Tuesday, November 3, 2009

BAB 2. Buronan : Pengkhianat Kyanathia

Ledakan cukup kuat terjadi berkilo-kilo meter jaraknya. Suaranya bergema, membuat kawanan kelelawar berhamburan keluar menuju kegelapan malam melalui lubang besar, dari mana sinar rembulan masuk menjadikannya penerangan satu-satunya. Villael berada dalam gua, tepatnya terkapar di atas tanah basah setelah terlebih dahulu menghantam dinding gua. Punggungnya sakit sekali, dan darah kental meleleh dari mulutnya. Belum sempat mengangkat tubuh kurusnya, berusaha begitu keras, seseorang berteriak memanggil namanya.

“Villael,” seru laki-laki yang langsung dia kenali dari suaranya. Boboll, sahabatnya berusaha membantunya berdiri, namun Villael hanya bisa duduk bersandar, mengatur nafasnya. Ia memeriksa setiap jengkal bagian tubuh Villael hingga serba salah karena saking banyaknya bagian yang sakit ketika disentuh. “Kau tidak—oh pasti sakit sekali. Manusia laknat!”
Villael tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah Boboll menyambar belati berukir yang tidak disadarinya masih tergenggam erat di tangan kanannya.

Boboll berdiri tegap, setelah sebelumnya lari seperti orang mabuk ke seberang. Ujung belatinya sudah menempel di leher seorang perempuan. Hanya dengan satu gerakan saja, nyawa perempuan tersebut pasti melayang seketika. Namun nyatanya Boboll belum berani melakukannya, hanya bergerak ke samping hingga Villael bisa melihat posisi mereka.

“Kau belum pernah membunuh,” kata perempuan berambut sebahu itu terdengar mantap, tidak terlihat gentar di bawah ancaman sebilah belati.

“Sebentar lagi,” jawab Boboll, sekilas matanya melihat ke bawah, ke sesuatu yang berkilat di tangan lawannya. Dan meskipun ia mengatakannya dengan lantang, tetap saja ada keraguan di setiap suku katanya, terdengar menggelikan. Bahkan posisinya yang lebih tinggi dari perempuan yang terkapar di lantai gua tersebut, tidak serta merta membuatnya unggul. Tangannya mulai kebas dan bergetar saat berkata, “permintaan terakhir!”

Perempuan itu hanya tersenyum. Ia tahu lawannya sedang berusaha mengulur waktu dengan pertanyaan sok ksatria.

“Kau yakin, belatimu lebih cepat dari belati perak milikku?”

Hening sejenak. Masing-masing seolah sedang mengukur kekuatan sementara kondisi mereka sama-sama terluka. Ada goresan merah di lengan Boboll yang terjulur. Pegangannya mulai kendur hingga tangan kirinya bergerak pelan memegangi lengan kanannya agar lebih mantap. Dan mulut perempuan itu, jelas sekali ada bekas darah.

Kemudian perempuan itu melanjutkan, “kalian, keturunan Zetya tidak pernah sadar. Selemah apapun musuh kalian, mereka bisa dengan mudah membunuh.”

“Tidak di tempat kami, bukan?” jawab Boboll, sesaat tampak puas lalu mengerutkan dahi.

“Bersembunyi... Kalian begitu bangga?” perempuan itu menyeringai. Boboll sangat terhina karenanya, namun sudah terlambat. “Bangga berlindung di tempat leluhur kalian sementara Doggoll sebentar lagi menggerogoti dari dalam?”

“Jangan banyak omong!” gertak Boboll. “Katakan!”

“Itu permintaan terakhirku, memberi kalian peringatan. Jadi,” katanya, darah mengalir dari sudut bibirnya yang tipis, meludahkannya beberapa kali sebelum berkata lagi, “kalau kau benar sanggup menebas leherku, lakukan!”

Villael yang memperhatikan dengan tegang percakapan mereka otomatis bereaksi. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Boboll akan menarik belatinya sementara senjata yang sama akan menusuk alat vitalnya sendiri.

“Berhenti!” dia berseru, mencoba berdiri dan berhasil meski sempoyongan—Villael pernah mengenalnya, bahkan berbagi perasaan dengannya ketika usianya sepuluh tahun… berada dalam tubuh gadis kecil itu, mungkinkah—“Kau, Gladielle…”

“Dari mana kau tahu namaku?” tanya Gladielle, masih bersikap tenang.

Tanpa sedikitpun melepas pandangannya dari mata Boboll yang mulai berair, ia berdiri dengan hati-hati agar tidak terkesan hendak menyerang lebih dulu. Belati peraknya bergerak dari bawah ke atas seperti membelah perut Boboll. Dan kini, titik yang akan menjadi amukan ujung belati seandainya salah satu dari mereka bertindak ceroboh adalah kerongkongan mereka masing-masing.

“Iya,” kata Boboll, tampak bingung antara menoleh ke Villael atau mempertahankan keberaniannya menatap mata Gladille yang semakin menusuk. “Bagaimana—perempuan jahat ini, dia hampir saja mencelakaimu. Aku melihatnya—menggantungmu seperti mainan, trus mengikatku, juga menyumpal mulutku dengan tanah!”

“Justru aku yang menyelamatkan kalian,” bantah Gladielle sambil menarik tangannya, melangkah mundur mengambil jarak aman, lalu membelakangi Boboll, berdiri di tepi jurang yang menganga dalam gua. Villael merasa lega, sekaligus takut andai Gladielle terpeleset jatuh. “Kau—“ dia menujuk Villael tanpa berbalik badan tapi tepat, lalu berusaha menjelaskan, “kau mati karena serangan mereka. Saat ruhmu dalam kondisi disskarat—Aku mempelajari bagaimana cara memanggil ruh, dan itu yang aku lakukan barusan, mengembalikan ruhmu ke tubuh asalmu,“ kali ini menunjuk Boboll, “bukankah kalian tahu soal itu, kematian karena kutukan mereka tidak membuat ruh kalian lenyap begitu saja?... ruh kalian masih bisa diselamatkan, dan seharusnya kalian berterima kasih untuk itu. Satu hal lagi, aku bisa mengalahkan Gorzada kalau kalian tidak ikut campur.”

Tidak peduli dengan alasan itu, Boboll menyerang dengan pertanyaan asal-asalan, “tapi kau lari terbirit-birit, perempuan?”

Boboll melompat mundur, terkejut ketika Gladiell tiba-tiba memutar badannya, berteriak seolah menyerukan kutukan maut dengan belati peraknya.

“Karena aku belajar dari pengalaman! dan jangan panggil aku perempuan—Aku sudah menyiapkan jebakan untuk mereka, memasang jaring perak di lereng gunung, dan selusin anak panah bermata perak siap menembus jantung mereka, tapi kalian dan teman-teman kalian membuat semua usahaku sia-sia—”

“Aku sungguh minta maaf,” kata Villael, berdiri goyah di sebelah Boboll, yang belum puas dan tampak marah atas sikap lunaknya. “Kami tidak tahu soal itu… sekali lagi, maaf.”

“Tunggu,” kata Boboll, otomatis mendongakkan kepala, menunjukkan tonjolan jakunnya, dan berharap Villael tahu apa maksudnya. Tapi Villael hanya menggeleng, Boboll merana liar. “Mana mungkin! Dengar… temanku boleh saja percaya, kau pasti sudah mengguna-gunai, aku tahu itu, tapi—Kau dan setan-setan itu berasal dari desa Kyanathia! Kau pikir, apa aku kelihatan tolol hingga mudah percaya oleh bualanmu itu? Kemampuanmu memanggil ruh, omong kosong! Dan lagi, cerita bohong tentang jebakanmu itu, Hah! Duniamu tidak lepas dari sihir jahat!—bagaimana dengan jaring perak dan selusin anak panah, apa Doggoll menyuruh pengikutnya beralih profesi menjadi pandai besi?”

“—Aku seorang pengkhianat!” jawab Gladielle menggema cukup lama, ada kebanggan saat mengucapkannya.

“Lelucon apa lagi yang sedang kau mainkan, hah?” kata Boboll putus asa. “Tanda Kesetiaan!”

“Aku mengalami banyak penderitaan karena tanda setan ini,” kata Gladielle pelan, tampak tidak berniat berdebat lebih lama, dan ketika Boboll hendak membuka mulut, ia memotongnya, “cukup—bukan urusanku kau mau percaya atau tidak…”

Villael merasa ada yang lebih mendesak daripada sekedar mengetahui siapa menolong siapa, atau keputusan mempercayai Gladielle sama beresikonya dengan menjabat kepala crawler. Mereka harus segera angkat kaki dari tempat itu kalau masih ingin selamat. Dia melangkah tertatih, memperhatikan lorong masuk gua sementara Boboll dengan sifat keras kepalanya terus mencecar Gladielle yang tampak sudah muak.

“… Oh, begitu?” akhirnya Boboll berujar ganjil, Villael malah tidak tahu begitu untuk apa, karena percakapan yang dia lewatkan terdengar seperti dengungan lebah yang sebentar lagi sarangnya dijadikan Daicco—minuman penghilang rasa gelisah. “Jadi apa maksud semua ini, menolong kami, musuhmu, yang kedengarannya mustahil…”

“Pertanyaan sama yang berhak kuajukan,” kata Gladielle. “Kenapa kalian ceroboh menolongku?”

“Sudahlah,” kata Villael ketika mendengar ada suara lain dari lorong yang membelok di depannya. “Boboll, Gladielle benar—kalau dia mau, dia sudah membunuh kita dari tadi…”

Meskipun Boboll akhirnya pasrah oleh bahasa tubuhnya yang menyuarakan kelelahan, toh dia tetap bersihkeras menawarkan bantuan, menyangga tubuh Villael agar bisa berjalan.

“… terima kasih,” ucap Villael sambil merangkulkan tangannya di bahu Boboll. Sejenak Boboll akan menjawab sama-sama, tapi berubah menjadi dengusan ketika tahu ucapan itu untuk siapa. “Atas apapun yang kau lakukan, Gladielle.”

“Kita pergi saja dari sini,” ajak Boboll. “Villael, tunggu apa lagi, sih?”

“Gladielle, ikut bersama kami,” katanya, berulang kali kepalanya menengok ke belakang, seolah bahaya lain akan muncul dari kegelapan lorong. Dan waktu yang terbuang percuma semakin mengantarkan nasib mereka pada kematian. “Mereka sedang kemari.”

Terlambat sudah, pintu gua meledak disertai kilatan cahaya kehijauan. Batu-batu dinding bercampur debu berhamburan, mengaburkan sosok langsing berpakaian mengkilap yang menyeruak keluar. Lagi-lagi seorang perempuan… dengan rambut sepinggang, terurai lembut melekuk di bahunya. Kilatan batu shapire menghiasi dahinya, tergantung oleh untaian emas yang membelah garis kepalanya. Lehernya jenjang, tertutup rapat oleh kerah pakaian superketat. Namun tudung hitam yang tersampir dipunggungnya mampu mengurangi keseronokan perempuan itu berbusana, masih terlihat anggun dengan kain beludru bercorak bunga cloropetra transparan melapisi dadanya. Dan Villael tampaknya tahu siapa perempuan cantik namun luar biasa keji yang berdiri di hadapannya itu.

“Gladielle!”

Villael berteriak, bukan memanggil perempuan yang semakin jelas tampak tak secantik penampilannya, melainkan Gladielle yang terjatuh dengan anggun ke dalam jurang.

“Sukurlah, bukan salah kita dia tewas. Sepertinya dia sengaja memilih bunuh diri,” kata Boboll sambil menyelipkan belatinya. “Siapa perempuan itu? Apa kau memanggil Vellia-ku untuk menjemput kita?”

“Jangan!” seru Villael sebelum Boboll mendekati perempuan itu dengan girangnya, hingga lupa segalanya. Villael terjatuh, namun berhasil menarik pergelangan kaki Boboll, sayang tidak cukup kuat hingga kembali terlepas. “Cepat pergi dari sini—mereka Gorzada, lewat celah itu!”

Benar saja, ada celah sempit untuk menyelipkan tubuh mereka, dan mungkin saja tembus keluar, karena selain dari atas gua, lewat sanalah sebagian kelelawar keluar masuk. Villael beranjak ingin memimpin jalannya, namun punggungnya belum bisa diajak kompromi. Boboll ikut meringis dan berinisiatif memanggulnya lagi, menapaki lantai gua. Permukaannya berlumut, sangat licin, dan tampaknya mereka tidak menyadari beberapa saat lamanya gara-gara Boboll terlalu sibuk berdebat ria.

Untuk sampai ke sana, Boboll terpaksa menyeberangi aliran air yang jatuh ke jurang, lalu menyingkirkan bongkahan batu yang cukup berat untuk bisa diangkat satu orang selagi punggungnya berusaha menjaga keseimbangan, jangan sampai Villael terjatuh. Belum lagi mereka juga harus memanjat dinding gua setinggi tiga meter.

“Celaka, sial betul nasib kita sobat.”

Boboll terus berusaha, meski tampaknya sia-sia saja. Bongkahan batu itu masih menghalangi jalan dan tidak mau bergeser sedikitpun, padahal perempuan itu sudah berdiri beberapa meter di belakang mereka, berkacak pinggang seolah menyaksikan keputus-asaan sepasang tikus, mencari lubang semut untuk meloloskan diri dari ancaman kucing betina.

“Mau lari kemana kalian?”

“Kemana saja asal selamat. Tapi aku sarankan, lebih baik kau pergi dari sini… sebelum… hah!” Boboll berbalik badan, menyerah pada kenyataan, lalu menurunkan Villael untuk melanjutkan ucapannya yang terputus karena kehabisan nafas, “Nah… cepatlah pergi sebelum kami berubah pikiran, nona manis.”

“Diucapkan dengan sangat pantas.” Dari caranya berbicara, perempuan itu sama sekali tidak ada manis-manisnya. Suaranya melengking meski yang keluar adalah pernyataan sederhana. Kemudian apa yang terdengar dari mulutnya selanjutnya membuat Villael dan Borgoll naik darah, tapi wajah mereka yang memerah tidak bisa diharapkan mampu membalikkan tubuh perempuan itu agar meninggalkan mereka berdua, “oleh seorang Zetya yang tolol dan sok pemberani.”

“Menghadapi perempuan sepertimu, tentu kami berani,” kilah Villael.

“Tanpa senjata,” kata perempuan itu, perlahan mendekat. Tangan terlipat di dadanya, dan Villael pernah melihatnya melakukan hal yang sama, dimana kemudian Gladielle menyerang dengan kekuatannya. Gizelle, Villael ingat nama dan kesombongannya, terpancar dari wajahnya yang runcing. “Oh, belati karatan… apa yang bisa kau lakukan?”

Boboll rupanya sudah menyerahkan belatinya, mengingat Villael jauh lebih membutuhkannya saat itu, sementara tangannya memegang batu berlumut yang kemudian tergelincir jatuh saking licinnya.

“Kesombonganmulah yang membuatmu tertimbun lemari lima tahun yang lalu. Kau sudah lupa, Gizelle?” kata Villael mengingatkan, membuat langkah Gizelle terhenti.

Boboll tercengang mendengar begitu banyak perempuan dari desa Kyanathia yang dikenal Villael.

“Kebanggaan macam apa yang membuatnya menceritakan kegagalannya menjadi seorang laki-laki,” kata Gizelle, berusaha tenang, meskipun Villael menyaksikan dengan jelas dadanya naik turun. “Aku berhasil membunuhnya, kau tahu?”

Villael tertawa menyeramkan. “Lalu apa yang kau cari, mengejar arwah Gladielle yang bersembunyi, di sini?”

Dia membusungkan dadanya, dan memberi isyarat cabul lewat gerakan tangannya. Boboll terkikik dan langsung berdehem, mengeluarkan dahak yang tidak ada. Tentu saja cemoohan itu membuat Gizelle berang dan sama sekali tidak lucu. Villael memang bukan ahlinya, tapi sepertinya layak diucapkan saat itu.

“Aku sedang tidak ingin bermain-main, darah kalian terlalu menjijikan bagiku,” kata Gladielle, lebih sigap dan wapada dari sebelumnya. “Katakan, di mana Gladielle kalian sembunyikan?”

“Menurutmu, di mana aku harus menyembunyikannya? Tidak ada banyak ruang di sini, kecuali kau memperhitungkan kemungkinan si Doggoll memanggilnya.”

“Lancang!” Rupanya Gizelle lupa untuk tetap bersikap tenang dan dingin. “Aku mendengar kalian menyebut namanya!”

“Jatuh,” Boboll yang dari tadi terpana oleh kecantikannya mendadak bersuara lantang. “Aku membunuhnya, dengan tangan kosong dan sedikit tusukan belati karat sebagai hadiah, lalu aku melempar bangkainya ke jurang. Sadis, bukan?”

Boboll tersenyum penuh kemenangan dan itulah yang terakhir bisa ia lakukan, karena tiba-tiba api menyembur dari tangan Gizelle, menjilat-jilat menyerang mereka. Villael melindungi wajahnya dengan belati, membelah kobaran api. Mereka tidak terbakar, justru dinding gua di belakang mereka memerah dan mengeluarkan bau gosong menyengat. Sekali lagi serangan lebih dahsyat menghujam, beruntung Boboll berhasil berkelit menarik lengan Villael yang rupanya tidak siap dengan serangan berikutnya itu. semburan api kali itu lebih besar hingga mampu membakar dinding gua yang basah, bahkan aliran air di bawahnya pun seolah berubah menjadi aliran api, meledakkan seisi jurang. Gladielle di dalam sana ikut terbakar, pikir Villael.

“Bagaimana… Masih ingin bermain-main denganku?” teriak Gizelle, tidak henti-hentinya melancarkan api-apinya ke gundukan batu lain, di mana tubuh-tubuh malang mereka berlindung. “Aku sudah siap meladeni kalian!”

Gua jauh lebih terang dari pada di pelataran hutan. Asapnya mulai mengaburkan pandangan, memenuhi setiap celah sempit hingga lubang atas gua seolah menjadi cerobong asap, mengepulkan jelaga yang melekat ratusan tahun. Tidak ada jalan keluar lagi untuk mereka. Mereka akan ikut terpanggang seperti Gladielle. Dan sekilas tubuh Gizelle hanya tampak seperti siluet hitam, menari begitu lincah dengan kilatan api menyambar membabi buta.

“Apa yang harus kita lakukan?” sengal Boboll.

Jangankan menjawabnya, Villael terlalu shock melihat Boboll masih bisa membuka mulut, menanyakan apa yang harus mereka lakukan.

“Serulingku!” Akhirnya Villael berhasil membuka mulut. “Mana seruling besiku?”

Terbatuk-batuk ketika menyuarakan keheranan, Boboll sangat menyesal jalan keluar yang ia harapkan hanya sebuah seruling. Tapi dalam kebingungan itu, sementara paru-parunya menghirup banyak asap, Boboll mengambil seruling besi di pinggangnya.

“Aku memungutnya ketika terjatuh. Villael, kau tidak bisa melakukannya,” katanya dan langsung kembali menyelipkan seruling itu setelah usaha Villael hanya menghasilkan batuk mengenaskan. Dan disadarinya serangan Gizelle sudah mulai berkurang. Pekik kemarahan dan ledakan yang menggelegar, tampaknya berasal dari dua orang yang saling serang. “Ada yang menolong kita!”

“Benar,” jawab Villael singkat.

Sayup-sayup terdengar teriakan yang datangnya pasti bukan dari Gizelle, atau mustahil sekali dari Gladielle. Suaranya terlalu merdu untuk perempuan sebengis Gizelle atau sekeras Gladielle.

“Lari!” perintah suara merdu itu dari seberang.

“Vellia-ku!” seru Boboll bergairah. “Aku tahu, dia pasti akan menolong kita, tapi lari kemana kita?”

Duar…..


Ada yang menembus gundukan batu tempat mereka berlindung dengan dentuman keras, dan getaran yang dihasilkan putaran anak panah langsung melambungkan harapan mereka.

“Ambil!” perintah Villael yang langsung disertai gerakan cepat tangan Boboll meraih anak panah.

Panah Terbang,” kata Boboll, memandang anak panah yang masih bergetar hendak kembali terbang dengan posisi tegak lurus. “Villael, naik ke punggungku! Kita akan lewat sana!”

Tidak perlu menunggu terlalu lama, Villael sudah melingkarkan kedua tangannya di leher Boboll. Dengan hentakan keras anak panah, Villael dan Boboll terangkat ke atas, melewati satu-satunya lubang besar di atas gua, dan berhasil keluar dengan pendaratan yang layak dalam kondisi darurat. Mereka terpelanting masuk ke semak-semak di atas tebing yang lumayan curam.

Berjibaku sebentar, Villael bersukur masih bisa melihat Boboll sempoyongan mendekatinya.

“A-apa?”

“Serulingku,” jawab Villael yang berdiri dengan bantuan pohon eratus muda untuk menopang tubuhnya. “Aku akan mengirim pesan untuk ayahku, atau siapapun yang sedang bermeditasi. Tolong, pegang dulu belati ini.”

Tampaknya Boboll tidak memperhatikan. Dia justru menepi, memandang ke bawah. Dilihatnya serombongan Gorzada mendekati pintu masuk gua. Menunggangi kuda perang berwarna hitam legam, jubah hitam mereka berkibar dalam kegelapan malam.

“Jangan,” bisik Boboll, sambil berjalan jongkok dengan jari menempel di bibirnya yang tebal. “Mereka mengepung gua.”

“Tapi Vellia,” kata Villael. “Tidak mungkin kita meninggalkannya sendirian. Boboll, ini kesempatan kita satu-satunya. Vellia tidak akan sanggup menghadapi mereka.”

“Tidak,” kata Boboll, agak ragu. “Tidak kalau Vellia-ku bisa mengulur waktu sedikit sampai kita tiba di desa.”

“Zenthia terlalu jauh, tambah lagi dengan kondisi kita yang… kau lihat, aku bahkan tidak sanggup mengangkat kakiku!”

“Ssst,” bisik Boboll putus asa, menyeret Villael masuk ke semak-semak.

Villael tahu, Boboll tidak mengharapkan hal terburuk menimpa Vellia-nya, tapi dia juga mengakui pilihannya mengirim pesan sangat beresiko. Lantunan serulingnya pasti akan terdengar dan sebelum pesan mereka sampai ke telinga penyelamatnya, mereka akan terbunuh, tiga-tiganya, kecuali keajaiban datang untuk kesekian kalinya.

Pilihan mereka memang cukup sulit. Mereka yakin seandainya melawan, kekuatan mereka belum sanggup untuk sekedar melarikan diri. Lalu memutuskan untuk pulang sementara malam semakin gelap juga bukan pilihan. Pegunungan Gorian terlalu banyak menyimpan misteri untuk dilalui dua pemuda tanggung tanpa senjata lengkap. Belum lagi binatang buas yang beberapa di antaranya masih misterius dan mengerikan. Akhirnya mereka memutuskan tetap di tempat, saling diam membayangkan pertempuran tidak seimbang di bawah mereka. Mereka hanya berharap, Vellia menggunakan keahlian mememainkan busur panah dan kesempatan sekecil apapun untuk bersembunyi.

Mereka lama saling pandang, dan Villael menyaksikan dalam keremangan semak belukar, air mata Boboll bergulir jatuh. Villael mengusapnya, berharap tidakannya bisa menghilangkan kepedihan Boboll.

“Vellia-mu pasti selamat,” hibur Villael yang yakin sekali tidak akan mampu membendung air mata yang membanjir.

Malam itu terasa malam terpanjang dalam hidup Villael, gelisah kalau hanya tetap diam. Tanpa sepengetahuan Boboll, beberapa kali Villael memaksa diri mengecek pertempuran, sayang hanya asap tebal yang memenuhi lubang itu, dan kembali hilang di balik semak-semak. Boboll lebih banyak meringkuk, sibuk berdoa agar saudara-saudara Vellia merasakan kesulitannya dan datang membantu.

Detik demi detik berlalu, yang tanpa mereka sadari sudah berganti menjadi berjam-jam. Dan ketika suara pertempuran telah menghilang, ketika lubang gua berhenti mengepulkan asap, ketika rombongan Gorzada meninggalkan area pertempuran, dan ketika hanya terdengar lolongan anjing hutan memecah kesunyian, saat itulah, yang mereka tahu adalah… Vellia mengaku kalah.

Boboll terkulai lemas terserang kantuk, tapi Villael tahu matanya masih terbuka lebar. Memandang kerlap-kerlip yang bertabur cemerlang di langit gelap, mereka seolah bersama-sama mengutuk bintang yang bertepuk tangan saat tirai panggung menutup adegan memilukan itu.

***

Bagai tetesan kristal cair, embun pagi mulai berjatuhan dari pucuk dedaunan. Semilir angin berhembus, menebarkan aroma dingin bunga cloropetra yang merambati batang pohon eratus. Warna hitam yang mendomanisinya semakin memperkokoh keangkeran hutan. Pohon-pohon eratus sudah berusia ratusan tahun, menjulang tinggi dengan lingkar batang satu meter membuat sepasang rusa dewasa yang merumput seperti miniature hewan mainan. Segerombolan keluarga besar monksan meluncur turun naik lewat sulur-sulur pohon yang menjuntai dan saling mengait. Semakin riuh rendah ketika burung fernion mulai mendendangkan ajakan bangun pagi anak-anaknya.

Sinar mentari yang berhasil menerobos tebalnya kanopi hutan, telah membangunkan seisi hutan untuk melanjutkan hidup. Tapi mereka yang semalam selamat dari maut masih tertidur, beradu punggung demi sedikit kehangatan. Baru setelah mendengar bunyi icik-icik, perlahan Villael membuka mata. Saat menyadari kalau ternyata burung mungil putih berjengger merahlah yang membuat suara berisik, senyumnya langsung mengembang jelek dan kembali menutup mata.

No comments:

Post a Comment