Tetap saja, hal ini menjadi sangat aneh bagi Arnold. Bukan tentang tenda yang mendadak muncul, melainkan jalan pikiran Si Petung. Kalau tahu bagaimana membuat tempat singgah dengan mudahnya, lalu untuk apa mereka bersusah payah mencari pondok yang kini bersembunyi di balik bukit, pikir Arnold.
“Karena biasanya anak-anak yang memintanya terlebih dahulu,” itu alasan Si Petung.
Jadi itulah yang diminta Sandra; membuat tenda untuk bermalam sementara mereka bertukar berita.
Sandra, gadis yang sudah berusia 17 tahun tentu saja sangat marah disebut anak kecil. Namun demi kekagumannya pada Si Petung terpelihara dengan baik, dia mendadak tuli dan tetap menjadi penggemar beratnya. Entah apa yang bisa dikagumi dari Si Petung, sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit didapatkan jawaban yang masuk akal. Hanya menimbulkan kecemburuan, dan siapa pun pasti akan menganggap dunia ini sangat tidak adil, terlebih bagi Arnold.
Perempuan bersyal merah itu berasal dari dunia yang kau tidak akan pernah tahu jika tidak membaca kisah ini hingga tuntas.
Dunia itu bernama Dunia Petualangan.
Dan di sana, seperti yang diceritakan Sandra, sedang terjadi malapetaka. Penyihir gendut yang menyebut dirinya sebagai ratu Greede Olive sedang merencanakan sesuatu. Menutup semua jalur tikus yang menghubungkan duniamu dengan Dunia Petualangan. Gawat, bukan? Alasannya, karena dia tidak ingin manusia seperti Si Petung keluar masuk dan mempelajari ilmu sihir. Sandra menduga masalah ini juga berkaitan erat dengan penculikan dua anak raksasa di hutan Ergo, serta perekrutan bocah-bocah malang untuk diangkat menjadi anak asuh yang nakal.
Akhirnya Sandra menutup ceritanya dengan satu kalimat yang sangat anggun di mata Arnold, “Jalur tikus Hutan Larangan yang masih tersisa.”
“Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Jadi coba kau ulangi sekali lagi,” pinta Arnold yang bukannya menyimak cerita, justru menyimak wajah Sandra yang ekspresif.
“Oh, tidak Arnold. Ada yang lebih mendesak daripada kabar buruk tentang si Greede Olive. Kau tidak lupa, bukan? Sepupumu, Willy,” kata Si Petung.
Kali ini dia membuat Arnold ternganga. Ternyata Si Petung tidak sepelupa tampangnya kalau menyangkut keselamatan Willy.
“Willy?” seru Sandra.
“Siapa!” teriak Arnold reflek.
“Bukan apa-apa,” kata Si Petung tenang. Dia bangkit dari duduknya dan mengambil tiga buah cangkir (hitungan versi Si Petung tentu saja empat buah cangkir) dari sudut ruangan. Di sebelahnya, di sebuah perapian, bertengger ceret besi yang sedang bersiul-siul; tanda air telah mendidih. “Ini hanya suara ceret. Dia memang suka menyanyi rock n roll. Kopi?”
Si Petung menuangi cangkir Sandra dengan susu madu rasa stroberi. Namun ketika sampai di cangkir Arnold, yang keluar minuman beralkohol.
“Oh, ini tidak baik untuk kesehatan, Arnold?” maka dia menggantinya dengan minuman yang sama dengan Sandra.
“Aku tidak memintanya,” Arnold jelas merasa tidak bersalah. Karena dia memang tidak mengucapkan satu patah katapun tentang minuman. Dia terlalu trauma dengan nyanyian ceret yang jelek sekali.
“Tapi kau menginginkannya,” Si Petung geleng-geleng kepala dan menuang sendiri cangkirnya dengan Knocout—jenis minuman beralkohol hasil fermentasi lada dalam jumlah besar. Beruntung Arnold tidak mengenal jenis minuman itu. Karena selain menghangatkan, minuman itu bisa sangat memabukkan.
Saat Sandra meminum cangkirnya, mata Arnold tidak pernah lepas dari gerakan bibirnya yang mencecap sisa manisnya susu madu rasa stroberi tersebut, sampai Arnold lupa daratan. Arnold meminum cangkir berisi Knocout milik Si Petung. Arnold pun langsung pingsan di tempat.
“Nah, sepertinya ini lebih baik,” kata si Petung yang entah kenapa mampu mengangkat tubuh gemuk Arnold ke atas ranjang.
Jadi, jelaslah sudah. Berdasarkan keterangan ciri-ciri fisik Willy; badan ceking seperti cacingan, dengan kulit tanpa bintik-bintik, berwajah bulat telur dengan mata biru cemerlang. Hidung mancung menggemaskan hingga kau ingin terus mencubitnya. Lalu tingginya sama dengan Arnold, namun tidak selebar Arnold yang terlalu gendut untuk ukuran bocah seusianya. Oh, Sandra juga bilang, rambut Willy berwarna hitam legam, selalu rapi dan sehalus sutra. Soal tingkah laku, karena Sandra pernah berpapasan dengan Willy, dia mengatakan kalau Willy anak yang baik, sopan dan tahu tatakrama. Menurutnya hanya dua kekurangannya , Willy terlalu sensitive dan keras kepala.
“Wah, secara umum dia tipe anak yang manis kukira,” komentar Sandra. “Tapi aku tetap menjadi penggemarmu, Petung.”
“Lalu kemana dia pergi, atau kenapa dia bisa sampai ke dunia petualangan?” tanya Si Petung. Baru kali ini dia terlihat serius dan berwibawa, tanpa meninggalkan kepikunannya. Sebenarnya kalau dia tidak ceroboh, seharusnya dia tidak menulis dengan sihirnya; cara memasuki dunia petualangan di semua perabotannya.
Sandra beranjak dan duduk di sofa. Membenamkan dirinya hingga nyaris tenggelam saking empuknya. Tapi dari sana terdengar suara lelah, “kalau kau tanyakan itu padaku, aku tidak tahu. Terakhir kali yang kuingat dia bilang ingin bertemu raksasa. Dasar anak ingusan, tidak tahu kalau raksasa bisa membunuhnya dengan sekali bersin.”
“Ada orang di dalam?” sebuah suara yang terkenal bergaung di luar tenda. Si Petung kaget bukan main. Itu tidak mungkin suara Milly. Milly sedang tidur atau sedang dinasehati agar tidak bergaul dengan Petung, pikirnya.
Si Petung dan Sandra berhambur keluar. Di depannya berdiri bocah perempuan menggigil kedinginan. Wajahnya terlihat pucat saat Sandra menggumamkan mantra untuk memanggil kawanan kunang-kunang.
“Milly, masuk,” kata Si Petung, menyampirkan selimut bulu beruang usang di bahunya.
Milly membawa tas ransel, sangat besar sampai dia terbanting saat meletakkannya di atas sofa dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Malam sudah sangat larut hingga saat itu Si Petung membiarkan Milly tertidur pulas sambil mengigau “maafkan aku Willy, ini semua salahku.”
Mendengar igauan itu, Si Petung menangis. Bukan salah Milly, bagaimana pun juga, keingintahuan bocah kecil di Sideview berawal dari hubungan mereka yang melibatkan sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal. Namun bagi bocah seusia Willy, Milly dan Arnold dan yang lainnya, sosok raksasa atau kurcaci adalah dunianya. Jadi setelah menceritakan semua permasalahannya pada Sandra, mereka berkemas keesokkan harinya.
“Kita akan ke dunia petualangan kalau kalian benar-benar mantap,” kata Si Petung
“Bagaimana dengan sekolah kalian?” tanya Sandra. Kali itu dia memakai gaun tebal berwarna merah muda.
“Sekolah libur. Dan kuharap untuk selamanya. Milly kau membawa apa di tasmu?” kata Arnold.
Milly tidak menjawab, tapi membuka dan menujukkan barang bawaannya.
Arnold langsung menepuk keningnya, sangat keras. “Buku, sepertinya tidak ada gunanya di sana.”
“Cuma takut aku akan mati kebosanan di sana.”
“Sungguh berlebihan,” kata Arnold dingin.
“Kau tahu sendiri kan, buatku dunia sihir itu...ya aku percaya ...mungkin itu ada... tapi aku tidak ingin menjadikanku pemalas. Tinggal membaca mantra, memakai jimat atau bahkan menyanyikan syair kuno nan konyol untuk mengorek kuping. Atau menjadikanku nenek sihir keriput bertopi lancip dan selalu berhidung jelek. Apa lagi sapunya, sungguh nasib orang-orang seperti itu.”
Mendengar ini, Sandra memalingkan muka, mengibaskan rambutnya hingga menampar muka Arnold yang langsung merona merah. Awalnnya Sandra mengira Milly gadis yang patut dikasihani. Tapi perasaan itu musnah digantikan dengan rasa sinis atau dalam sebuah syair kuno nan konyol akan terdengar seperti ini :
Sang langit, kenapa kau ciptakan Milly hanya untuk menghina syairmu...
Sang langit, kenapa kau ciptakan syair untuk dihina Milly...
Sang langit, Kenapa oh kenapa ada syair dan juga Milly...
“Karena biasanya anak-anak yang memintanya terlebih dahulu,” itu alasan Si Petung.
Jadi itulah yang diminta Sandra; membuat tenda untuk bermalam sementara mereka bertukar berita.
Sandra, gadis yang sudah berusia 17 tahun tentu saja sangat marah disebut anak kecil. Namun demi kekagumannya pada Si Petung terpelihara dengan baik, dia mendadak tuli dan tetap menjadi penggemar beratnya. Entah apa yang bisa dikagumi dari Si Petung, sebuah pertanyaan besar yang sangat sulit didapatkan jawaban yang masuk akal. Hanya menimbulkan kecemburuan, dan siapa pun pasti akan menganggap dunia ini sangat tidak adil, terlebih bagi Arnold.
Perempuan bersyal merah itu berasal dari dunia yang kau tidak akan pernah tahu jika tidak membaca kisah ini hingga tuntas.
Dunia itu bernama Dunia Petualangan.
Dan di sana, seperti yang diceritakan Sandra, sedang terjadi malapetaka. Penyihir gendut yang menyebut dirinya sebagai ratu Greede Olive sedang merencanakan sesuatu. Menutup semua jalur tikus yang menghubungkan duniamu dengan Dunia Petualangan. Gawat, bukan? Alasannya, karena dia tidak ingin manusia seperti Si Petung keluar masuk dan mempelajari ilmu sihir. Sandra menduga masalah ini juga berkaitan erat dengan penculikan dua anak raksasa di hutan Ergo, serta perekrutan bocah-bocah malang untuk diangkat menjadi anak asuh yang nakal.
Akhirnya Sandra menutup ceritanya dengan satu kalimat yang sangat anggun di mata Arnold, “Jalur tikus Hutan Larangan yang masih tersisa.”
“Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Jadi coba kau ulangi sekali lagi,” pinta Arnold yang bukannya menyimak cerita, justru menyimak wajah Sandra yang ekspresif.
“Oh, tidak Arnold. Ada yang lebih mendesak daripada kabar buruk tentang si Greede Olive. Kau tidak lupa, bukan? Sepupumu, Willy,” kata Si Petung.
Kali ini dia membuat Arnold ternganga. Ternyata Si Petung tidak sepelupa tampangnya kalau menyangkut keselamatan Willy.
“Willy?” seru Sandra.
“Siapa!” teriak Arnold reflek.
“Bukan apa-apa,” kata Si Petung tenang. Dia bangkit dari duduknya dan mengambil tiga buah cangkir (hitungan versi Si Petung tentu saja empat buah cangkir) dari sudut ruangan. Di sebelahnya, di sebuah perapian, bertengger ceret besi yang sedang bersiul-siul; tanda air telah mendidih. “Ini hanya suara ceret. Dia memang suka menyanyi rock n roll. Kopi?”
Si Petung menuangi cangkir Sandra dengan susu madu rasa stroberi. Namun ketika sampai di cangkir Arnold, yang keluar minuman beralkohol.
“Oh, ini tidak baik untuk kesehatan, Arnold?” maka dia menggantinya dengan minuman yang sama dengan Sandra.
“Aku tidak memintanya,” Arnold jelas merasa tidak bersalah. Karena dia memang tidak mengucapkan satu patah katapun tentang minuman. Dia terlalu trauma dengan nyanyian ceret yang jelek sekali.
“Tapi kau menginginkannya,” Si Petung geleng-geleng kepala dan menuang sendiri cangkirnya dengan Knocout—jenis minuman beralkohol hasil fermentasi lada dalam jumlah besar. Beruntung Arnold tidak mengenal jenis minuman itu. Karena selain menghangatkan, minuman itu bisa sangat memabukkan.
Saat Sandra meminum cangkirnya, mata Arnold tidak pernah lepas dari gerakan bibirnya yang mencecap sisa manisnya susu madu rasa stroberi tersebut, sampai Arnold lupa daratan. Arnold meminum cangkir berisi Knocout milik Si Petung. Arnold pun langsung pingsan di tempat.
“Nah, sepertinya ini lebih baik,” kata si Petung yang entah kenapa mampu mengangkat tubuh gemuk Arnold ke atas ranjang.
Jadi, jelaslah sudah. Berdasarkan keterangan ciri-ciri fisik Willy; badan ceking seperti cacingan, dengan kulit tanpa bintik-bintik, berwajah bulat telur dengan mata biru cemerlang. Hidung mancung menggemaskan hingga kau ingin terus mencubitnya. Lalu tingginya sama dengan Arnold, namun tidak selebar Arnold yang terlalu gendut untuk ukuran bocah seusianya. Oh, Sandra juga bilang, rambut Willy berwarna hitam legam, selalu rapi dan sehalus sutra. Soal tingkah laku, karena Sandra pernah berpapasan dengan Willy, dia mengatakan kalau Willy anak yang baik, sopan dan tahu tatakrama. Menurutnya hanya dua kekurangannya , Willy terlalu sensitive dan keras kepala.
“Wah, secara umum dia tipe anak yang manis kukira,” komentar Sandra. “Tapi aku tetap menjadi penggemarmu, Petung.”
“Lalu kemana dia pergi, atau kenapa dia bisa sampai ke dunia petualangan?” tanya Si Petung. Baru kali ini dia terlihat serius dan berwibawa, tanpa meninggalkan kepikunannya. Sebenarnya kalau dia tidak ceroboh, seharusnya dia tidak menulis dengan sihirnya; cara memasuki dunia petualangan di semua perabotannya.
Sandra beranjak dan duduk di sofa. Membenamkan dirinya hingga nyaris tenggelam saking empuknya. Tapi dari sana terdengar suara lelah, “kalau kau tanyakan itu padaku, aku tidak tahu. Terakhir kali yang kuingat dia bilang ingin bertemu raksasa. Dasar anak ingusan, tidak tahu kalau raksasa bisa membunuhnya dengan sekali bersin.”
“Ada orang di dalam?” sebuah suara yang terkenal bergaung di luar tenda. Si Petung kaget bukan main. Itu tidak mungkin suara Milly. Milly sedang tidur atau sedang dinasehati agar tidak bergaul dengan Petung, pikirnya.
Si Petung dan Sandra berhambur keluar. Di depannya berdiri bocah perempuan menggigil kedinginan. Wajahnya terlihat pucat saat Sandra menggumamkan mantra untuk memanggil kawanan kunang-kunang.
“Milly, masuk,” kata Si Petung, menyampirkan selimut bulu beruang usang di bahunya.
Milly membawa tas ransel, sangat besar sampai dia terbanting saat meletakkannya di atas sofa dan tidak mengatakan apa-apa lagi.
Malam sudah sangat larut hingga saat itu Si Petung membiarkan Milly tertidur pulas sambil mengigau “maafkan aku Willy, ini semua salahku.”
Mendengar igauan itu, Si Petung menangis. Bukan salah Milly, bagaimana pun juga, keingintahuan bocah kecil di Sideview berawal dari hubungan mereka yang melibatkan sesuatu yang seharusnya tidak masuk akal. Namun bagi bocah seusia Willy, Milly dan Arnold dan yang lainnya, sosok raksasa atau kurcaci adalah dunianya. Jadi setelah menceritakan semua permasalahannya pada Sandra, mereka berkemas keesokkan harinya.
“Kita akan ke dunia petualangan kalau kalian benar-benar mantap,” kata Si Petung
“Bagaimana dengan sekolah kalian?” tanya Sandra. Kali itu dia memakai gaun tebal berwarna merah muda.
“Sekolah libur. Dan kuharap untuk selamanya. Milly kau membawa apa di tasmu?” kata Arnold.
Milly tidak menjawab, tapi membuka dan menujukkan barang bawaannya.
Arnold langsung menepuk keningnya, sangat keras. “Buku, sepertinya tidak ada gunanya di sana.”
“Cuma takut aku akan mati kebosanan di sana.”
“Sungguh berlebihan,” kata Arnold dingin.
“Kau tahu sendiri kan, buatku dunia sihir itu...ya aku percaya ...mungkin itu ada... tapi aku tidak ingin menjadikanku pemalas. Tinggal membaca mantra, memakai jimat atau bahkan menyanyikan syair kuno nan konyol untuk mengorek kuping. Atau menjadikanku nenek sihir keriput bertopi lancip dan selalu berhidung jelek. Apa lagi sapunya, sungguh nasib orang-orang seperti itu.”
Mendengar ini, Sandra memalingkan muka, mengibaskan rambutnya hingga menampar muka Arnold yang langsung merona merah. Awalnnya Sandra mengira Milly gadis yang patut dikasihani. Tapi perasaan itu musnah digantikan dengan rasa sinis atau dalam sebuah syair kuno nan konyol akan terdengar seperti ini :
Sang langit, kenapa kau ciptakan Milly hanya untuk menghina syairmu...
Sang langit, kenapa kau ciptakan syair untuk dihina Milly...
Sang langit, Kenapa oh kenapa ada syair dan juga Milly...