(masih dalam proses editing)
Magmorian bukan negeri gersang, namun juga bukan negeri yang mudah memberikan segalanya bagi rakyatnya. Mereka harus bekerja keras mengolah hasil bumi, laut dan hutan, memelihara hewan ternak, dan sebagian lagi bergulat dengan bahan tambang melimpah ruah di pegunungan Gorian. Lepas dari segala kewajaran dari sebuah wilayah berbukit dan berpantai nan indah, Magmorian menyimpan sejarah kelam.
Zaman memang telah menelan sisa-sisa kegelapan dunia mereka, namun torehan sejarah, manusia mana yang sanggup merubahnya. Inilah yang terjadi di negeri yang dihuni beragam suku, bahasa dan peradaban beragam, di mana kerajaan dan sistim pemerintahan dibentuk agar mampu memberikan ketentraman dan kedamaian rakyatnya setelah terkoyak perang saudara berkepanjangan.
Menyaksikan pusat kota kerajaan Magmorian dari langit cerah saat itu, terlihat pilar-pilar raksasa menempel di dinding bukit, dikelilingi belantara hutan Eratus. Bangunan istananya didominasi warna keperakan dengan kubah dipusatnya berwarna hitam. Menara pengawas mereka menjulang ke langit biru di beberapa bagian, diisi dua prajurit berpakaian zirah, lengkap dengan teropongnya untuk berjaga-jaga. Bukan dari serangan negeri tetangga atau bangsa lain nun jauh di seberang lautan, tapi mengawasi ketegangan yang mungkin terjadi di beberapa titik wilayah kekuasaannya. Semuanya aman, tidak ada gangguan berarti, kecuali riak-riak kebencian yang terlupakan setelah penyerangan desa Kyanathia terhadap desa Zenthia setahun yang lalu.
Dua desa tersebut memiliki peranan penting atas terbentuknya kerajaan Magmorian tiga ratus tahun silam. Dari sanalah kesepakan diambil mengenai siapa yang berhak memimpin Magmorian.
Pemuda-pemuda gagah berani dari seluruh penjuru negeri mendapat kehormatan menjadi prajurit pilihan. Sebagian yang memiliki kualifikasi terbaik memegang kendali atas pasukan berjumlah ribuan sebagai Panglima Perang. Keturunan Zetya dari desa Zenthia lebih banyak memangku posisi tersebut. Tentu saja, ini tidak ada hubungannya dengan keberuntungan, melainkan karena mereka ahli dalam hal strategi perang, berkecakapan luar biasa memainkan bemacam-macam senjata tajam dan juga pengendara kuda yang handal. Sementara di belakang mereka, keturunan Kyanat dari desa Kyanathia bertindak sebagai orang dalam, memberikan nasehat dan petunjuk tak terlihat dengan kemampuannya menerawang kejadian yang dipercayai sedang dan akan berlangsung beberapa tahun ke depan. Raja mereka memberinya gelar Sang Penunjuk.
Namun apa yang terjadi dengan serangan satu tahun yang lalu itu? Pihak kerajaan Magmorian tidak bergerak sama sekali. Mungkin tidak ada petunjuk tak terlihat yang dilihat Sang Penunjuk, hingga sebagian penduduk desa Zenthia harus kehilangan nyawa, anak-anak kecil terlantar tanpa sanak saudara, dan tidak sedikit mengalami gangguan jiwa akibat pembantaian yang teriakannya terdengar mereka pun tidak. Jeritan memilukan itu tidak sampai hingga berbukit-bukit jauhnya.
Desa Zenthia porak poranda, rumah terbakar dan tubuh bergelimpangan di tanah, menyisakan kebencian dan trauma mendalam yang tanpa tragedi itu pun akan terus bersemayam dalam diri keturunan Kyanat dan Zetya. Permusuhan di antara mereka sudah berlangsung sejak desa mereka berdiri, setidaknya itu yang diketahui dari Tugu Peringatan di pusat desa Zenthia, dibangun oleh leluhur mereka, Zetya Illaya.
Terperangkap oleh jebakan pengkhianat.
Penduduk Zenthia digiring keluar melewati gerbang desa saat itu, mengira perlindungan yang diberikan leluhur mereka berhasil ditembus lawan. Kabar ini rupanya dihembuskan oleh orang Zenthia sendiri, yang sampai dengan perjanjian Collatera disepakati belum juga diketahui. Dan ketika semuanya hanya menyisakan penduduk yang terjebak dalam kobaran api yang membakar pemukiman, merekalah yang akhirnya selamat.
Satu bulan berselang setelah kejadian itu, beberapa prajurit kerajaan Magmorian melakukan kunjungan seperti biasanya setahun sekali, merekrut pemuda-pemuda tanggung berusia tujuh belas tahun menjadi bagian dari pasukan kerajaan. Kondisi yang mengenaskan dan berubah total ternyata tidak membuat mereka percaya, kalau keturunan Kyanat lewat pasukan Gorzada-nya melakukan pembantaian keji itu, bahkan oleh sebagian prajurit yang keluarganya tak berbekas sekalipun.
Batu Collatera, simbol perjanjian damai yang tersimpan aman di istana tidak menunjukkan adanya campur tangan desa Kyanathia. Tak ada bukti, maka tidak ada tindakan berarti, atau bisa jadi kerajaan telah dikuasai Sang Penunjuk.
“Collatera masih sempurna, tak tergores sedikit pun.”
Kalimat itulah yang selalu menjadi pegangan pihak kerajaan agar desa terbaiknya itu tetap dalam situasi damai, dari luarnya saja…
Pemuda-pemuda gagah berani dari seluruh penjuru negeri mendapat kehormatan menjadi prajurit pilihan. Sebagian yang memiliki kualifikasi terbaik memegang kendali atas pasukan berjumlah ribuan sebagai Panglima Perang. Keturunan Zetya dari desa Zenthia lebih banyak memangku posisi tersebut. Tentu saja, ini tidak ada hubungannya dengan keberuntungan, melainkan karena mereka ahli dalam hal strategi perang, berkecakapan luar biasa memainkan bemacam-macam senjata tajam dan juga pengendara kuda yang handal. Sementara di belakang mereka, keturunan Kyanat dari desa Kyanathia bertindak sebagai orang dalam, memberikan nasehat dan petunjuk tak terlihat dengan kemampuannya menerawang kejadian yang dipercayai sedang dan akan berlangsung beberapa tahun ke depan. Raja mereka memberinya gelar Sang Penunjuk.
Namun apa yang terjadi dengan serangan satu tahun yang lalu itu? Pihak kerajaan Magmorian tidak bergerak sama sekali. Mungkin tidak ada petunjuk tak terlihat yang dilihat Sang Penunjuk, hingga sebagian penduduk desa Zenthia harus kehilangan nyawa, anak-anak kecil terlantar tanpa sanak saudara, dan tidak sedikit mengalami gangguan jiwa akibat pembantaian yang teriakannya terdengar mereka pun tidak. Jeritan memilukan itu tidak sampai hingga berbukit-bukit jauhnya.
Desa Zenthia porak poranda, rumah terbakar dan tubuh bergelimpangan di tanah, menyisakan kebencian dan trauma mendalam yang tanpa tragedi itu pun akan terus bersemayam dalam diri keturunan Kyanat dan Zetya. Permusuhan di antara mereka sudah berlangsung sejak desa mereka berdiri, setidaknya itu yang diketahui dari Tugu Peringatan di pusat desa Zenthia, dibangun oleh leluhur mereka, Zetya Illaya.
Terperangkap oleh jebakan pengkhianat.
Penduduk Zenthia digiring keluar melewati gerbang desa saat itu, mengira perlindungan yang diberikan leluhur mereka berhasil ditembus lawan. Kabar ini rupanya dihembuskan oleh orang Zenthia sendiri, yang sampai dengan perjanjian Collatera disepakati belum juga diketahui. Dan ketika semuanya hanya menyisakan penduduk yang terjebak dalam kobaran api yang membakar pemukiman, merekalah yang akhirnya selamat.
Satu bulan berselang setelah kejadian itu, beberapa prajurit kerajaan Magmorian melakukan kunjungan seperti biasanya setahun sekali, merekrut pemuda-pemuda tanggung berusia tujuh belas tahun menjadi bagian dari pasukan kerajaan. Kondisi yang mengenaskan dan berubah total ternyata tidak membuat mereka percaya, kalau keturunan Kyanat lewat pasukan Gorzada-nya melakukan pembantaian keji itu, bahkan oleh sebagian prajurit yang keluarganya tak berbekas sekalipun.
Batu Collatera, simbol perjanjian damai yang tersimpan aman di istana tidak menunjukkan adanya campur tangan desa Kyanathia. Tak ada bukti, maka tidak ada tindakan berarti, atau bisa jadi kerajaan telah dikuasai Sang Penunjuk.
“Collatera masih sempurna, tak tergores sedikit pun.”
Kalimat itulah yang selalu menjadi pegangan pihak kerajaan agar desa terbaiknya itu tetap dalam situasi damai, dari luarnya saja…
Hmm... menarik. Diawalnya udah dijelasin kalau cerita ini punya sejarah panjang.
ReplyDeleteTapi, aku agak bingung sama timeline-nya. Apalagi banyak banget keterangan yang cuman dijelasin nama, ga ada penjelasan lebih lanjut lagi. Gimana kalo dijelasin pelan2 deh, deskripsi soal kerajaannya udah bagus, mungkin habis gitu mulai deskripsi soal kedua desa, hubungan antara keduanya, baru soal pembantaian.