Thursday, December 31, 2009

8. Tersesat di hutan Larangan

Mereka memutuskan pulang ke pondok dengan tergesa. Bodohnya, Arnold membiarkan si Petung yang rada pikun memandu jalan mereka. Alhasil, alih-alih pintu pondok yang terlihat, justru belantara hutan yang memotong langkah mereka.

“e...hemm... sepertinya kita sedikit salah jalan,” komentar si Petung sambil mengingat-ingat jalan pulang. Ini mustahil, karena baru seminggu yang lalu dia pulang dan melewati pondoknya begitu saja karena dikira bangunan itu kandang sapi.
“Kau bilang sedikit?” ulang Arnold kesal, dan sadar betul mereka sedang tersesat. “Kalau aku tidak salah, seharusnya kita mengambil jalan ke arah timur dan kita sudah terlalu jauh berjalan ke arah barat!”

“Tentu saja kau tidak salah sama sekali.” Si Petung berbalik badan. “Sepertinya pondok Petung memang ada di belakang kita. Di balik bukit itu, kau lihat, Arnold?”

“Lalu kenapa kau tidak bilang dari awal!”

“Arnold tahu kan, Petung ini pikun?” bela Si Petung tidak mau disalahkan.

Kesal, Arnold menghentakkan kakinya ke lantai... maksudku, tanah. “Oh Tuhan, pondok sendiri sampai lupa, tapi kau bahkan tidak pernah lupa kalau kau itu pikun. Nah, lalu kita berada di mana ini?”

Di sana, hutan sunyi senyap hingga Arnold sepertinya baru saja mendengar bunyi aneh dari balik celana Si Petung. Pohon yang tumbuh besar-besar dan berkeropeng. Di jalan masuk itu sebuah papan petunjuk berpendar terang karena sekelompok kunang-kunang sedang mengadakan rapat darurat di atasnya.

“Coba, biar Petung tebak,” kata Si Petung, selagi mereka memasuki hutan lebih dalam, dan lebih dalam lagi.

“Ini Hutan Larangan,” kata Arnold, yang memutuskan menunggu Si Petung menebak-nebak sama saja dengan memintanya menghitung satu sampai sepuluh.

Si Petung memang tidak pernah sekolah, tapi tetap saja tidak wajar dan keterlaluan. Karena setelah menghitung angka satu, dia langsung loncat ke angka tiga. Parahnya lagi, dia berani bersitegang dan tidak mau mengakui kalau jari tangannya ada sepuluh, melainkan sebelas!

“Huh, kalau Arnold sudah tahu, kenapa juga masih bertanya sama Petung,” gerutunya.
“Kau tidak melihat papan penunjuk yang barusan kita lewati? Jelas di situ tertulis; Masuklah dan kau akan …mati berdiri.” Arnold sengaja memelankan dua kata terakhir yang terdengar menakutkan. Menyadari Si Petung tidak bisa membaca, dia akhirnya memakluminya. Pantas saja Si Petung tidak pernah takut keluar masuk hutan Larangan lantaran selama ini dia tidak pernah tahu akan peringatan itu. “Tapi ini sangat aneh, kau menceritakan kalau Hutan Larangan itu penuh dengan...”

“Ya, benar, di sini ada bermacam-macam burung pemangsa, rusa malam, reptil buntung, kadang anjing hutan albino juga berkeliaran, tapi kurasa mereka sedang tersesat.... sedikit salah jalan maksud Petung, lalu...”

Arnold merinding dan berharap Si Petung berhenti menyebutkan semua binatang penghuni hutan Larangan, saat itu juga.

“...Monyet gila, dan lain sebagainya... aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu, maaf.”

“Kau sudah menyebutkan semuanya... sangat lengkap. Dasar manusia ajaib!” dengus Arnold sangat keras, tapi Si Petung tidak mendengar.

Namun hutan Larangan memang sedang tidak seperti biasanya.

Mereka berdua selamat, kecuali terpelanting sejauh lima meter bukan kondisi yang sama membahayakan dengan menasehati segerombolan monyet gila.

Rupanya, dari tanah di depan mereka baru saja terjadi ledakan keras mengepulkan asap kebiruan, yang membuat mereka berdua terpental berlawanan arah. Si Petung ke kiri, dan Arnold tentu saja ke kanan.

“Uhuk...uhuk!” Seorang perempuan cantik keluar dari balik asap yang menipis. “Sungguh jodoh uhuk!...aku sedang mencarimu Petung, uhuk! oh aku benci harus melewati jalur tikus uhuk!. Terlalu banyak asap, bikin tenggorokan gatal!”

Si Petung berdiri dari jatuhnya yang paling menyakitkan. Kedua kakinya tertekuk ke depan, tapi itu bukan masalah. Dia sudah terbiasa mengalami kecelakaan yang paling dahsyat sepanjang karirnya sebagai petualang sejati.

“Oh kau, Sandra Buldoc”

Rupanya Si Petung mengenalnya.

Dia perempuan paling cantik yang pernah Arnold lihat, meski dengan sudut pandangan terbalik. Rambutnya berwarna perak, berkilau tertimpa sinar rembulan. Wajahnya putih lonjong dan berbinar-binar meski sepertinya dia membawa kabar buruk. Tubuhnya langsing dalam balutan sutra berwarna.... Arnold takjup, warna pakaiannya bekerlap-kerlip seperti lampu disco!

Perempuan itu malah berlari kencang menghampiri Si Petung, bukannya Arnold yang tersangkut di akar pohon ek paling tua (sepertinya pohon ek lebih populer ketimbang pohon kamboja di dunia fantasi). Tampak sangat khawatir, perempuan lembut itu mengeluarkan sapu tangan dari udara dan memeriksa setiap jengkal tubuh Si Petung.

“Cukup, terima kasih. Bukan Petung yang harus Sandra khawatirkan,” kata Si Petung. “Tapi anak itu...”

Sepuluh meter dari tempat Si Petung jatuh, Arnold sudah berhasil berdiri mantap dan tampak tegar, lengkap dengan senyuman paling menawan yang dia miliki. Dia berharap mendapatkan perlakuan yang sama dari Sandra, yang di matanya seperti ratunya bidadari. Dan Si Petung hanyalah debu yang tidak terlihat.

“Dia baik-baik saja, kok,” kata Sandra acuh. "Aku sangat peduli padamu, Petung... sayang."

Dan Arnold ingin muntah, tidak yakin dengan arti kata 'sayang' yang Sandra ucapkan.

No comments:

Post a Comment