Tuesday, November 3, 2009

BAB 3. Hari Angkat Pedang dan Prajurit

Sejak kejadian itu mereka mendadak dibanjiri pertanyaan warga desa seminggu penuh. Villael sampai hapal benar detil kejadiannya, bahkan saat-saat diskaratt yang seharusnya mengerikan menjadi cerita biasa baginya. Sementara itu Boboll lebih banyak menghindar. Villael tahu persis dan dia langsung mengalihkan topic ke kegiatan mereka menjelang hari Angkat Pedang. Sebagai balasan, ketika Villael merasa putus asa meyakinkan warga desa, tanpa rasa canggung Boboll mengajaknya membahas biri-biri yang sedang hamil tua.

Namun sekali waktu ketika tidak ada bahan omongan, mereka kembali mengenangnya, seolah dengan seringnya menyebut nama Vellia, ia akan muncul.

“Kau benar,” tiba-tiba suara Boboll menghentikan lantunan seruling Villael. Serempak dua puluh biri-biri Villael mengangkat kepala, mencari tahu biang kerok mana yang mengganggu kesenangan mereka, merumput sambil menikmati alunan lagu. “Harusnya aku tidak meninggalkan Vellia-ku sendirian di sana.”

“Maaf?” kata Villael bingung.

Dia mengira gua yang dimaksud Boboll adalah tempat di mana dia sedang mengedarkan pandangan, ke arah puncak gunung Gorian.

“Gua di dalam hutan,” kata Boboll. “Kau tidak benar-benar melupakannya, kan?”

“Oh,” jawab Villael menyesali. “Tentu saja tidak.”

“Ini semua—salahku.”

Villael pura-pura tidak mendengar, namun membiarkan Boboll berdengung semua salahku terus menerus membuat kuping Villael memerah.

“Mulai lagi, deh. Aku sudah sering mendengarmu mengigau tiap malam, menyalahkan diri sendiri tidak akan membuat Vellia-mu kembali. Dan kalau ada yang patut disalahkan, akulah orangnya.”

“Aku yang melarangmu mengirim pesan,” kata Boboll pelan, sambil menunduk memandang barisan semut yang terusik karena ulahnya memotong rute perjalanan mereka. “Sungguh manusia bodoh aku ini.”

Villael mendesah, percuma saja mendebatnya saat itu. Dan pemandangan di depannya menjadi jauh lebih menarik dari apapun yang keluar dari mulut Boboll. Salah satu biri-birinya lari kesurupan, memisahkan diri dari kawanan. Di punggungnya, seorang gadis kecil dengan gagah berani mengacungkan pedang kayu, meneriakkan “serbuuu” dengan lantang, hingga akhirnya biri-biri yang enggan diperlakukan seperti kuda perang itu mendadak mengerem. Gadis itu terlempar dan jatuh bergulingan sambil mengutuk biri-biri menjadi keledai dungu.

Villael tersenyum geli, sementara Boboll yang dari tadi masih menunduk menggerutu pelan.

“Aku memang bodoh,” katanya. “Pantas ditertawakan.”

“Kau tidak bodoh,” kata Villael bosan. “Sudah kukatakan berulang kali. Kalau dipikir-pikir kau justru melakukan tindakan yang paling waras seumur hidup. Aku… masih bisa bernafas sampai detik ini karena kau mencegahku, menyelamatkanku… dan aku tidak tertawa karena itu.”

“Tetap saja,” bantah Boboll. “Meninggalkan perempuan yang kucintai—cuma orang gila yang melakukannya!”

“Kalau gitu, kau tidak sendirian,” kata Villael, matanya terpancang pada gadis yang mendekat. “Masih ada Gilly.”

“Dia gila betulan!” teriak Boboll nyaring, tidak rela disamakan dengan gadis yang menelengkan kepalanya, seolah telinganya mendengar bisikan dari langit.

“Ada yang sedang membahas orang gila rupanya,” kata Gilly entah ditujukan pada siapa. Suaranya terdengar mengambang. Ia lalu mengambil tempat duduk di tengah, di antara Villael yang tersenyum ramah dan Boboll yang tampak enggan dekat dengannya. “Kau tahu, semalam Gilly mendengar Doggoll tereak-tereak, seperti orang gila—dari sana, segitiga setan itu.”

Terang saja Boboll mendengus keras, karena segitiga yang dimaksud Gilly adalah puncak gunung Gorian. Tapi Villael justru menggangguk, terkesan membenarkan. Bukan tentang segitiga setan, tapi teriakan kegelisahan Doggoll sejak peritiwa diskaratt-nya.

“Yeah,” kata Boboll memutar bola matanya. “Aku juga mendengarnya, setiap saat, malah.”

Villael tidak menanggapi serius pengakuan Boboll yang mengucapkannya hanya karena ingin Gilly enyah. Maka dia kembali meniup seruling, menutup matanya mencari ketenangan lewat alunan lagu dalam kegelapan. Menggantikan desiran angin dan hijaunya padang rumput yang membentang…

Kabar berita Vellia yang belum jelas, sejujurnya adalah kesalahannya, dan perasaan itu membuatnya merasa jijik pada diri sendiri. Hidup yang sekarang masih dia nikmati tidak lain karena keegoisannya membiarkan Vellia berjuang sendirian. Tapi semua sudah terlanjur terjadi, dan dia harus menanggung rasa malu hingga tiba saatnya mendengar kabar berita Vellia, yang jauh dari kemungkinan selamat.

Mata Villael masih terpejam, dan di sela-sela penyesalannya yang terasa semakin melilit, gaung peringatan yang diucapkan Gladielle saat itu mengusik, menyeretnya lebih dalam ke kegelapan alam bawah sadar. Doggoll sedang merencanakan sesuatu… sesuatu yang tidak disadari penduduk desa Zenthia. Tapi kekuatan macam apa yang dimiliki pasukan Shadyzo hingga sanggup menembus perlindungan Setya Illaya, atau mungkinkah kekuatan sihir Doggoll bertambah kuat berlipat-lipat?

Ini tidak boleh terjadi, dan sebelum semuanya terlambat, tugasnyalah menyampaikan peringatan Gladielle. Dan itu tindakan yang mungkin saja bisa dia lakukan untuk menebus segalanya; penderitaan penduduk Zenthia, kehilangan Vellia, dendam dan tekad yang sama yang dirasakan Gladielle… melenyapkan Doggoll sampai ke akar-akarnya kalau perlu.

Ketenangan yang belum juga kunjung tiba, yang mustahil mendekatinya, justru terpecahkan oleh suara melengking di ujung padang rumput. Villael yang mengira Gilly masih duduk di sebelahnya, terbangun dari lamunan. Dilihatnya Gilly sedang menarik buntut dua ekor biri-biri sekaligus, membuat biri-biri lain yang sedang beristirahat siang bergerombol membentuk lingkaran, menonton kegilaan Gilly.

“Wapadalah!” seru Gilly. “Doggoll sedang merencanakan serangan bawah tanah, dan kalian keledai dungu, pastikan seret pengkhianatnya kemari!”

“Hidup Gillybelle!” teriak Boboll yang langsung dijawab Gilly dengan tangan mengepal.

Boboll tergelak memegang perut. Rupanya Gilly yang bercita-cita menjadi laki-laki sejak mengalami gangguan mental tidak senang dipanggil Gillybelle. Dan demi sedikit kesenangan, Boboll menggodanya dengan panggilan belle-belle. Villael tersenyum tertekan, namun sangat senang mendapati kenormalan Boboll telah kembali pulih.

“Villael, ku pulang dulu,” kata Boboll. Berdiri sambil membersihkan rumput kering dari pantatnya. “Aku tunggu di Rumah Besi. Tanganku sudah gatal ingin beradu pedang denganmu.”

Akhirnya Villael bisa tersenyum lebar untuk pertama kalinya sejak saat itu.

***

Sore itu suasana desa Zenthia tidak seperti biasanya. Lebih ramai oleh teriakan anak kecil yang merengek minta ikut kakak laki-lakinya. Banyak orang tua yang tampak sedang berkumpul di teras rumah mendebatkan sesuatu. Mereka sibuk dengan ransel penuh makanan, sepatu bot, mantel bepergian, dan beberapa malah sudah menyiapkan pakaian perang buatan sendiri dan pedang kayu yang sengaja dilumuri getah pohon argenus agar mengkilat. Beberapa kali Villael menjumpai gadis-gadis desa seumuran dengannya berlarian keluar rumah sambil marah-marah. Sebagian lagi justru sembunyi ke pekarangan atau lari ke rumah tetangga menghindari kejaran ayahnya. Kandang-kandang ternak mereka juga tampaknya masih terkunci rapat. Kebun apel dan anggur yang Villael lewati tampak sepi, dan ketika sampai di kedai minuman Daicco Bee, tidak ada satu pengunjung pun yang mampir.

Dan sejenak Villael merasa malu menjadi satu-satunya orang yang tidak secara special menyambut persiapan hari Angkat Pedang, kecuali memotong rambut lebih pendek bisa disebut persiapan. Villael mempercepat langkahnya setengah berlari, setelah menyadari sebagian dari mereka menatap curiga ke arahnya.

“Ini cuma pertemuan biasa, bukan mau perang!” teriak pemuda pendek gemuk sambil berlari, hampir saja menabraknya. “Oi, Villael, kau hampir tujuh belas tahun, kan?”

“Tiga bulan la…” jawab Villael tersendat. Penampilan pemuda tersebut tampak kacau balau. Wajahnya dipenuhi corengan arang dan rambutnya berdiri kaku. “Mukamu kenapa?”

Pemuda itu menjawab dengan cengiran dan langsung kabur ketika melihat ibunya keluar dari dalam rumah.

“Bibbe! Bawa helm besinya!” sengal ibunya sambil mengacungkan pisau daging, dan kembali masuk ke rumah begitu melihat keberadaan Villael.

“Villael, sampai ketemu di Rumah Besi!” teriak Bibbe dari jauh.

Tidak sempat melambaikan tangan sebagai balasan, derap kaki kuda membuatnya menyingkir dari jalan setapak. Sesaat Villael mengira rombongan Vellarian yang melintas, karena kuda mereka berwarna putih bersih. Tapi dia langsung sadar ketika kuda mereka tidak memiliki surai keperakan. Terlebih para penunggangnya bukan perumpuan-perempuan cantik, melainkan si jenggot tebal Rolland, si kering Qillin dan si bulu lentik Bella. Mereka tampak gagah dengan pedang dan perisai imitasi tersampir di punggung kuda. Villael mendesah, dan ternyata merekalah yang membuatnya malas pergi ke sana. Mereka anak-anak orang kaya, yang sering mengejek Villael gara-gara Sillael, kakaknya yang menolak bergabung sebagai prajurit Magmorian.

Dia berjalan melewati petak-petak sawah saat matahari sedikit bergeser ke barat. Hampir memasuki hutan desa, dia menenggak botol minumannya yang ternyata sudah kosong, dan ketika mengambil remah roti dari dalam bekal makanan, seorang pemuda dengan sengaja merendengi langkahnya.

Villael tidak pernah melihatnya sebelum ini. Tapi kuda gorgeos hitam tunggangannya, serta pakaian yang dikenakan jelas sekali berasal dari kota. Penampilannya rapi bersih, linontin berbentuk perisai segienam disampirkan di bahu agar Villael bisa melihat dengan jelas. Dia tampak sombong dan angkuh, meskipun demikian—Villael menyesali karena harus mengakui—wajahnya yang runcing terlalu tampan ketika menoleh.

Pemuda itu bertanya dengan nada melecehkan.

“Apa mungkin, berita tentang hidup kembali setelah mati, itu kau?”

Villael hanya mengangguk, dan mendadak remah roti di tangannya terasa lebih keras dari sebelumnya.

“Dan apa masuk akal, dalam diskaratt-mu, kau sepertinya bertemu dengan Doggoll?” tanyanya lagi.

Kali ini Villael mengangguk disertai jawaban tegas, “Ya, aku melihatnya dengan jelas, tidak salah lagi.”

Pemuda berambut sewarna tembaga tersebut menarik tali kekang kuda untuk memotong jalan Villael. Memutari beberapa kali lalu mengerutkan dahi tidak percaya. Dia mencondongkan badan, mengamati Villael dari ujung sepatu bot usang bercampur lumpur hingga ujung rambutnya yang mulai berantakan. “Apa itu berarti, kau juga mencintai Doggoll?”

Kontan saja pertanyaan itu membuat Villael ingin melempar remah roti ke mukanya. Beruntung dia tidak melakukannya karena rombongan yang melintas kemudian, mengalihkan perhatian mereka.

“Selamat sore, tuan muda Attilla Illanos,” sapa salah satu dari rombongan, membungkukkan badannya terlalu rendah hingga hampir mencium bokong kuda. Dan ketika tahu siapa yang diajak bicara Atilla, mulutnya membentuk huruf “o” panjang. “Tuan muda, bagaimana kabar ayahmu?”

“Baik saja,” jawab Atilla dingin.

“Hoho, ayahmu pasti sering membicarakanku. Aku temannya saat masih remaja. Tapi dia memang hebat. Belum genap satu tahun, langsung diangkat jadi pengawal pribadi kerajaan. Wah, wah, kurasa, kau cuma buang-buang waktu saja mengikuti perekrutan di kampung ini. Ayahmu tentu bisa memasukkanmu menjadi prajurit pilihan kapanpun dia mau.”

Dari nada bicaranya kentara sekali sudah terlatih sebagai penjilat. Saking seringnya menjulurkan lidah, Villael seakan bisa melihat representasi sempurna ular crawler kesayangan Doggoll. Bentuk hidungnya ganjil, seperti patah ke samping. Matanya bulat besar, sampai Villael mengira sedang dipelototi ketika melirik ke arahnya. Dan cara jalannya, tidak ubahnya seperti maling yang sedang mengendap-endap.

Atilla tersenyum terpaksa, tanpa berkomentar atau pun menujukkan ketertarikan membicarakan profesi ayahnya. Dia mengalihkan pembicaraan tentang kebenaran cerita Villael. Dan tampaknya, ketidakpercayaan mereka membuat keduanya semakin akrab sepanjang perjalanan, meski yang lebih banyak bicara tentu si penjilat ulung tersebut.

“… Ah, itu sih cuma cerita anak kampung,” katanya. “Maklum, ibunya meninggal gara-gara termakan gosip. Sejak saat itu dia mulai bertingkah sembrono, keluar masuk hutan eratus sama si Dobboll. Dengar-dengar dia ingan balas dendam, hmmm memangnya dia bisa apa sih? Trus yang namanya Dobboll itu, tergila-gila sama gadis Vellarina. Sepertinya anak itu terlalu lama tidak bercermin. Kasihan…”

“Sebelumnya, apa aku pernah mengenalmu?” tanya Atilla tiba-tiba, tanpa menoleh.
Yang ditanya menggaruk kepalanya yang botak.

“Tentu saja kau tidak mengenalku,” jawabnya terkekeh. “Kau pindah ke kota Ibbizanthia saat baru belajar bicara. Tapi seharusnya kau ingat saat aku memandikanmu, kau bilang ‘ini apa, Paman Bollac?’”

Villaell mendadak mengubah tawanya menjadi batuk paling ganjil yang pernah dia buat ketika Bollac menirukan suara Atilla kecil sambil menunjuk celananya sendiri yang kedodoran. Atilla menoleh ke belakang dengan wajah masam, dan langsung memacu kudanya sekencang mungkin. Bollac cuma mengguman heran, “apa aku salah bicara?”

Gerbang Pedang Kembar sudah menghadang langkah Villael beberapa saat kemudian. Bangunan kuno peninggalan Zetya Illaya itu masih tampak kokoh menyangga dua pedang besar saling silang sebagai atap. Hutan dalam desa yang menaunginya tidak segarang hutan eratus. Di sini lebih banyak ditumbuhi pohon argenus yang hanya berbunga setahun sekali. Ini bukan kali pertama Villael memasuki area Rumah Besi. Dia sering mengunjungi Boboll yang tinggal di rumah mungil yang sebenarnya adalah bekas istal, berada di belakang bangunan utama. Tapi memasukinya sore itu, tampak berbeda sekali dari sebelumnya yang biasanya sepi. Kerumunan warga desa memenuhi halaman Rumah Besi. Anak-anak kecil yang ikut dalam rombongan keluarga bermain di sekitar Tugu Peringatan. Pemuda-pemuda desa tampak membentuk kelompok kecil, duduk di bawah pohon argenus tua atau gazebo yang tersebar di halaman depan. Dan ketika melihat Villael bergabung dalam kerumunan besar, beberapa dari mereka melambaikan tangan.

Dengung mereka hampir senada, menggumamkan kedatangan penghuni Rumah Besi. Kemudian semua mata tertuju pada sosok Kakek Holle, yang pada saat bersamaan terperanjat melihat begitu ramainya pendaftar dan pengantar. Mereka yang berada agak jauh langsung mendekat semua, kecuali kelompok yang datang menggunakan kuda. Begitu pula remaja putri yang sepertinya lebih tertarik dengan banyaknya pemuda tampan dari pada menyambut Kakek Holle yang sudah uzur.

“Hampir saja aku tidak mengenalmu,” tiba-tiba sebuah suara berat membuat Villael menoleh ke gadis berbadan kekar di sebelahnya. “Ternyata kau… wah, rambutmu parah. Pantas. Kupikir kau salah satu teman Atilla.”

Tangan Villael otomatis merapikan rambutnya dan berkata canggung. “Oh, tidak sempat mengasah pisau cukur. Gwenolla, apa wajahku… tampak menakutkan?”

Gwenolla mengangguk, tapi ada sunggingan kecil ketika menunjuk dagunya sendiri.

“Asal tidak membiarkan jenggotmu setebal Rolland, kau masih layak mendapatkan perhatian seorang gadis.”

Ucapannya terdengar ganjil, terkesan menyebut orang lain. Rupanya Villael tidak menyadari. Dari tadi Arrellia memperhatikannya sembunyi-sembunyi tanpa berkedip, dan wajahnya langsung merona merah ketika Villael tersenyum ke arahnya.

“Kau ikut mendaftar?” tanya Villael serba salah.

Gwenolla menimpali dengan nada sinis ketika Arrellia mengangguk tidak yakin dan terdengar mengikik.

“Sejak kapan dia suka berkelahi? Angkat pisau dapur saja takut. Paling juga—kau pasti tahu alasannya.”

Ucapan Gwenolla yang sengaja dikeraskan sambil menyenggol bahu Villael, membuat bibir Arrelia melengkung ke bawah dan bergabung dengan teman-teman gadisnya.

“Kau sendiri?” tanya Villael pada Gwenolla, agak ragu. “Ayahmu sepertinya kurang setuju kau menjadi prajurit.”

“Tidak. Keputusanku semakin bulat saat mendengar Doggoll—” Dia mendadak mengubah suara beratnya menjadi bisikan. “Aku percaya semuanya. Dan belati yang kau ambil—kau masih menyimpannya, kan?”

“Kakek Holle. Dia yang menyimpan. Katanya ada yang aneh—”

“—tentu saja aneh. Kau mengambilnya dari perut Doggoll, dan belati itu berulang kali menyelamatkanmu dari serangannya, kan?”

“Bisa jadi karena aku dalam kondisi diskaratt,” kilah Villael. “Apa mungkin seseorang bisa melukai roh orang mati?”

“Kau bahkan kedengaran tidak mempercayai ceritamu sendiri.” kata Gwenolla kesal.

“Villael, bicara tentang Doggoll, semuanya menjadi mungkin. Dan dari ceritamu, belati itu mirip dengan belati-belati buatan Kakek Holle, hanya warnanya yang hijau membuatnya berbeda. Tapi aku yakin belati itu pasti ada kaitannya dengan masa lalu Zetya Illaya.”

“Maksudmu?”

“Bagus, kini kau tertarik. Tapi bukan waktunya membahas. Kakek Holle tampaknya sudah siap. Er, Panglima Mozilla mana ya?”

Mereka mendongak melewati kepala kerumunan yang berwarna-warni.

Di teras Rumah Besi, Panglima Mozzilla terlihat sedang duduk memegang pedang dengan tangan kanannya. Sebagai mantan panglima perang, banyak hal yang sudah dia lewati. Mengalami masa-masa sulit dan peperangan saat masih aktif menjabat, hingga wajahnya dipenuhi bekas sayatan pedang dan harus kehilangan satu tangannya. Sifatnya yang keras dan tampangnya yang bengis membuat banyak pihak yang menganggapnya tidak cocok melatih di Rumah Besi. Tapi Villael mengenalnya sebaik dia mengenal Kakek Holle. Mereka orang-orang yang tampak menakutkan dari luar saja, dan yang terpenting adalah, merekalah yang selama ini membuat dirinya merasa diterima kembali di desanya.

Sementara itu, Boboll berdiri di sebelahnya, terus melirik ke arah pedang yang berukuran hampir satu meter, seolah sebentar lagi pedang itu berpindah tangan. Kemudian saat Panglima Mozzilla bangkit, Boboll langsung ambruk, tidak menyangka keinginannya terkabul terlalu cepat, memeluk pedang yang paling berat yang pernah dia pegang. Air muka Panglima Mozzilla berusaha keras tersenyum saat membantu Boboll berdiri, tetap saja air mukanya jauh dari kata ramah.

“Selamat datang,” sambutan Kakek Holle berhenti sejenak untuk mengenali tamu-tamunya. Tatapan matanya tajam meski berumur hampir seabad. Sisa-sisa badannya yang kekar dan berotot masih tampak dari caranya berjalan. Tegap, kokoh dan tenang. “Seharusnya aku menyiapkan tenda-tenda untuk kalian. Tidak menyangka, ini seperti mengumpulkan orang untuk maju perang…”

“Bukankah Angkat Pedang dipersiapkan untuk berperang?” kata suara dari dalam kerumunan terdengar dikenali Villael.

“Hampir betul,” jawab Kakek Holle, memandang lurus ke depan. “Tapi intinya adalah, Angkat Pedang dipersiapkan untuk masa depan kalian, mengasah keterampilan dan kematangan kalian. Dan bukankah ini sudah menjadi kewajiban kita bersama? Lihatlah pohon argenus, mereka berbunga… itu sebuah pertanda, panggilan bagi pemuda-pemudi tangguh seperti kalian untuk meneruskan cita-cita Zetya Illaya. Nah, tadi anak muda mana yang berani bertanya?”

Kerumunan langsung membelah. Villael melihat Bibbe berdiri gemetaran menyadari kesalahannya, karena semua mata tertuju ke arahnya.

“Sudah tujuh belas tahun?” tanya Kakek Holle, memicingkan matanya.
Bibbe agak ragu menjawab. “Tuj.. Delapan belas.”

“Sepertinya aku memang pernah melihatmu setahun yang lalu,” katanya. Kemudian sambil mengelus jenggotnya, Kakek Holle melankutkan. ”Nah, nanti…”

Cukup membosankan, sama seperti memandangi Tugu Peringatan terlalu lama. Villael sudah sering menyaksikan ritual ini, bahkan setiap kalimat yang disampaikan panjang lebar itu sebenarnya hanya berujung pada pemanggilan nama-nama pendaftar oleh Panglima Mozilla. Villael akhirnya memutuskan menerima tawaran Gwenolla, menunggu di sekitar Tugu Peringatan.

Bentuk bangunannya hanya sebuah meja batu persegi, dengan dua batu bulat datar sebagai bangku. Bukan bangunan yang istimewa jika dibandingkan dengan Bangunan Rumah Besi yang mengerucut seperti caping megah. Villael bahkan sering melewatinya begitu saja, karena merasa tidak ada apapun yang bisa diamati kecuali patung perempuan yang kepalanya hilang sebelah, sedang menunduk.

“Kasihan ya,” kata Gwenolla ketika mereka memandangi patung tersebut.

“Beruntung, dia cuma batu yang dipahat,” komentar Villael datar.

“Batu yang dipahat?” ulang Gwenolla tidak percaya. “Kupikir kau lebih tahu daripada aku. Villael, kemana saja kau selama ini?”

“Yeah,” kata Villael mengangkat bahunya. “Aku percaya kisah asmara Zetya. Tapi patung ini…?”

“Kau mempercayainya setengah-setengah. Atau kau memang tidak percaya, sama seperti kebanyakan orang. Kisah mereka memang hampir seumur legenda, dan aku tidak menyalahkan siapapun yang enggan mendengar cerita klise mereka. Cinta segitiga, yang akhirnya seperti sekarang, menyisakan permusuhan,” Gwenolla menjelaskan. “Sebenarnya Illeane gadis yang baik. Coba saja dia tidak terkena guna-guna, pasti mereka berakhir bahagia, dan dia tidak harus menderita melayani nafsu Kyanat. Tapi aku sangat yakin, Zetya saat itu tidak membiarkannya begitu saja. Hmm, sayangnya… tetap saja kekuatan hitam Kyanat tidak bisa menghindarikannya dari kutukan, jadi patung…”

Selagi telingan Villael mendengar cerita Gwenolla, dia mengamati lebih cermat patung di depannya. Apa yang dilakukan patung tersebut terlihat seperti sedang menangis atau bisa jadi sedang membaca tulisan kuno di atas permukaan meja: Zicha~essa sa~chassi ellzaria aszogass. Akhirnya, langit sudah menjingga ketika terdengar suara kasar Panglima Mozilla menyebut nama-nama seperti, “…Woodle LLoda, Atilla Illanos, Rollad Gondolla, Bella Bollac, Qillin Acculun—Kalian cepat kesini! Kalau takut kuda kalian lepas, ikat ke leher kalian sekalian…!”

“… setelah mencoba membunuhnya dengan belati—tunggu, Villael! Kau harus percaya ini!”

Suara kasar Panglima Mozilla bertabrakan dengan suara berat Gwenolla yang mendadak melengking ketika legendanya berakhir, bergaung menyeramkan.

“Ya, aku mempercayainya. Patung ini kekasihnya, dan Zetya sengaja mendudukkannya di sini agar seolah-olah masih bisa diajak bicara. Sangat tragis memang.”

“Kau tidak mendengarku!” Gwenolla menarik bahu Villael agar berbalik. “Belati itu! Illeane menusuknya dengan belati.”

“Eh,” jawab Villael bego.

Gwenolla menatap penuh harap. Tapi Villael sama sekali tidak tahu apakah harus berekspresi sama, seperti yang digambarkan Gwenolla; menunjukan kegairahan yang meluap-luap.

“Lalu—?”

“—Belatimu!” kata Gwenolla berubah jengkel. “Belati yang juga digunakan Illeane!”

Villael langsung paham, meski dahinya harus berkerut. “Tapi aku mengambilnya dari perut, bukan dadanya. Maksudku, Illeane tidak mungkin menusuk hingga belatinya masuk ke perut Kyanat, kan?” lalu dia cepat-cepat menambahkan, “dan aku mengambilnya dari perut Doggoll, Gwenolla?”

“Tepat! Kalau begitu,” kata Gwenolla yang menganggap kemustahilan adalah kebenaran mutlak. “Kau perlu cari tahu belati macam apa yang disimpan Kakek Holle. Dan asal kau tahu saja, tapi mungkin juga Doggoll yang memasukkannya sendiri. Tapi untuk apa?” dia berpikir keras di tengah bicaranya yang cepat, lalu mendesah, “kalau saja Gladielle masih selamat, dia pasti akan sangat—Kau tidak apa-apa?”

Seperti tertonjok perutnya ketika mendengar nama Gladielle disebut, Villael membuang muka. Menolak mengakui hatinya bergetar membayangkan bagaimana tubuh Gladielle terjatuh ke jurang. Dia menggelengkan kepalanya, berbohong. “Tidak apa-apa. Sepertinya namaku disebut, yuk kesana!”

“…llael Sillas, Boboll Illaya, Bibbe Zaolla, Gwenolla Grill, Arrelia Trillia, Amarell Linn, Gillyb—Gillybelle! Siapa yang menyuruhmu mendaftar!”

Gilly melompat turun dari atas pohon tumbang.

“Doggoll!”

Panglima Mozilla tersentak. Lalu sambil menunjuk, dia membentak keras. “Kalau begitu kau tidak termasuk!”

Gilly meraung karena kecewa berat. Villael dan Gwenolla yang kebetulan melintas, menunduk memegangi kepala, mengira menjadi sasaran kemarahan Gilly. Tapi ternyata Gilly melempar pedang kayunya ke sisi lain, melesakkannya ke lubang pohon hingga terlihat benar-benar menancap. Anak-anak kecil yang melihat serempak tepuk tangan dan bersorak, tapi langsung berhenti setelah orang tua mereka melarang.

Setelah semua peserta Angkat Pedang berkumpul di teras Rumah Besi, Kakek Holle mengambil alih sambutan. “Nah, sekian saja, putra-putri kalian akan menginap malam ini. Mereka akan dibekali informasi sebelum utusan kerajaan datang esok hari. Jadi, silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing, dan selamat malam.”

Sebelum semua kerumunan meninggalkan tempat, seseorang berteriak. “Kakek Holle, sebentar!”

Kakek Holle yang sedang mempersilahkan peserta Angkat Pedang masuk, mendekati orang yang meneriakinya. Antrianpun terhenti, bahkan sebagian yang terlanjur masuk, kembali keluar karena tampaknya terjadi sedikit keteganggan.

“Hanya ingin memastikan, Anda tidak akan membiarkan anak itu meracuni pikiran putriku, kan?” kata orang berjenggot kambing sambil menunjuk Villael. “Tidak memaksa agar mempercayai rencana Doggoll?”

Semua mata seolah ditarik paksa oleh jari tangannya. Villael berdiri terpaku di tempatnya. Boboll mendekat, menarik lengan Villael yang menolak diajak masuk.

“Apa kau sudah menanyakannya sendiri pada Gwenolla?” kata Kakek Holle tenang.

Gwenolla mendekati ayahnya, yang mukanya ketakutan menatap mata tajam Kakek Holle. Sambil melirik ke arah Villael, Gwenolla berkata, berusaha tegas di bawah tekanan ayahnya. “Aku mempercayainya—ah!”

“Kalau begitu aku melarangmu, pulang!”

Dengan kasar, ayahnya menyeret paksa lengan Gwenolla hingga terjatuh. Namun tidak ada ampun, cengkeraman ayahnya terlalu kuat meski tenaga Gwenolla masih cukup mampu membanting seekor kambing. Villael melihatnya meronta-ronta seperti hendak diantar ke tukang jagal, miris. Tapi tidak ada yang bisa Villael lakukan selain mengumpat dan meneriaki dirinya sebagai pengecut tidak berguna; Gwenolla mempercayaimu, tolol!

Ada yang mendorongnya jatuh, dan itulah yang seharusnya dia lakukan ; Panglima Mozilla menghambur dari Rumah Besi, menyambar pedang dari tangan Boboll dan bergerak tangkas seperti tupai meloncat dengan mudah, menyelipkan pedangnya ke ketiak ayah Gwenolla. “Apa kau tidak mempercayaiku juga, Grill?”

Grill, ayah Gwenolla gemetaran.

“Jadi kau percaya?” seseorang menyeruak, dan sekilas Villael terkejut karena dari tadi tampaknya hanya dia yang bersikap seolah tidak terjadi keributan. Dia menyapu pandangannya sebentar ke Attilla yang tersenyum puas sebelum kembali berhadapan dengan Panglima Mozilla. “Berhentilah membuat warga resah, Mozilla. Keadaan sudah cukup susah tanpa rumor menyesatkan semacam itu.”

“Ini bukan rumor!” teriak Villael sudah berdiri tegap, seperti mendapat kekuatan baru setelah melihat aksi mengagumkan Panglima Mozilla.

“Oh, dasar keluarga pengkhianat!” Bollac lari mengendap-endap, berdiri di sebelah orang yang tampaknya tidak asing baginya. “Kabar baik Illanos—sedang cuti?” dia mulai menjilat, tapi merasa belum saatnya, dia menyerang Villael dengan suara yang menurutnya galak. “Apa kau bisa membuktikannya, bocah ingus—Siapa yang melempar kotoran kuda!”

Mengetahui siapa yang melempar kotoran, Bollac mengendap-endap mengejar Gilly yang lari dengan begitu lincah.

Villael melompat dari teras setinggi satu meter. Dia sudah sering menceritakan kejadian diskaratt-nya, tapi di depan sekitar seratus lebih pasang mata yang menatap marah, butuh lebih dari sekedar nyali. Berusaha mencari kekuatan tambahan, dia menoleh ke Boboll yang menjulurkan tangan, mendukung, tapi tampak ngeri. Dilihatnya Panglima Mozilla menyingkir dari massa yang mulai tidak sabar, dan mendesak maju.

“Doggoll menyadari kekuatannya tidak bisa menembus perlindungan Zetya Illaya.” Villael memulai. “Karena itulah, sekarang dia sedang menyiapkan sesuatu yang lebih tangguh dari Gorzada. Aku tidak mengatakan… sesuatu itu sanggup menembus atau tidak. Keadaan yang kalian anggap tenang selama ini, itu karena… karena Doggoll tidak lagi meneror secara terang-terangan. Tapi bukankah lebih baik kita waspada dari pada tetap bersikap acuh—?”

Tiba-tiba dia mundur selangkah di tengah aksinya. Tubuhnya mulai goyah ketika wajah-wajah mereka seolah menuntut lebih dari sekedar cerita yang sama. Diawali oleh bisik-bisik Bollac yang mengintimidasi, serentak warga berteriak. “Kami butuh bukti!”

Untuk mengatasi teriakan mereka, Villael mengeraskan suaranya. “Dan kalau kalian masih mau mendengar, aku bisa saja…”

Dia celingukan minta bantuan ke siapapun yang tampak sulit membuktikan ucapannya. Mengira beberapa orang ikut membantu dari belakang, hatinya lemas seketika. Attila, Rolland, Qillin dan Bella datang bukan untuk membantu. Wajah-wajah mereka sangat puas, rambut mereka yang nyentrik membuat barisan mereka seperti pagar tanaman tak terawat. Jantung Villael berdegup kencang, dan angin malam yang dingin seakan membeku. Keadaan justru semakin memanas ketika Bollac membagi-bagikan batu dan tongkat kayu ke warga desa yang masih tersisa. Istri-istri mereka tampak berlarian menggendong anak-anaknya keluar gerbang.

“Kau tidak tuli, kan?” cemooh Illanos. “Mereka butuh bukti, bukan omong kosong yang kau sebut sesuatu.”

“Kecuali Anda berani memaksa Doggoll membeberkannya dengan suka rela,” kata Villael. “Dan… dan bukankah sudah jelas, hilangnya Vellia…” rasa bersalahnya kembali menyerang, hingga dia langsung melompat ke bukti lain, dan ini membuatnya bosan, “… lalu batu Collatera, apa kalian tidak curiga kenapa kejadian tahun lalu, batu itu tidak menunjukkan campur tangan Doggoll?”

Sama sekali tidak mempan, Illanos tertawa sinis.

“Cerita versi lain calon pengkhianat, bagus.”

Tidak jelas apa maksud ucapan itu, Villael maju selangkah.

“Apa maksudmu?”

Illanos mencibir seolah Villael cukup pintar bersandiwara. “Cih! Aku pernah mendengar Sillael mengarang cerita yang sama meyakinkan dengan caramu berbohong. Menghasut warga hingga membuat mereka terperangkap jebakan Doggoll. Mengikuti jejak kakakmu rupanya?”

“Kau tidak menuduh Sillael pengkhianat itu, kan, Illanos?”

Betapa leganya Villael, karena Panglima Mozilla menyela, ikut membela meskipun orang-orang yang mengepung berhasil melucuti pedangnya. Namun ketika menyadari Illanos sedang membelokkan topik ke tuduhan menyesakkan tentang Sillael, sama saja menggiringnya pada masalah baru.

“Siapa lagi coba!” teriak Illanos, merentangkan kedua tangan seolah menunggu penyangkalan. “Sillael menghilang setelah kejadian itu. Membawa semua persenjataan entah untuk apa. Atau mungkin justru sekarang dia sudah menjadi kaki tangan Doggoll, barangkali?” dia tersenyum puas, lalu menunjuk penuh kebencian ke hidung Villael, “beruntung ayahmu yang tua itu bisu, jadi tidak perlu repot membongkar kebusukan anak-anaknya.”

“Pengkhianat!”

Teriakan warga desa bergemuruh. Batu melayang serentak seperti ratusan peluru yang dilontarkan ketapel tepat sasaran. Mereka tidak puas hanya dengan sekali lempar. Pentungan tongkat tidak ingin ketinggalan ambil bagian dalam kehiruk-pikukan. Banyak suara berteriak seperti “kyanat”, “bunuh”, “Villael”, “lari” bercampur dengan suara hantaman ke kepala Villael. Dia limbung, dikerumuni tangan-tangan kotor, injakkan keras sepatu bot, pentungan kayu, batu yang menghujam membuatnya jatuh terpuruk. Tubuhnya babak belur, darah mengucur, membuat samar penglihatannya. Panglima Mozilla tampak seperti bayangan yang sedang bertarung menghadapi sepuluh warga bersenjata parang sekaligus. Kakek Holle tidak terlihat jelas, hanya kelebatan janggutnya yang bergerak liar, sementara Boboll dan Gwenolla berkutat dengan geng Atilla di sudut lain. Seolah namanya ingin tercatat dalam peritiwa heroik, Gilly bergumul menggigit tulang kering Bollac.

Tidak imbang. Itulah yang terjadi. Villael dalam gelapnya pandangan, berharap suara derak kaki kuda memasuki gerbang datang menolongnya. Tapi tidak jelas siapa yang datang. Rombongan saudara Vellia-kah? Atau Vellia sendiri yang selalu muncul di saat nyawa Villael di ujung tanduk?

No comments:

Post a Comment