali lalu mengerutkan dahi tidak percaya. Dia mencondongkan badan, mengamati Villael dari ujung sepatu bot usang bercampur lumpur hingga ujung rambutnya yang mulai berantakan. “Apa itu berarti, kau juga mencintai Doggoll?”

Kontan saja pertanyaan itu membuat Villael ingin melempar remah roti ke mukanya. Beruntung dia tidak melakukannya karena rombongan yang melintas kemudian, mengalihkan perhatian mereka.

“Selamat sore, tuan muda Attilla Illanos,” sapa salah satu dari rombongan, membungkukkan badannya terlalu rendah hingga hampir mencium bokong kuda. Dan ketika tahu siapa yang diajak bicara Atilla, mulutnya membentuk huruf “o” panjang. “Tuan muda, bagaimana kabar ayahmu?”

“Baik saja,” jawab Atilla dingin.

“Hoho, ayahmu pasti sering membicarakanku. Aku temannya saat masih remaja. Tapi dia memang hebat. Belum genap satu tahun, langsung diangkat jadi pengawal pribadi kerajaan. Wah, wah, kurasa, kau cuma buang-buang waktu saja mengikuti perekrutan di kampung ini. Ayahmu tentu bisa memasukkanmu menjadi prajurit pilihan kapanpun dia mau.”

Dari nada bicaranya kentara sekali sudah terlatih sebagai penjilat. Saking seringnya menjulurkan lidah, Villael seakan bisa melihat representasi sempurna ular crawler kesayangan Doggoll. Bentuk hidungnya ganjil, seperti patah ke samping. Matanya bulat besar, sampai Villael mengira sedang dipelototi ketika melirik ke arahnya. Dan cara jalannya, tidak ubahnya seperti maling yang sedang mengendap-endap.

Atilla tersenyum terpaksa, tanpa berkomentar atau pun menujukkan ketertarikan membicarakan profesi ayahnya. Dia mengalihkan pembicaraan tentang kebenaran cerita Villael. Dan tampaknya, ketidakpercayaan mereka membuat keduanya semakin akrab sepanjang perjalanan, meski yang lebih banyak bicara tentu si penjilat ulung tersebut.

“… Ah, itu sih cuma cerita anak kampung,” katanya. “Maklum, ibunya meninggal gara-gara termakan gosip. Sejak saat itu dia mulai bertingkah sembrono, keluar masuk hutan eratus sama si Dobboll. Dengar-dengar dia ingan balas dendam, hmmm memangnya dia bisa apa sih? Trus yang namanya Dobboll itu, tergila-gila sama gadis Vellarina. Sepertinya anak itu terlalu lama tidak bercermin. Kasihan…”

“Sebelumnya, apa aku pernah mengenalmu?” tanya Atilla tiba-tiba, tanpa menoleh.
Yang ditanya menggaruk kepalanya yang botak.

“Tentu saja kau tidak mengenalku,” jawabnya terkekeh. “Kau pindah ke kota Ibbizanthia saat baru belajar bicara. Tapi seharusnya kau ingat saat aku memandikanmu, kau bilang ‘ini apa, Paman Bollac?’”

Villaell mendadak mengubah tawanya menjadi batuk paling ganjil yang pernah dia buat ketika Bollac menirukan suara Atilla kecil sambil menunjuk celananya sendiri yang kedodoran. Atilla menoleh ke belakang dengan wajah masam, dan langsung memacu kudanya sekencang mungkin. Bollac cuma mengguman heran, “apa aku salah bicara?”

Gerbang Pedang Kembar sudah menghadang langkah Villael beberapa saat kemudian. Bangunan kuno peninggalan Zetya Illaya itu masih tampak kokoh menyangga dua pedang besar saling silang sebagai atap. Hutan dalam desa yang menaunginya tidak segarang hutan eratus. Di sini lebih banyak ditumbuhi pohon argenus yang hanya berbunga setahun sekali. Ini bukan kali pertama Villael memasuki area Rumah Besi. Dia sering mengunjungi Boboll yang tinggal di rumah mungil yang sebenarnya adalah bekas istal, berada di belakang bangunan utama. Tapi memasukinya sore itu, tampak berbeda sekali dari sebelumnya yang biasanya sepi. Kerumunan warga desa memenuhi halaman Rumah Besi. Anak-anak kecil yang ikut dalam rombongan keluarga bermain di sekitar Tugu Peringatan. Pemuda-pemuda desa tampak membentuk kelompok kecil, duduk di bawah pohon argenus tua atau gazebo yang tersebar di halaman depan. Dan ketika melihat Villael bergabung dalam kerumunan besar, beberapa dari mereka melambaikan tangan.

Dengung mereka hampir senada, menggumamkan kedatangan penghuni Rumah Besi. Kemudian semua mata tertuju pada sosok Kakek Holle, yang pada saat bersamaan terperanjat melihat begitu ramainya pendaftar dan pengantar. Mereka yang berada agak jauh langsung mendekat semua, kecuali kelompok yang datang menggunakan kuda. Begitu pula remaja putri yang sepertinya lebih tertarik dengan banyaknya pemuda tampan dari pada menyambut Kakek Holle yang sudah uzur.

“Hampir saja aku tidak mengenalmu,” tiba-tiba sebuah suara berat membuat Villael menoleh ke gadis berbadan kekar di sebelahnya. “Ternyata kau… wah, rambutmu parah. Pantas. Kupikir kau salah satu teman Atilla.”

Tangan Villael otomatis merapikan rambutnya dan berkata canggung. “Oh, tidak sempat mengasah pisau cukur. Gwenolla, apa wajahku… tampak menakutkan?”

Gwenolla mengangguk, tapi ada sunggingan kecil ketika menunjuk dagunya sendiri.

“Asal tidak membiarkan jenggotmu setebal Rolland, kau masih layak mendapatkan perhatian seorang gadis.”

Ucapannya terdengar ganjil, terkesan menyebut orang lain. Rupanya Villael tidak menyadari. Dari tadi Arrellia memperhatikannya sembunyi-sembunyi tanpa berkedip, dan wajahnya langsung merona merah ketika Villael tersenyum ke arahnya.

“Kau ikut mendaftar?” tanya Villael serba salah.

Gwenolla menimpali dengan nada sinis ketika Arrellia mengangguk tidak yakin dan terdengar mengikik.

“Sejak kapan dia suka berkelahi? Angkat pisau dapur saja takut. Paling juga—kau pasti tahu alasannya.”

Ucapan Gwenolla yang sengaja dikeraskan sambil menyenggol bahu Villael, membuat bibir Arrelia melengkung ke bawah dan bergabung dengan teman-teman gadisnya.

“Kau sendiri?” tanya Villael pada Gwenolla, agak ragu. “Ayahmu sepertinya kurang setuju kau menjadi prajurit.”

“Tidak. Keputusanku semakin bulat saat mendengar Doggoll—” Dia mendadak mengubah suara beratnya menjadi bisikan. “Aku percaya semuanya. Dan belati yang kau ambil—kau masih menyimpannya, kan?”

“Kakek Holle. Dia yang menyimpan. Katanya ada yang aneh—”

“—tentu saja aneh. Kau mengambilnya dari perut Doggoll, dan belati itu berulang kali menyelamatkanmu dari serangannya, kan?”

“Bisa jadi karena aku dalam kondisi diskaratt,” kilah Villael. “Apa mungkin seseorang bisa melukai roh orang mati?”

“Kau bahkan kedengaran tidak mempercayai ceritamu sendiri.” kata Gwenolla kesal.

“Villael, bicara tentang Doggoll, semuanya menjadi mungkin. Dan dari ceritamu, belati itu mirip dengan belati-belati buatan Kakek Holle, hanya warnanya yang hijau membuatnya berbeda. Tapi aku yakin belati itu pasti ada kaitannya dengan masa lalu Zetya Illaya.”

“Maksudmu?”

“Bagus, kini kau tertarik. Tapi bukan waktunya membahas. Kakek Holle tampaknya sudah siap. Er, Panglima Mozilla mana ya?”

Mereka mendongak melewati kepala kerumunan yang berwarna-warni.

Di teras Rumah Besi, Panglima Mozzilla terlihat sedang duduk memegang pedang dengan tangan kanannya. Sebagai mantan panglima perang, banyak hal yang sudah dia lewati. Mengalami masa-masa sulit dan peperangan saat masih aktif menjabat, hingga wajahnya dipenuhi bekas sayatan pedang dan harus kehilangan satu tangannya. Sifatnya yang keras dan tampangnya yang bengis membuat banyak pihak yang menganggapnya tidak cocok melatih di Rumah Besi. Tapi Villael mengenalnya sebaik dia mengenal Kakek Holle. Mereka orang-orang yang tampak menakutkan dari luar saja, dan yang terpenting adalah, merekalah yang selama ini membuat dirinya merasa diterima kembali di desanya.

Sementara itu, Boboll berdiri di sebelahnya, terus melirik ke arah pedang yang berukuran hampir satu meter, seolah sebentar lagi pedang itu berpindah tangan. Kemudian saat Panglima Mozzilla bangkit, Boboll langsung ambruk, tidak menyangka keinginannya terkabul terlalu cepat, memeluk pedang yang paling berat yang pernah dia pegang. Air muka Panglima Mozzilla berusaha keras tersenyum saat membantu Boboll berdiri, tetap saja air mukanya jauh dari kata ramah.

“Selamat datang,” sambutan Kakek Holle berhenti sejenak untuk mengenali tamu-tamunya. Tatapan matanya tajam meski berumur hampir seabad. Sisa-sisa badannya yang kekar dan berotot masih tampak dari caranya berjalan. Tegap, kokoh dan tenang. “Seharusnya aku menyiapkan tenda-tenda untuk kalian. Tidak menyangka, ini seperti mengumpulkan orang untuk maju perang…”

“Bukankah Angkat Pedang dipersiapkan untuk berperang?” kata suara dari dalam kerumunan terdengar dikenali Villael.

“Hampir betul,” jawab Kakek Holle, memandang lurus ke depan. “Tapi intinya adalah, Angkat Pedang dipersiapkan untuk masa depan kalian, mengasah keterampilan dan kematangan kalian. Dan bukankah ini sudah menjadi kewajiban kita bersama? Lihatlah pohon argenus, mereka berbunga… itu sebuah pertanda, panggilan bagi pemuda-pemudi tangguh seperti kalian untuk meneruskan cita-cita Zetya Illaya. Nah, tadi anak muda mana yang berani bertanya?”

Kerumunan langsung membelah. Villael melihat Bibbe berdiri gemetaran menyadari kesalahannya, karena semua mata tertuju ke arahnya.

“Sudah tujuh belas tahun?” tanya Kakek Holle, memicingkan matanya.
Bibbe agak ragu menjawab. “Tuj.. Delapan belas.”

“Sepertinya aku memang pernah melihatmu setahun yang lalu,” katanya. Kemudian sambil mengelus jenggotnya, Kakek Holle melankutkan. ”Nah, nanti…”

Cukup membosankan, sama seperti memandangi Tugu Peringatan terlalu lama. Villael sudah sering menyaksikan ritual ini, bahkan setiap kalimat yang disampaikan panjang lebar itu sebenarnya hanya berujung pada pemanggilan nama-nama pendaftar oleh Panglima Mozilla. Villael akhirnya memutuskan menerima tawaran Gwenolla, menunggu di sekitar Tugu Peringatan.

Bentuk bangunannya hanya sebuah meja batu persegi, dengan dua batu bulat datar sebagai bangku. Bukan bangunan yang istimewa jika dibandingkan dengan Bangunan Rumah Besi yang mengerucut seperti caping megah. Villael bahkan sering melewatinya begitu saja, karena merasa tidak ada apapun yang bisa diamati kecuali patung perempuan yang kepalanya hilang sebelah, sedang menunduk.

“Kasihan ya,” kata Gwenolla ketika mereka memandangi patung tersebut.

“Beruntung, dia cuma batu yang dipahat,” komentar Villael datar.

“Batu yang dipahat?” ulang Gwenolla tidak percaya. “Kupikir kau lebih tahu daripada aku. Villael, kemana saja kau selama ini?”

“Yeah,” kata Villael mengangkat bahunya. “Aku percaya kisah asmara Zetya. Tapi patung ini…?”

“Kau mempercayainya setengah-setengah. Atau kau memang tidak percaya, sama seperti kebanyakan orang. Kisah mereka memang hampir seumur legenda, dan aku tidak menyalahkan siapapun yang enggan mendengar cerita klise mereka. Cinta segitiga, yang akhirnya seperti sekarang, menyisakan permusuhan,” Gwenolla menjelaskan. “Sebenarnya Illeane gadis yang baik. Coba saja dia tidak terkena guna-guna, pasti mereka berakhir bahagia, dan dia tidak harus menderita melayani nafsu Kyanat. Tapi aku sangat yakin, Zetya saat itu tidak membiarkannya begitu saja. Hmm, sayangnya… tetap saja kekuatan hitam Kyanat tidak bisa menghindarikannya dari kutukan, jadi patung…”

Selagi telingan Villael mendengar cerita Gwenolla, dia mengamati lebih cermat patung di depannya. Apa yang dilakukan patung tersebut terlihat seperti sedang menangis atau bisa jadi sedang membaca tulisan kuno di atas permukaan meja: Zicha~essa sa~chassi ellzaria aszogass. Akhirnya, langit sudah menjingga ketika terdengar suara kasar Panglima Mozilla menyebut nama-nama seperti, “…Woodle LLoda, Atilla Illanos, Rollad Gondolla, Bella Bollac, Qillin Acculun—Kalian cepat kesini! Kalau takut kuda kalian lepas, ikat ke leher kalian sekalian…!”

“… setelah mencoba membunuhnya dengan belati—tunggu, Villael! Kau harus percaya ini!”

Suara kasar Panglima Mozilla bertabrakan dengan suara berat Gwenolla yang mendadak melengking ketika legendanya berakhir, bergaung menyeramkan.

“Ya, aku mempercayainya. Patung ini kekasihnya, dan Zetya sengaja mendudukkannya di sini agar seolah-olah masih bisa diajak bicara. Sangat tragis memang.”

“Kau tidak mendengarku!” Gwenolla menarik bahu Villael agar berbalik. “Belati itu! Illeane menusuknya dengan belati.”

“Eh,” jawab Villael bego.

Gwenolla menatap penuh harap. Tapi Villael sama sekali tidak tahu apakah harus berekspresi sama, seperti yang digambarkan Gwenolla; menunjukan kegairahan yang meluap-luap.

“Lalu—?”

“—Belatimu!” kata Gwenolla berubah jengkel. “Belati yang juga digunakan Illeane!”

Villael langsung paham, meski dahinya harus berkerut. “Tapi aku mengambilnya dari perut, bukan dadanya. Maksudku, Illeane tidak mungkin menusuk hingga belatinya masuk ke perut Kyanat, kan?” lalu dia cepat-cepat menambahkan, “dan aku mengambilnya dari perut Doggoll, Gwenolla?”

“Tepat! Kalau begitu,” kata Gwenolla yang menganggap kemustahilan adalah kebenaran mutlak. “Kau perlu cari tahu belati macam apa yang disimpan Kakek Holle. Dan asal kau tahu saja, tapi mungkin juga Doggoll yang memasukkannya sendiri. Tapi untuk apa?” dia berpikir keras di tengah bicaranya yang cepat, lalu mendesah, “kalau saja Gladielle masih selamat, dia pasti akan sangat—Kau tidak apa-apa?”

Seperti tertonjok perutnya ketika mendengar nama Gladielle disebut, Villael membuang muka. Menolak mengakui hatinya bergetar membayangkan bagaimana tubuh Gladielle terjatuh ke jurang. Dia menggelengkan kepalanya, berbohong. “Tidak apa-apa. Sepertinya namaku disebut, yuk kesana!”

“…llael Sillas, Boboll Illaya, Bibbe Zaolla, Gwenolla Grill, Arrelia Trillia, Amarell Linn, Gillyb—Gillybelle! Siapa yang menyuruhmu mendaftar!”

Gilly melompat turun dari atas pohon tumbang.

“Doggoll!”

Panglima Mozilla tersentak. Lalu sambil menunjuk, dia membentak keras. “Kalau begitu kau tidak termasuk!”

Gilly meraung karena kecewa berat. Villael dan Gwenolla yang kebetulan melintas, menunduk memegangi kepala, mengira menjadi sasaran kemarahan Gilly. Tapi ternyata Gilly melempar pedang kayunya ke sisi lain, melesakkannya ke lubang pohon hingga terlihat benar-benar menancap. Anak-anak kecil yang melihat serempak tepuk tangan dan bersorak, tapi langsung berhenti setelah orang tua mereka melarang.

Setelah semua peserta Angkat Pedang berkumpul di teras Rumah Besi, Kakek Holle mengambil alih sambutan. “Nah, sekian saja, putra-putri kalian akan menginap malam ini. Mereka akan dibekali informasi sebelum utusan kerajaan datang esok hari. Jadi, silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing, dan selamat malam.”

Sebelum semua kerumunan meninggalkan tempat, seseorang berteriak. “Kakek Holle, sebentar!”

Kakek Holle yang sedang mempersilahkan peserta Angkat Pedang masuk, mendekati orang yang meneriakinya. Antrianpun terhenti, bahkan sebagian yang terlanjur masuk, kembali keluar karena tampaknya terjadi sedikit keteganggan.

“Hanya ingin memastikan, Anda tidak akan membiarkan anak itu meracuni pikiran putriku, kan?” kata orang berjenggot kambing sambil menunjuk Villael. “Tidak memaksa agar mempercayai rencana Doggoll?”

Semua mata seolah ditarik paksa oleh jari tangannya. Villael berdiri terpaku di tempatnya. Boboll mendekat, menarik lengan Villael yang menolak diajak masuk.

“Apa kau sudah menanyakannya sendiri pada Gwenolla?” kata Kakek Holle tenang.

Gwenolla mendekati ayahnya, yang mukanya ketakutan menatap mata tajam Kakek Holle. Sambil melirik ke arah Villael, Gwenolla berkata, berusaha tegas di bawah tekanan ayahnya. “Aku mempercayainya—ah!”

“Kalau begitu aku melarangmu, pulang!”

Dengan kasar, ayahnya menyeret paksa lengan Gwenolla hingga terjatuh. Namun tidak ada ampun, cengkeraman ayahnya terlalu kuat meski tenaga Gwenolla masih cukup mampu membanting seekor kambing. Villael melihatnya meronta-ronta seperti hendak diantar ke tukang jagal, miris. Tapi tidak ada yang bisa Villael lakukan selain mengumpat dan meneriaki dirinya sebagai pengecut tidak berguna; Gwenolla mempercayaimu, tolol!

Ada yang mendorongnya jatuh, dan itulah yang seharusnya dia lakukan ; Panglima Mozilla menghambur dari Rumah Besi, menyambar pedang dari tangan Boboll dan bergerak tangkas seperti tupai meloncat dengan mudah, menyelipkan pedangnya ke ketiak ayah Gwenolla. “Apa kau tidak mempercayaiku juga, Grill?”

Grill, ayah Gwenolla gemetaran.

“Jadi kau percaya?” seseorang menyeruak, dan sekilas Villael terkejut karena dari tadi tampaknya hanya dia yang bersikap seolah tidak terjadi keributan. Dia menyapu pandangannya sebentar ke Attilla yang tersenyum puas sebelum kembali berhadapan dengan Panglima Mozilla. “Berhentilah membuat warga resah, Mozilla. Keadaan sudah cukup susah tanpa rumor menyesatkan semacam itu.”

“Ini bukan rumor!” teriak Villael sudah berdiri tegap, seperti mendapat kekuatan baru setelah melihat aksi mengagumkan Panglima Mozilla.

“Oh, dasar keluarga pengkhianat!” Bollac lari mengendap-endap, berdiri di sebelah orang yang tampaknya tidak asing baginya. “Kabar baik Illanos—sedang cuti?” dia mulai menjilat, tapi merasa belum saatnya, dia menyerang Villael dengan suara yang menurutnya galak. “Apa kau bisa membuktikannya, bocah ingus—Siapa yang melempar kotoran kuda!”

Mengetahui siapa yang melempar kotoran, Bollac mengendap-endap mengejar Gilly yang lari dengan begitu lincah.

Villael melompat dari teras setinggi satu meter. Dia sudah sering menceritakan kejadian diskaratt-nya, tapi di depan sekitar seratus lebih pasang mata yang menatap marah, butuh lebih dari sekedar nyali. Berusaha mencari kekuatan tambahan, dia menoleh ke Boboll yang menjulurkan tangan, mendukung, tapi tampak ngeri. Dilihatnya Panglima Mozilla menyingkir dari massa yang mulai tidak sabar, dan mendesak maju.

“Doggoll menyadari kekuatannya tidak bisa menembus perlindungan Zetya Illaya.” Villael memulai. “Karena itulah, sekarang dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih tangguh dari Gorzada. Aku tidak mengatakan… sesuatu itu sanggup menembus atau tidak. Keadaan yang kalian anggap tenang selama ini, itu karena… karena Doggoll tidak lagi meneror secara terang-terangan. Tapi bukankah lebih baik kita waspada dari pada tetap bersikap acuh—?”

Tiba-tiba dia mundur selangkah di tengah aksinya. Tubuhnya mulai goyah ketika wajah-wajah mereka seolah menuntut lebih dari sekedar cerita yang sama. Diawali oleh bisik-bisik Bollac yang mengintimidasi, serentak warga berteriak. “Kami butuh bukti!”

Untuk mengatasi teriakan mereka, Villael mengeraskan suaranya. “Dan kalau kalian masih mau mendengar, aku bisa saja…”

Dia celingukan minta bantuan ke siapapun yang tampak sulit membuktikan ucapannya. Mengira beberapa orang ikut membantu dari belakang, hatinya lemas seketika. Attila, Rolland, Qillin dan Bella datang bukan untuk membantu. Wajah-wajah mereka sangat puas, rambut mereka yang nyentrik membuat barisan mereka seperti pagar tanaman tak terawat. Jantung Villael berdegup kencang, dan angin malam yang dingin seakan membeku. Keadaan justru semakin memanas ketika Bollac membagi-bagikan batu dan tongkat kayu ke warga desa yang masih tersisa. Istri-istri mereka tampak berlarian menggendong anak-anaknya keluar gerbang.

“Kau tidak tuli, kan?” cemooh Illanos. “Mereka butuh bukti, bukan omong kosong yang kau sebut sesuatu.”

“Kecuali Anda berani memaksa Doggoll membeberkannya dengan suka rela,” kata Villael. “Dan… dan bukankah sudah jelas, hilangnya Vellia…” rasa bersalahnya kembali menyerang, hingga dia langsung melompat ke bukti lain, dan ini membuatnya bosan, “… lalu batu Collatera, apa kalian tidak curiga kenapa kejadian tahun lalu, batu itu tidak menunjukkan campur tangan Doggoll?”

Sama sekali tidak mempan, Illanos tertawa sinis.

“Cerita versi lain calon pengkhianat, bagus.”

Tidak jelas apa maksud ucapan itu, Villael maju selangkah.

“Apa maksudmu?”

Illanos mencibir seolah Villael cukup pintar bersandiwara. “Cih! Aku pernah mendengar Sillael mengarang cerita yang sama meyakinkan dengan caramu berbohong. Menghasut warga hingga membuat mereka terperangkap jebakan Doggoll. Mengikuti jejak kakakmu rupanya?”

“Kau tidak menuduh Sillael pengkhianat itu, kan, Illanos?”

Betapa leganya Villael, karena Panglima Mozilla menyela, ikut membela meskipun orang-orang yang mengepung berhasil melucuti pedangnya. Namun ketika menyadari Illanos sedang membelokkan topik ke tuduhan menyesakkan tentang Sillael, sama saja menggiringnya pada masalah baru.

“Siapa lagi coba!” teriak Illanos, merentangkan kedua tangan seolah menunggu penyangkalan. “Sillael menghilang setelah kejadian itu. Membawa semua persenjataan entah untuk apa. Atau mungkin justru sekarang dia sudah menjadi kaki tangan Doggoll, barangkali?” dia tersenyum puas, lalu menunjuk penuh kebencian ke hidung Villael, “beruntung ayahmu yang tua itu bisu, jadi tidak perlu repot membongkar kebusukan anak-anaknya.”

“Pengkhianat!”

Teriakan warga desa bergemuruh. Batu melayang serentak seperti ratusan peluru yang dilontarkan ketapel tepat sasaran. Mereka tidak puas hanya dengan sekali lempar. Pentungan tongkat tidak ingin ketinggalan ambil bagian dalam kehiruk-pikukan. Banyak suara berteriak seperti “kyanat”, “bunuh”, “Villael”, “lari” bercampur dengan suara hantaman ke kepala Villael. Dia limbung, dikerumuni tangan-tangan kotor, injakkan keras sepatu bot, pentungan kayu, batu yang menghujam membuatnya jatuh terpuruk. Tubuhnya babak belur, darah mengucur, membuat samar penglihatannya. Panglima Mozilla tampak seperti bayangan yang sedang bertarung menghadapi sepuluh warga bersenjata parang sekaligus. Kakek Holle tidak terlihat jelas, hanya kelebatan janggutnya yang bergerak liar, sementara Boboll dan Gwenolla berkutat dengan geng Atilla di sudut lain. Seolah namanya ingin tercatat dalam peritiwa heroik, Gilly bergumul menggigit tulang kering Bollac.

Tidak imbang. Itulah yang terjadi. Villael dalam gelapnya pandangan, berharap suara derak kaki kuda memasuki gerbang datang menolongnya. Tapi tidak jelas siapa yang datang. Rombongan saudara Vellia-kah? Atau Vellia sendiri yang selalu muncul di saat nyawa Villael di ujung tanduk?