Sunday, December 27, 2009

7. Makan Malam Berakhir Malapetaka

Di pondok reot Si Petung, mereka memang riang, dibuat kenyang oleh makanan yang tidak pernah habis meski kau meraup semua roti yang ada di meja dengan dua tangan sekaligus atau kau menjadi anak yang paling bermulut lebar sedunia sekalipun. Kecuali Willy yang hanya berdiam diri memandang segumpal besar roti panggang di depannya. Ada pikiran lain yang membuatnya enggan menyentuh, apalagi menggigit dan mengunyah. Padahal baik Arnold maupun Milly, perut mereka__seharusnya__sudah tidak mampu menampung makanan barang sesuap.
Si Petung baru menyadari ada ketidakberesan itu ketika menawarkan sup kentang spesial pakai daging onta, yang berada begitu dekat dengan piring roti panggang Willy, namun tidak secuilpun mata Willy melirik tertarik ke sup tersebut.

“Kenapa?” tanya Si Petung mengerutkan alisnya yang putih tipis.

Mulut Willy seolah baru saja diolesi lem tikus. Dia terus membisu, berfikir hingga kau mungkin mengira dia sedang kerasukan hantu bisu atau sedang bermeditasi entah untuk tujuan apa.

“Cukup! terima kasih,” seru Arnold, yang rupanya sudah tidak tahan ketika makanan lain bergantian muncul begitu dia menghabiskan satu potong. “Ini lezat, dan .... wahhhh buanyak sekali. Hah andai saja perutku sebesar perut raksasa... pasti... pasti minta__tolong ambilkan susu, Milly?”

“Ambil sendiri dong, manja amat jadi orang,” jawab Milly kesal.

Arnold mengambil segelas susu yang kemudian dari meja itu muncul gelas lain. Kali ini sepertinya berisi jus durian karena berwarna putih kental dan tiba-tiba Willy segera memencet hidungnya rapat-rapat. Willy benci buah durian.

“Petung, sebenarnya apa yang terjadi dengan raksasa di Hutan Larangan?” tanyanya dengan suara mendengung tidak jelas.

“Kalau tidak salah, seminggu yang lalu kita baru saja pergi ke dokter gigi,” sela Arnold sambil menenggak habis susunya. “Dokter bilang, kau malas menggosok gigi, jadi pantas saja kalau semua gigimu busuk semua.”

“Masalahnya ini kan beda,” bantah Willy. “Kita ini ngomongin gigi raksasa.”

“Justru itu,” Arnold tidak mau kalah, dan melanjutkannya seolah hanya dia yang berhak bicara, “karena tidak ada orang yang menjual sikat gigi sebesar gagang sapu, makanya dia tidak pernah gosok gigi.”

“Cukup, cukup...” Milly mencoba menengahi sebelum Willy berhasil membuka mulut untuk membela diri. “Kalau menurutku, semua mahluk yang mempunyai gigi pasti pernah merasakan yang namanya sakit gigi, okey?”

Si petung yang dari tadi diam saja, entah tekun menyimak perdebatan mereka__atau bisa jadi karena kekenyangan__angkat bicara.

“Petung tahu apa yang kau pikirkan, Willy. Aku kenal kau sejak kau masih segini,” katanya sambil menggambarkan seberapa tinggi badan Willy saat itu dengan tangannya. “Kau ingin melihat raksasa itu, bukan?”

Pertanyaan itu kontan membuat Willy bergairah, Arnold menjatuhkan paha kalkun panggang yang baru diangkatnya sejengkal dari piring. Namun yang tidak masuk akal adalah tingkah Milly yang justru tertawa terbahak. Willy menduga dia mulai sinting atau mabuk jus durian, tidak mendengarnya dengan jelas atau... barangkali ketiga-tiganya.

“Kurasa kau salah, Petung sayang, kau salah mengenal orang,” jawab Milly meremehkan, membuat Willy tersinggung. Bagaimanapun juga, Willy sudah merasa sangat dekat dengan Si Petung, dan dia senang dengan hubungan baik mereka meski tidak jarang harus menelan ejekan Ares yang mengatakan mereka satu spesies menjijikan. Dan Willy dibuat semakin geram ketika Milly menambahkan padanya, “Aku sangsi kau berani melihat raksasa, bahkan sebelum benar-benar melihatnya.”

“Kau meremehkanku!” teriak Willy. “Kalau begitu... aku menantangmu!”

Dia beranjak dari duduknya, hampir menjatuhkan kursinya dan menutup pintu pondok dengan kasar setelah mengucapkan selamat sore alakadarnya pada Si Petung yang tampaknya membisu saking kagetnya. Si Petung belum pernah melihat Willy seberang itu, dan anehnya, Milly mendadak menangis... Arnold makin dibikin pusing tujuh keliling.

“Kenapa malah kau yang menangis?” tanya Arnold sambil melipat tangannya begitu erat.

“Benar,” kata Si Petung tidak yakin sambil membelai bahu Milly. “Kalau aku jadi Willy, sepertinya aku butuh... yah bahu siapapun yang mau menampung air mataku. Yang kau katakan barusan itu—“

“Sungguh keterlaluan!” sambung Arnold kejam.

Setelah beberapa saat kemudian, ketika tangisan Milly tidak cukup mengganggunya untuk berbicara, dia berkata, “Aku kaget dan bingung... Aku melakukannya hanya karena aku tidak ingin ada lagi topik tentang raksasa!”

“Lalu apa urusannya denganmu, coba?”

“Kalau dia bilang ingin melihat, maka dia akan berusaha sekuat tenaga membuktikannya!” seru Milly, air matanya bercucuran membasahi pipinya yang kemerahan. "Itu sangat berbahaya, dan kita masih kecil!"

"Kurasa dia tidak akan pernah mengajakmu berpetualang, jangan berlebihan deh," kata Arnold tanpa belas kasihan.

“Jadi, ini salahku,” gumam Si Petung. “Arnold, sudah__ternyata aku tidak cukup mengenalnya, kau benar Milly...”

Keadaan menjadi hening total setelah tidak terdengar isak tangis Milly. Di luar pondok, angin sudah mulai terasa basah. Desirannya menyeramkan, seperti rintihan raksasa yang sedang kesakitan andai kau bisa ikut mendengarkannya. Langit yang biasanya berbintang, kali itu gelap gulita, dan menyadari malam hari terlalu berbahaya bagi Arnold dan Milly untuk pulang sendiri-sendiri, akhirnya Si Petung memutuskan akan mengantar mereka hingga selamat ke rumah mereka masing-masing.

Satu jam kemudian, Si Petung dan Arnold tiba di depan gerbang besi rumah Willy, setelah sebelumnya mengantar Milly dengan susah payah karena harus menyelundupkannya lewat cerobong asap perapian. Orang tuanya sudah semalaman berjaga di depan pintu dengan wajah, yang satu marah, yang satu seperti kehabisan air mata.

Mereka berdua membeku cukup lama karena ada yang tidak beres; jendela kamar Willy menyala dan dari sana terlihat bayangan hitam besar menyeramkan. Rambutnya seperti ular-ular kecil yang menggeliat ke segala arah. Tangannya memegang sesuatu seperti tulang kaki binatang. Tambah lagi, cara berjalannya yang ganjil; sebentar berhenti, sebentar bergerak cepat, menghilang lalu muncul lagi.

"Ini di luar dugaanku. Sungguh berita buruk," kata Si Petung.

"Ini sih bukan berita buruk, tapi buruk sekali," komentar Arnold sma sekali tidak membantu keadaan.

"Apa sebaiknya aku menjelaskan semuanya pada bibimu, mamanya Willy?" tanya Si Petung ragu dan berharap Arnold mengatakan itu adalah ide paling konyol yang pernah di ucapkannya.

Namun Arnold menjawab, "harus!"

Si Petung bergetar, bukan karena udara dingin yang kelewatan, melainkan bayangan Mrs. Maria, mamanya Willy yang murka sedang berseliweran di benaknya.

Bau kemurkaan rupanya menguar lewat kisi-kisi kecil pintu rumah Willy, dan Arnold segera menarik tangan Si Petung untuk meninggalkan tempat itu.

"Kayaknya tidak untuk sekarang ini, percuma," kata Arnold bijak.

2 comments:

  1. Darimana tuh asal postingnya???
    hehehehe
    Salam kenal...
    Blogwalk

    ReplyDelete
  2. salam kenal juga.... postingan bisa dibaca juga di kemudian.com my acc petung.

    ReplyDelete