Kilasan kejadian yang diingatnya detik yang lalu adalah; dirinya mendorong jatuh tubuh perempuan malang, pekikkan keras suara yang dikenalinya, dan gumpalan asap hitam menghantam dadanya dari lima arah secara bersamaan…
Organ-organ tubuhnya seolah berhamburan, melayang bagai debu menyusuri tempat-tempat gelap dan asing baginya. Terkadang, dalam kegelapan itu seleret cahaya terang redup menembus pelupuk matanya yang terpejam. Nafasnya tercekat, namun masih bisa membaui aroma kayu terbakar dan kotoran binatang, masuk keluar silih berganti. Baru kali ini Villael mengalami sensasi luar biasa aneh, sekaligus sangat menyakitkan. Antara hidup dan mati, dia tidak mampu membedakannya.
Beberapa saat kemudian, ketika otot-otot matanya mulai bisa digerakkan, Villael menyadari ada secercah harapan untuk mengakhiri semuanya ini. Hanya saja, butuh waktu baginya untuk memahami bagaimana tubuhnya bertransformasi menjadi bukan dirinya.
Sesosok gadis kecil dengan tatapan tajam dan liar terpantul dari cermin, tepat berada di depan Villael berdiri. Dia menduga, usianya belum genap sepuluh tahun. Tangan kanannya menggenggam erat sebilah belati perak. Sementara tangan yang lain, terurai potongan rambut hitam kecoklatan. Nyaris botak, gadis kecil tersebut tampak tidak peduli. Justru Villael mendapati senyuman ganjil mengembang di wajahnya, sangat puas.
Dengan menggunakan ujung belati perak, ia menyingkap kerah pakaian tidurnya. Terlihat tanda hitam melingkari lehernya, seperti per kecil yang dimasukkan secara paksa lewat kepalanya. Tegangannya yang kuat mengakibatkan di sekeliling tanda tersebut memerah.
Tanda kesetiaan, kebohongan yang hanya akan melahirkan kebencian dan pengkhianatan!
Villael berusaha keras menyimpulkan apa yang sedang terjadi, hanya karena ingin segalanya mudah dimengerti. Jiwanya berbagi tempat dengan jiwa seorang gadis kecil. Namun dia merasa bahwa jiwanya tidak mempunyai kendali apapun atas tubuh tersebut. Bahkan ketika membatin, dia yakin sekali bukan dirinya yang melakukannya.
Berada dalam tubuh gadis kecil tersebut, aura kebencian tiba-tiba menguasainya ketika menoleh ke sisa-sisa bingkai lukisan terbakar di lantai kamar. Asapnya hampir memenuhi ruangan saat pintu kamar berderit terbuka. Seorang perempuan paruh baya berdiri di luar sana. Mendapati kondisi kamar berantakan, ia bergegas masuk, meletakkan nampan minuman di atas meja yang paling dekat dengannya.
“Gladielle, apa yang—jangan melakukannya lagi, anakku,” pintanya lembut tapi tegas. Asap seketika lenyap hanya dengan kibasan kecil tangannya. Sebagian yang lain berubah menjadi titik-titik air, memadamkan bara api yang meretih pelan.
Gadis yang dipanggil Gladielle masih diam, kedua tangannya menyembunyikan apa yang digenggam di balik punggungnya. Tapi, penampilannya tidak bisa berbohong. Ia baru saja memangkas rambutnya hingga menyerupai bocah laki-laki berandal.
“Dia harus mati!” desisnya.
“Ayahmu,” kata sang ibu. “Ya, dia harus mati. Tapi bukan dengan kekuatan yang sama.”
“Kalau kekuatan sihir tidak bisa melukainya, aku akan mencobanya dengan ini!” kata Gladielle seraya mengacungkan belati perak di depan hidung ibunya. Untuk kesekian kalinya, Gladielle mengutarakan tekadnya membunuh sang ayah dengan tangannya sendiri. Melenyapkannya, sama artinya dengan mengakhiri penderitaan mereka berdua. Dan entah kenapa, Villael merasakan kegairahan serupa, nafsu untuk membunuh orang yang sama, ayah Gladielle.
Mirelle, sang ibu mencoba meredam emosi putrinya dengan senyuman terpaksa. Matanya berkaca-kaca menahan haru, namun secara keseluruhan wajahnya dipenuhi rasa ragu. Ia tidak mau mengambil resiko atas niatan itu kali ini. Betapa tidak, Gladielle selalu menyerang sang ayah secara terang-terangan bak ksatria yang masih mentah pengalaman, tidak tahu manusia macam apa yang sedang dihadapinya. Ayahnya adalah keturunan Kyanat Tibbar, yang untuk menyentuh kulitnya pun bukan perkara mudah, seperti menyentuh mata pedang yang haus darah.
“Dengarkan ibu, Gladielle,” kata Mirelle hati-hati. “Tidak ada yang bisa kau lakukan selain belajar—”
“Belajar? Belajar tidak akan membuatnya mati!” bantah Gladielle, namun sebagian kecil hati Villael tidak sependapat.
“Ibu sudah menyiapkan segalanya,” Mirelle melanjutkan, mengabaikan protes keras putrinya. “Ruang bawah tanah…”
Gladielle membuka mulut hendak menyela, namun kali ini lebih karena penasaran dengan apa yang baru didengarnya. Tak lama kemudian, setelah Mirelle mengetuk lantai dengan irama yang sangat khas, sebuah lingkaran terbentuk di sebelah mereka. Seraya membuka lingkaran yang tiba-tiba berubah menjadi semacam pintu rahasia, ia melanjutkan ucapannya.
“…di sana banyak menyimpan buku, semua tulisan ibu. Gladielle, kau harus membacanya setiap hari. Ingat bagaimana membukanya?”
Gladielle mengangguk, dan Mirelle tahu putrinya memahami instruksi singkatnya.
“Itu saja?” tanya Gladielle tidak puas karena yang dilihat hanya anak tangga menuju kegelapan total.
“Ya, cuma itu,” kata Mirelle. “Suatu saat kau pasti akan mengerti. Nah, ibu tidak punya waktu membereskan kamar. Ibu harus mengantar minuman ini untuk ayahmu.”
Sesaat Mirelle bimbang melepas belaian tangannya, seolah melepaskannya adalah akhir pertemuan mereka. Villael bisa melihat dengan jelas keengganan langkah kaki Mirelle saat ia meninggalkan ruangan.
Pintu tertutup perlahan dan terdengar bunyi logam saling mengait menandakan pintu tersebut terkunci secara sihir. Gladielle menarik gagangnya, tentu saja pintu tersebut bergeming. Ia langsung menyadari, ibunya sedang melakukan sesuatu yang ia yakin dirinya tidak diijinkan terlibat. Otaknya berputar cepat, dan jalan keluar yang langsung terlintas di benaknya adalah ruang bawah tanah. Ia melakukan seperti apa yang diajarkan ibunya, bagaimana cara memunculkan lingkaran dengan ketukan khas.
Belum sempat membuka pintu rahasia, bunyi kelontangan memecah kesunyian malam. Gladielle tahu dan urung masuk ke ruang bawah tanah. Ia langsung berhambur ke sumber suara setelah lebih dulu mendobrak pintu dengan kekuatan penuh.
Sambil menyelipkan belati perak di punggungnya, ia menuruni anak tangga dua-dua sekaligus. Rupanya suara gaduh hentakan kakinya memanggil kedatangan dua orang yang ingin ia singkirkan setelah ayahnya. Saudara tirinya, Borgoll dan Gizelle, sepasang anak kembar yang menjengkelkan dan membosankan dengan tingkah bak sepasang penguasa. Mereka menghadang dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak pernah belajar dengan apa yang akan Gladielle lakukan kalau menyangkut keselamatan ibunya.
“Minggir!” teriak Gladielle lantang.
Villael terkejut ketika asap hitam melesat dari tangan kiri Gladielle sementara tangan kanannya mengacung ke langit-langit rumah. Serangan itu berhasil membelah keduanya. Villael menyaksikan bagaimana Borgoll terlempar ke kiri menabrak patung Gorzada, dan Gizelle sudah menghilang, tertimbun reruntuhan lemari kayu di sisi lain ruangan. Rupanya serangan itu tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka, melainkan menghancurkan pintu ruang keluarga, pikir Villael.
Sayang, detik berikutnya yang terjadi tidak berhasil Gladielle hindari. Dari dalam ruangan, hembusan angin berat menerpa wajahnya hingga ia terhuyung ke belakang. Kemudian, sebelum tubuhnya benar-benar membentur lantai, lehernya menegang, dan hentakannya yang sangat keras membuatnya terangkat beberapa jengkal, serasa terikat di tiang gantungan. Kejadiannya secepat kilat, hingga ia tidak sempat mengetahui apakah tubuh terkulai ibunya di antara reruntuhan pintu, dalam kondisi hidup atau sudah tak bernyawa. Didorong oleh keinginan kuat untuk bertahan hidup, terlebih memastikan apakah ibunya masih bisa diselamatkan, kaki telanjangnya meregang mencoba meraih lantai untuk berpijak, sementara itu kedua tangannya sibuk melepas tali transparan di lehernya. Sia-sia, usaha kerasnya justru semakin menyiksa. Villael yang juga merasakan sakitnya cekikan itu meronta percuma tanpa ada suara dari mulutnya.
“Gadis tolol… bertingkah seperti laki-laki tidak akan mengubah jiwamu yang asli. Kau tetap seorang perempuan… lemah dan tidak lebih tinggi dari tumpukan cacing tanah…”
Suara dingin itu datangnya dari dalam ruangan tanpa penerangan sedikitpun, membuat sosoknya sulit dikenali. Meskipun demikian, Villael ingat betul cara laki-laki didepannya itu menghina seorang perempuan, penuh kebencian dan tanpa belas kasihan. Semakin mengingatnya, kenangan pahit masa lalunya mencengkeram lebih kuat sepuluh kali lipat. Villael mengenal suara itu, suara yang mengiringi kepergian ibunya setahun yang lalu…
Dari arah yang tidak bisa dia lihat, tiba-tiba cahaya api menerpa sosok berambut putih, panjang menjuntai hingga ke lantai. Perapian telah dinyalakan secara sihir, membuat bayangannya meliuk gemulai seperti tarian kematian. Sosok tersebut sedang duduk memunggungi Gladielle yang masih terpancang di udara.
“Cacing tanah! Ibumu itu,” teriak Gladielle.
Villael lega, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mengendurnya intensitas cekikan—karena mengucapkannya sungguh sangat menyakitkan, serasa tersayat-sayat tenggorokannya—melainkan bahwa Gladielle sudah menemukan suaranya kembali, merupakan kesempatan emas untuk menyerang dengan makian.
Perlahan, bagian yang tadinya adalah punggung berubah menjadi bagian depan seorang laki-laki tua berjenggot. Kengerian seketika menyelimuti Villael saat menatap wajahnya yang sebagian menghitam. Kemudian sosok itu berdiri. Saking jangkungnya, kini rambutnya hanya sebatas pinggang. Sorot sebelah matanya tajam, dengan alis terangkat pada ujungnya. Hidungnya besar, melengkung ke bawah membelah kumisnya yang melintang keperakan. Ia mengenakan jubah hitam dengan seekor ular crawler melilit pinggangnya.
“Apa ibumu yang sekarat itu tidak mengajarimu,” katanya dingin. “Belajar dari pengalaman?”
Gladielle tidak balas menjawab, hanya desisan crawler yang menyahut, seolah begitulah cara ular menertawakan mangsanya. Gladielle berontak ingin melihat ibunya untuk terakhir kali. Sayang, ia tidak menyadari tubuhnya sudah bergerak jauh melewati ambang pintu, lebih dekat ke sosok yang paling dibenci seumur hidup. Mustahil baginya untuk menoleh ke belakang sekarang. Yang bisa ia lakukan hanyalah mendengar rintihan memilukan memanggil namanya, diikuti suara gedebak-gedebuk langkah berlarian ke arahnya.
Mirella telah tiada untuk selamanya…
Borgoll menghampiri ayahnya sambil mengibaskan ujung pakaiannya yang berdebu. Saudara kembarnya belum terlihat, dan Villael bisa mendengar suara benturan berulang-ulang di belakangnya. Gizelle rupanya sedang berusaha keras menyeret tubuh Mirelle menaiki anak tangga, menjauh dari Gladielle.
“Ayah, biarkan saya saja yang menghabisinya,” rengek Borgoll yang sudah sejak lama menunggu kesempatan langka seperti ini. Sang ayah tampaknya ragu, belum yakin anaknya mempunyai cukup nyali seandainya Gladielle dalam kondisi normal. “Saya tahu caranya bikin dia menderita, sebelum menyusul ibunya ke neraka… eh, yah mereka pantas membusuk di sana. Tidak ada tempat yang lebih pantas untuk membuang pengkhianat seperti mereka, kurasa… pasti saya bisa mencabut nyawanya…”
Dia berusaha mencari kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan kebengisan yang sudah sepantasnya ia miliki sebagai calon penerus ayahnya. Sikap tak berperasaan, sesuatu yang tampaknya masih menjadi kelemahannya. Bahkan jika dibandingkan dengan adik kembarnya yang seorang perempuan, Gizelle lebih meyakinkan. Hal ini dikarenakan Gizelle lebih memilih bertindak cepat dari pada mencari kata-kata omong kosong dan bertele-tele.
“Harus bisa,” kata ayahnya. “Sudah saatnya kau membuktikan, kalau kau layak menjadi penerus leluhurmu.”
Teriakan kesakitan memecah basa-basi mereka. Gladielle mengerang menahan logam panas di balik punggungnya. Kekuatan sihir Gizelle sudah lebih dulu bertindak sebelum tangan Gladielle sempat menyentuh belati peraknya. Menyadari calon korbannya jatuh ke tangan saudara kembarnya, Borgoll menggeram kesal. Selagi jari tangan ayahnya membelai lembut rambut ikal Borgoll sebagai penghiburan, tubuh Gladielle terlempar keluar, hampir mengenai Gizelle yang senyumnya mendadak lenyap karena terkejut. Kemudian serpihan pintu yang berserakan di lantai menyatu memperbaiki sendiri, terpasang pada engselnya dengan hentakan keras. Merasa tidak mendapatkan sedikit pujian dari ayahnya atas kebernian dan kesigapannya, Gizelle hanya menggerutu pelan di depan pintu.
Segalanya menjadi gelap bagi Villael saat merasakan tubuh Gladielle terkulai lemas. Sensasi yang lebih aneh dari sebelumnya, terjadi detik berikutnya…
Namun sama seperti ketika tiba-tiba berada di kamar Gladielle, Villael tidak mengenal tempat yang kini didominasi bau menyengat, amis darah. Lantai yang dia injak berdenyut. Sisi kanan kirinya yang awalnya dikira dinding padat ternyata lebih lunak dari seonggok bangkai babi, menjijikan penuh lendir kemerahan. Saat menoleh ke belakang, ada yang bergerak ganjil dalam semacam kubangan cairan kental, saling melilit hingga tidak terlihat mana pangkal mana ujung. Villael membatin, apakah dirinya tersesat di dalam perut raksasa… dan yang dilihatnya barusan tidak lain adalah usus-usus yang menggeliat kelaparan?
Di balik sesuatu, entah onggokan daging liat atau mungkin jantung raksasa, pendar kehijauan menyeruak. Semakin lama cahayanya makin terang menyilaukan.
Entah dorongan dari mana datangnya, yang Villael tahu adalah dia harus melangkahkan kakinya, memberanikan diri menginjak sesuatu yang ternyata memang bernyawa. Suara dug dug tidak teratur terdengar semakin cepat seiring semakin dekatnya dia menjangkau pendar kehijauan itu. Kemudian ada yang menarik lengannya yang bebas saat usahanya tinggal mengaitkan jari-jarinya.
Usus seukuran paha orang dewasa dengan ruas-ruas meregang membelit tangan Villael. Kerasnya tarikan sesaat membuatnya melayang, nafasnya terseret-seret, dan tubuhnya ambruk ke lantai, yang seketika langsung pecah. Cairan kental menghambur dari dalamnya. Kemudian ada lebih banyak ujung-ujung usus muncul dari kubangan, melecut-lecut ganas ke atas dan menerjang tubuh Villael tanpa ampun. Salah satu dari mereka berhasil memagut dengan ujungnya yang lancip, tepat mengenai dadanya saat berkelit ke kanan. Yang lain, karena tidak memiliki penglihatan sempurna, serabutan menyambar apa saja yang disentuh, menghantam dinding yang juga langsung pecah saking kerasnya benturan secara bersamaan. Awalnya Villael mengira usus tersebut memiliki mulut untuk memagut, ternyata dugaannya sirna sekejap mata. Mereka sama sekali tidak serupa dengan bentuk kepala layaknya seekor ular, lebih seperti cacing raksasa, malah.
Semua itu, apa yang Villael lihat dan bayangkan justru hanya menambah keadaan semakin menakutkan. Dan ketika berkutat dia dengan belitan di tangannya, telinganya mendengar jeritan kesakitan luar biasa, “Tidaaak.”
“Hentikan…” suara itu kemudian terdengar merintih, lalu menjadi begitu nyaring ketika memanggil. “Gorgolla! Datanglah!”
Tiba-tiba cahaya kuning melesat menyilaukan mata Villael, yang secara reflek terpejam. Dan saat membuka matanya, dia bersyukur belitan itu sudah lepas. Saat itulah dia menggunakan jeda yang singkat untuk berlari, melompati gulungan usus yang menarik diri ke kubangan, bersatu dengan cahaya kuning yang semakin membuncah. Dia tahu, inilah saatnya… Villael berhasil menggapai pendar kehijauan, yang langsung padam. Belati berukir kini berada di tangannya yang berlumuran darah.
Keberhasilannya memenuhi dorongan untuk mendapatkan pendar kehijauan, yang ternyata hanya sebilah belati, tidak menjadikan segalanya lebih jelas. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan dengan belati tersebut.
“Yang Mulia,” terdengar suara itu lagi, dari luar. Hanya saja, Villael menduga orang lain yang berbicara kali ini. Suaranya bergetar, seolah sedang menghadapi mahluk mengerikan yang siap menarik lidahnya andai salah ucap. “Apa yang terjadi?”
“Tidak ada, Gorgolla,” katanya, terdengar lebih tenang sekarang.
“Lalu…?”
Belum ada yang menjawab keingintahuan Gorgolla perihal panggilan untuknya. Villael hanya mendengar langkah mantap mendekati seretan kaki yang menjauh.
“Ampuni hamba, Yang Mulia,” kata Borgolla parau. “Kami sedang dalam pengejaran. Rupanya bangsa Vellarian masih berada di sekitar hutan eratus, jumlahnya cukup banyak, mereka menghalangi kami yang berlima…”
Suaranya berhenti mendadak ketika terdengar desahan tidak sabar, dan mengancam.
“… tapi mereka terkecoh, mengira kami berhenti mengejar Gladielle, dan dua bocah tengik keturunan Zetya, Yang Mulia—kami terus mengikuti mereka sampai ke gua di gunung Gorian. Gladielle hampir berhasil kami tangkap sebelum Yang Mulia memanggil—”
Seolah kepala Gorgolla terlepas dari lehernya karena hampir saja menyalahkan pemimpinnya, ucapannya terpotong oleh suara sedingin pedang yang membeku.
“Lima tahun!” katanya. “Mengemban tugas sepele ini, dan hanya hampir yang bisa kau laporkan? Oleh orang yang kuanggap layak mendapat kepercayaanku… yang seumur hidupn hanya untuk mengabdi kebesaran leluhurmu… tanpa keraguan, bukankah demikian, Gorgolla?”
“Tidak diragukan,” jawab Gorgoll girang. “Jiwa ini milik Yang Agung Kyanat Tibbar, Yang Mulia …”
“Baiklah kalau begitu, sebagai penghargaan atas jasamu, tentu saja… kau layak mendapat kematian langsung dari tanganku.”
“Beribu ampun,” Gorgolla bersimpuh, menyembah-nyembah sampai membenturkan kepalanya ke lantai—Villael bisa mendengar benturan keras itu berulang-ulang hingga menduga kepala Gorgolla sebentar lagi pecah. “Yang Mulia Doggoll, putra Yang Agung Kyanat Tibbar, pewaris keabadian, pemilik kekuasaan mengatur kematian… jangan bunuh… ”
Mendengar nama dan semua gelar yang disandang, yang diucapkan Gorgolla agar mendapat belas kasihan, lutut Villael bergetar hebat. Hawa panas memenuhi ruangan seolah amarah yang tersimpan bertahun-tahun akan meledak detik berikutnya. Bau amis tidak lagi tercium, karena dadanya tidak sanggup menampung udara yang kelewat panas. Dan yang dilihatnya kemudian adalah dinding-dinding meregang, seperti balon yang dipaksa menampung banyak darah, dan pecah. Langit-langit ambruk disertai bunyi gemuruh saat tiang penyangga seputih gading berkeretak keras, seperti rumah yang rubuh karena gempa. Usus yang tadinya sudah tidak terlihat muncul kembali, menerjang reruntuhan, lalu membelit Villael dalam genangan darah, menenggelamkan tubuhnya…
Dia membunuh orang kepercayaanya. Dan tak lama lagi—terbunuh dengan cara berbeda—Villael akan menyusul ibu beserta ribuan nyawa tak berdosa lainnya karena menanggung permusuhan abadi antara Kyanat Tibbar dan Zetya Illaya.
Tubuh Villael selanjutnya mengambang seperti ganggang. Usus yang membelit sudah hancur, tidak ada bedanya dengan kotoran binatang, bercampur dengan darah panas, mengiris perih saat menyentuh kulitnya. Dia berusaha menutup setiap lubang dengan pikirannya dalam kekosongan, mencegah cairan kematian masuk ke tubuhnya. Percuma, karena tenaganya tak tersisa, bahkan dia tidak merasakan sentuhan belati berukir, yang menempel begitu saja di telapak tangannya yang terbuka, pucat dan kaku.
Inikah saat di mana dia, pemilik kekuasaan mengatur kematian, akan datang menjemputnya?
Villael berlutut, tersedak dan terbatuk-batuk meski tidak ada yang mengganjal kerongkongannya. Dia juga menggigil, meski tidak basah kuyup seperti ketika berada dalam perut raksasa. Lantai kelam berpola menyeramkan menghampar di bawahnya. Perabotan marmer dipajang sesuai arah mata angin. Kursi batu dengan undakan tinggi menjadikannya singgasana megah, namun kosong. Ruangan itu melingkar dengan perapian menyala di kanan kirinya, memberi sedikit kehangatan. Cahayanya sangat terang hingga Villael bisa melihat barisan rapat patung Gorzada, menyangga atap lengkungnya.
Ruangan yang sangat asing, kecuali patung-patung itu…
Belati berukir masih setia menempel, yang lalu digenggang erat ketika Villael berdiri gontai. Bahaya belum usai karena dia justru berada tepat di tengah orang-orang yang gelisah, menunggu kemurkaan pemimpin mereka. Dua orang berbadan kekar, namun timpang karena yang satu kelewat pendek, mengenakan jubah serba hitam, saling bisik dan melempar pandang muram menyaksikan tubuh Gorgolla mengering seperti boneka kayu. Saat keduanya menyingkir, Villael ingat betul siapa yang muncul. Borgoll dewasa mendekati bangkai Gorgolla, membaliknya dengan kaki seolah sedang menikmati karya agung ayahnya.
Mengerikan berdiri di sana, sekaligus melegakan karena tampaknya mereka tidak merasakan kehadiran Villael. Borgoll berbalik begitu saja saat jarak hanya sebatas jangkauan tangan. Mereka tidak melihat, seolah hanya bertigalah yang berada di dalam ruangan yang memanas. Bahkan ketika salah satu dari mereka berbicara, kentara sekali tidak berusaha menyembunyikan ketakutan mereka yang sangat memalukan.
“Aku tidak ingin mati seperti Gorgolla,” kata orang yang lebih pendek menyuarakan kegelisahan. Bibirnya bergetar saat menyesali keputusannya sendiri. “Kenapa juga tadinya aku menerima tawaran, mengejar si Gladielle yang licinnya minta ampun.”
“Sejujurnya aku juga demikian, padahal tugasku di kerajaan Magmorian sudah cukup membuatku aman. Hanya karena ingin mendapat perhatian lebih, makanya kita menerimanya kan? Tenanglah, pengejaran ini belum berakhir, toh ini hari pertama kita. Dan dia memanggil kita karena memang sudah waktunya melapor tugas rutin, bukan soal tugas tambahan itu,” kata orang yang lebih tinggi coba menenangkan. “Jangan kuatir, Zolla.”
“Dollogos, bagaimana mungkin tidak kuatir,” elak Zolla, berjalan memutar seperti gangsing. “Aku pusing, tidak tahu jalan pikiran Doggoll—”
“Yang Mulia Doggoll,” Borgoll tiba-tiba memotong tanpa memandang lawan bicaranya. Dia tampak sedang mengagumi singgasana ayahnya, yang kelak di sanalah dia duduk memerintah para pengikutnya. Bekas luka di wajahnya tampak lebih menyeramkan saat mengancam, “ayahku bisa membunuhmu hanya karena tidak menyebutnya Yang Mulia, kau lupa, Zolla?”
“Lupa kalau aku sedang pusing,” jawab Zolla tidak peduli, kembali berputar-putar lagi.
Borgoll hanya menggeretakkan giginya seperti mengunyah batu kali. Villael ingin tertawa melihatnya, tapi keburu takut kalau suaranya ternyata bisa terdengar. Maka dia menutup rapat mulutnya, dan menyelinap di antara patung Gorzada yang sekilas ujung matanya bergerak. Merasa aman, dia terus memperhatikan percakapan paling ganjil di sarang macan.
“Makanya berhenti berputar-putar, tolol,” bentak Dollogos sama pusingnya melihat tingkah Zolla. “Aku heran kenapa Yang Mulia bisa merekrutmu. Dan bukankah tugas utamamu hanya memastikan dia sehat? Agar bisa terus memberi minum batu Collatera dengan darahnya. Tinggal kasih makan, kenapa takut Yang Mulia bakal marah?”
Perut Villael seakan mendadak kosong, telinganya salah dengar. Benarkah Doggoll sedang dalam kondisi sekarat hingga harus ada yang menjaganya tetap bernafas, agar tetap memberi minum batu Collatera dengan darahnya, apa maksud semua ini?
Villael terus mengulang kalimat itu dalam hati, seolah pengulangan memberinya jawaban. Selagi berusaha memahami, dia teringat dengan perjanjian damai mereka setahun silam. Batu Collatera yang disimpan di istana Magmorian ternyata palsu. Pantas ketika terjadi pembantaian di desanya, pihak kerajaan mengatakan kalau batu tersebut masih utuh.
Belum yakin seratus persen, maka Villael menajamkan pendengarannya, memastikan matanya mengikuti gerak bibir mereka ketika berbicara lagi.
“Akhir-akhir ini, dia mulai berani melawanku,” keluh Zolla terang-terangan. “Lihat ini, tanganku sering kena gigitannya. Yang aku takutkan justru lama-lama aku ingin mencekiknya sampai mati.”
“Saatnya akan tiba, bersabarlah,” kata Dollogos. “Kau pasti akan mendapatkan tempat yang pantas di sisi Yang Mulia.”
Zolla menelan ludah, lalu mendekati bangkai Gorgolla. Ingin muntah ketika ia berkata, “Oh berhentilah beremeh temeh. Lihat si Gorgolla yang malang. Dia menjalankan tugasnya, memburu si Gladielle bertahun-tahun, sampai lupa mengawini anak tukang jagal. Tapi berakhir mengenaskan seperti—Oh aku tidak sanggup melihat kematian seperti ini.”
Sungguh aneh, dan Gladielle benar. Tanda kesetiaan yang melingkar di leher mereka adalah ironi belaka, kebohongan besar. Mereka, para pengikutnya begitu mudah mengucapkan keinginan-keinginan untuk memberontak, bahkan oleh pengikut seceroboh Zolla. Ajaibnya lagi, Borgoll sebagai putranya tampak terbiasa dengan keinginan itu, tidak merasa terhina sedikitpun, bahkan bereaksipun tidak.
“Lalu bagaimana dengan tugasmu,” Zolla menanyai Dollogos. “Apa ada perkembangan berarti?”
Dollogos berdehem. “Tidak ada. Untungnya… semua masih aman terkendali.”
“Matilah kita,” kata Zolla merajuk, berselonjor di lantai seperti anak kecil. “Aku masih menduga panggilan ini ada hubungannya dengan pengejaran si Gladielle—Oh demi nenek moyang yang gelisah di atas sana, tega betul kau melahirkanku…” sejenak pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan, sambil menggigit jari telunjuknya yang buntek. Dengan keraguan yang begitu jelas terlihat, ia tetap mengutarakan ide briliannya, “Dollogos! Mungkinkah kita bisa…”
“Berhentilah mengeluh,” kata Borgoll akhirnya. “Dan jangan pernah sekedar berpikir untuk berkhianat padanya. Kematiannya akan lebih menyakitkan, Zolla.”
Zolla bergidik lalu berdiri. Kemudian serentak mereka tampak sigap menanti pintu yang bergemuruh, membelah menjadi dua bagian, dan dari sanalah sosok Doggoll masuk. Saat melihat kedatangannya, bulu kuduk Villael berdiri, dan dengkulnya seakan ikut keropos bersamaan dengan berlututnya ketiga orang tersebut. Mereka bersujud tiga kali anggukan, dan baru berdiri setelah mendapat jentikan tangan Doggoll.
“Kalian, duduk,” kata Doggoll dingin. Kursi-kursi batu dan meja panjang muncul dari ketiadaan di tengah ruangan. Dan tidak perlu menggeser bangkai Gorgolla, karena tubuh itu lenyap begitu saja menjadi gumpalan asap. Ia duduk di ujung meja, paling tinggi di antara kursi-kursi yang lain, hingga ular crawler-nya bisa merayap di atas meja. Setelah mereka berdua ikut duduk, ia berkata sambil mengetuk meja dengan kuku jarinya yang panjang menghitam, “aku tahu apa yang kalian pikirkan.”
Kontan saja Villael melihat kengerian di wajah-wajah malang mereka. Dollogos memilin tali pengikat jubahnya, sementara Zolla memaksa tubuhnya agar tidak kelewat bergidik. Wajah mereka tertunduk, seolah menatap mata Doggoll adalah malapetaka. Borgoll tersenyum di sudut ruangan, sangat dekat dengan Villael bersembunyi, hingga dia menduga percikan bunga api di jari-jari tangan Borgoll disiapkan khusus untuk menggosongkannya.
“Zolla,” panggil Doggoll, pelan tapi lebih menakutkan dari pada bunyi crawler yang berderik ujung ekornya.
“Tawanan masih sehat dan tambah gemuk, Yang Mulia,” jawab Zolla singkat. Duduk di sebelah Dollogos tidak membuatnya nyaman. Dia serba salah, tidak berani menatap Doggoll, tapi juga kesal menyaksikan crawler yang menjilati udara kosong, seolah aroma kebohongan begitu nyata dan terasa nikmat.
“Temani Gizelle, dan bawa beberapa yang lain untuk menangkap Gladielle,” perintah Doggoll dengn mata terpejam. “Aku sedang berbicara denganmu, Borgoll.”
Tampaknya yang diberi perintah tidak memperhatikan hingga saat namanya disebut. Borgoll lalu melengos mendekati ayahnya.
“Ayah—”
“—Aku tidak akan setolerir ini lain kali,” kata Doggoll. Raut mukanya berubah drastis, segarang penampilan kepala crawler yang dipenuhi tonjolan runcing. “Dan sudah saatnya kau membiasakan diri memanggilku… Yang Mulia.”
Borgoll membeku di tengah langkahnya, kemudian dengan berat hati ia berkata, “Baik… Yang Mulia. Tapi tadi Yang Mulia… ngomong apa?”
“Tangkap Gladielle secepatnya.”
Yang menjawab barusan ternyata Zolla, sangat kurang ajar karena memutuskan memandang ubun-bun Doggoll daripada moncong crawler.
Borgoll langsung menghilang, menyisakan kilatan kehijauan bercampur asap hitam. Kejadian seperti itu sepertinya hal biasa. Baik Zolla maupun Dollogos tidak terkejut sama sekali. Namun tidak bagi Villael, dia harus menelan ludah karena sekilas yang dilihatnya tampak sangat menyakitkan.
Dengan gerakan pelan, Doggoll menoleh ke Dollogos yang langsung membusungkan dada. Berusaha menunjukkan kesetiaan tanpa cela. Dan Villael harus mengakui betapa Dollogos pandai bersandiwara. Tentu saja dia berpendapat demikian karena dari kejauhan saja, Villael seringkali bergidik—yang tidak disadarinya menimbulkan suara yang hanya tertangkap oleh pendengaran kelelawar—saat melihat titik hitam mata Doggoll. Bagaimana dengan Dollogos yang duduk sangat dekat, pasti ia berhasil mengalahkan ketakutannya, dan sebuah prestasi menakjupkan karena berani membalas tatapan Doggoll.
“Para Penunjuk…”
Jari tangan Doggoll terangkat, dan Dollogos paham bahwa itu adalah perintah supaya diam. Doggoll memejamkan matanya sambil bergumam, memanggil nama-nama yang sayangnya tidak terdengar jelas di telinga Villael.
Tiba-tiba ruangan dipenuhi asap yang sama ketika Borgoll menghilang, namun lebih pekat, tanpa kilatan kehijauan. Lalu sosok-sosok hitam bermunculan dari kegelapan, tepat di depan kursi-kursi yang tampaknya sengaja disediakan untuk menyambut kedatangan mereka. Pakaian mereka yang serba hitam menjadikan perapian seolah telah padam. Villael semakin gelisah dan membatin kapan saatnya dia bisa pergi dari tempat terkutuk itu.
“Selamat datang, saudara-saudaraku,” sambut Doggoll mempersilahkan mereka semua duduk. Tangan kanannya mencengkeram dada, seolah jantungnya meronta gusar. Lalu, “Dollogos, Zolla, ini sebuah kehormatan untuk kalian, bisa duduk satu meja dengan para Gorzada … pengikutku yang paling setia dan tangguh.”
Dollogos dan Zolla tidak memberi kesan senang mendapat kehormatan itu. Mereka berdua tetap membeku di antara sosok-sosok bertudung hitam, yang mendengungkan rasa bangga atas pengabdian dan kesetiaan mereka. Bangga mendapat pujian… yang paling setia dan tangguh.
“Yang Mulia, saya mendapat firasat buruk,” kata salah satu Gorzada memecah suasana.
“Ada yang sedang berusaha menggagalkan rencana kita.”
“Firasatku justru sebaliknya, Golliath,” Gorzada di sebelahnya angkat bicara. “Rencana kita hanya soal waktu, dan sebelum pasukan Shadyzo dibangkitkan, siapapun yang kau anggap bisa menggagalkan rencana besar Yang Mulia, pasti akan menyesal sebelum kematiannya menjemput.”
Ada banyak hembusan nafas dari balik tudung-tudung mereka, aura kemenangan menguar. Tapi Doggoll justru sebaliknya, lebih dingin dari sebelumnya.
“Kau benar, putra Azilla,” kata Doggoll, mengubah suasana menjadi seperti kondisi hatinya, gelisah. “Tidak sia-sia darahmu mewarisi kepekaan Azilla Royan, pemimpin Sang Penunjuk…”
Semua mata memandang ke arah Azilla ingin tahu, menunggu kata-kata selanjutnya dari pemimpin besar mereka.
“… Tapi kau juga hampir benar, Golliath, tinggal menunggu gerhana matahari tiba.” Jari tangannya semakin cepat mengetuk meja ketika melanjutkan, “Dan rupanya ada penyusup gentayangan di sini, menguping pembicaraan kita.”
Kegusaran melanda, seolah yang mereka dengar hanya lelucon ala Doggoll. Bagaimana mungkin di bawah atap rumah, di singgasana pemimpin mereka yang mulia, dikotori darah keturunan Zetya? Sehebat dan sebodoh apa orang itu?
Dari balik patung Gorzada, jantung Villael berdetak kencang, nyaris terdengar olehnya sendiri. Persembunyiannya sebentar lagi terbongkar. Nyawanya hanya menunggu gerakan ujung kuku Doggoll. Villael semakin mengeratkan pegangan belatinya, seolah senjata itulah penyelamat satu-satunya, bersiap menahan serangan pencabut nyawanya kapan saja, detik itu juga.
“Keluar!”
Bersamaan dengan kata yang terucap dari mulut Doggoll, tubuh Villael tercerabut. Melayang tanpa gerak di ujung meja panjang, berhadapan dengan wajah Doggoll yang sekilas menyerupai gambaran nyata iblis dari kerak neraka.
Kubah raksasa kehijauan terbentuk akibat pertahanan luar biasa belati di tangan Villael, tepat semili di depan hidungnya. Bisa melihat tapi samar, orang-orang lenyap, kecuali Doggoll yang mendaraskan mantra dengan kedua tangan membuka lebar. Dari tubuh itulah serangan berasal, menghancurkan seisi ruangan. Meja kursi menguap begitu saja, termasuk tubuh Dollogos yang tidak sempat kabur menyelamatkan diri. Patung-patung Gorzada meledak, dari ujung singgasana hingga kembali lagi ke ujung yang sama, seperti rentetan petasan tersusun melingkar. Dentuman paling dahsyat mengakhiri singgasana impian Borgoll, hancur berkeping-keping menjadi abu. Tak ada suara yang mampu mendefinisakan letusannya, keras hingga nyaris tak terdengar. Lidah api menyambar tubuh Villael seperti ribuan ujung jarum, bersatu dengan cahaya membutakan. Villael pasrah, memejamkan mata meski sulit untuk tidak melihat serangan apa yang menggempurnya.
Namun hal paling ganjil yang dia rasakan adalah tubuhnya masih utuh, dan melihat Doggoll bertingkah seperti orang tolol, sama sekali tidak mengerti kenapa : serangannya tidak melukai sekulit ari pun.
Dan erangan kemurkaan bercampur ketidakpahaman Doggoll mengiringi hentakan yang tiba-tiba menyeret Villael, lebih jauh dengan kecepatan kilat hingga hanya seleret hitam yang terlihat. Tamat, kata yang paling pantas untuk Villael karena petualangan berikutnya sudah pasti baginya. Bersemayam di surga, di mana di sanalah dia akan berkumpul dengan ibunya…